Senin, 25 Februari 2013
Selasa, 19 Februari 2013
“GAMA CENDEKIA UGM” KELOMPOK STUDY MAHASISWA INTERDISPLINER SEBAGAI PEMBANGUN PERADABAN MENUJU INDONESIA BERDAYA
Oleh : Ridho Andika Putra*
Salah satu aset penting
bagi suatu Negara terutama Indonesia sebagai Negara berkembang yang menjadi
sorotan bagi Negara lainnya dalam hal pengembangan sumber daya manusia, yaitu peran mahasiswa sebagai agent of change yang memiliki peran penting sebagai generasi
penerus untuk menggantikan peran – peran kepemimpinan yang telah terlaksana
secara struktural dan sistematis. Mahasiswa merupakan generai muda yang
berperan dalam membangun peradaban yang bermanfaat untuk kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika zaman orde baru, mahasiswa selain
melakukan aktivitas nya sebagai mahasiswa yaitu kewajiban untuk belajar meraka
juga melakukan salah satu aktivitas untuk menyuarakan hak – hak rakyat kepada
pemerintah, dahulu aktivitas ini tentunya mendapat perlawanan yang keras dari peran militer angkatan Darat
yang saat itu mendukung rezim Presiden Soeharto, aktivitas bernamakan aksi atau
berdemonstrasi.
Tibanya krisis tahun
1998 yang menuntut presiden Soeharto untuk turun dari rezim kekuasaannya dan
menuntut reformasi untuk segera dilaksanakan menimbulkan aksi besar – besaran
terutama dikalangan mahasiswa yang menuntut untuk perubahan Indonesia yang
lebih baik dengan cara turun kejalan. Setelah mahasiswa yang dengan sangat
senangnya melakukan aktivitas tersebut terkadang mereka melupakan satu hal yang
seharusnya menjadi kewajiban mereka sebagai seorang pembelajar yaitu kuliah.
Mahasiswa yang turun kejalan yang sangat terlihat pada zaman – zaman reformasi tertuju
pada puncaknya ketika menuntut diturunkannya rezim Soeharto, mereka lupa akan
kewajiban mereka sebagai pembelajar dibangku kuliah terutama untuk lulus kuliah
dan peningkatan indeks prestasi. Maka dari itu melihat transisi zaman yang
semakin berubah era pergerakan seiring berjalannya waktu berubah menjadi era
akademisi yang mulai mempengaruhi peradaban dunia khususnya untuk Indonesia.
Hal ini membuat teman – teman yang telah berkecimpung dalam orientasi gerakan
yang sebenarnya mereka sudah melihat kedapan mengenai perubahan zaman yang dari era pergerakan menjadi era akademisi kampus. Dan mereka pun
membuat komunitas – komunitas kecil yang dinamakan kelompok studi mahasiswa.
Kelompok studi
mahasiswa merupakan komunitas yang dibentuk dari para kalangan mahasiswa yang
dibuat tidak hanya dengan tujuan untuk meningkatkan pengembangan akademisi
individual semata seperti peningkatan indeks prestasi, atau cepat lulus dan
sebagainya, melainkan mereka ingin membangun sebuah peradaban akadimisi yang
nantinya akan berguna bagi masyarakat yang menikmatinya. Untuk berkontribusi
kepada masyarakat dengan ilmu yang dimiliki tentunya tidak lepas dari
peningkatan kapabilitas profesi melalui kegiatan – kegiatan kelompok studi
mahasiswa yang terbentuk seperti diskusi ilmiah, kompetisi, dan proyek
pengabdian masyarakat. Tentunya melalui aktivitas tersebut mulai banyak
kalangan mahasiswa terutama untuk mahasiswa baru yang sangat berminat dengan
kelompok studi mahasiswa ini.
Kelompok studi
mahasiswa setelah zaman reformasi sudah banyak terbentuk di beberapa
univeristas se – Indopnesia salah satunya adalah di Universitas Gadjah Mada
yaitu Gama Cendekia yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak
dibidang penelitian dan pengkajian Interdisipliner. Awal mula terbentuknya pun
sama seperti paragraf sebelumnya yang menceritakan tentang restorasi gerakan yang
berujung pada transisi menuju akademisi.
Napak tilasnya berawal dari komunitas kecil diskusi mahasiswa dari berbagai fakultas yang diinisiasikan oleh Firman Alamsyah yang
saat itu berstatus sebagai mahasiswa biologi Universitas Gadjah Mada, Gama Cendekia
memulai kegiatnnya. Tema yang didiskusikan merupakan isu atau masalah
yang sedang terjadi dan dihadapi bangsa ini yang dibedah secara
interdisipliner. Komunitas ini terbentuk pada tahun 2001 pertengahan. Setahun
berselang, komunitas ini berkembang yang disertai adanya keinginan untuk
mengadakan penelitian. Pada akhirnya mereka membentuk tim untuk pematangan
konsep dan menjadikan komunitas ini sebagai UKM independen dan diberi nama Gama
Cendekia.
Diawal berdiri Gama Cendekia pada saat itu membenahi internal
lembaga secara structural dimulai dari legal formalitas, struktur kepengurusan
sampai kepada kaderisasi lembaga yang tentunya harus tersusun secara sistematis
agar lembaga bias berjalan baik kedepannya. Baru pada tahun 2004 Gama Cendekia
mulai menunjukkan citra dan kontribusinya sebagai UKM Pengkajian dan Penelitian
Interdispliner kemudian muncullah
kontribusi dan prestasi Gama Cendekia
yang tiap kali masa periode kepemimpinan selalu ada yang dihasilkan berbagai
macam karya – karyanya yang fenomenal.
Pada tahun 2006 dimasa kepemimpinan Haryandi mahasiswa
Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada, eksistensi Gama Cendekia pada masa
ini adalah dengan even-even besar dan kerja sama dengan berbagai pihak. Titik
tekan selain eksistensi adalah pembangunan jaringan yang kuat antara Gama Cendekia
dengan berbagai lembaga/perusahaan.
Ditunjukkan dengan banyaknya even-even besar Gama Cendekia yang bekerja sama dengan banyak pihak, seperti
Training TOEFL, Seminar dengan bekerja sama dengan Shell, dll. Pada pertengahan
2007, berganti kepada Dendi
Pratama mahasiwa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Presiden Gama
Cendekia VI atau yang lebih popular dengan sebutan Sultan Gama Cendekia. Pada
masa ini Gama Cendekia satu tahap memasuki fase mapan dalam alur
perkembangan lembaga akademis. Tidak melulu mengejar eksistensi lembaga karena
kalau sekedar popular, Gama Cendekia sudah cukup dikenal pada tataran kampus
ataupun nasional yang ditunjukkan dengan berbagai even-even besarnya. Akan
tetapi lebih dari sekedar itu adalah kematangan Gama Cendekia secara
kelembagaan serta kejelasan akan core business Gama Cendekia sebagai lembaga penelitian mahasiswa. Konsep
alur kaderisasi mulai diimplementasikan, tata organisasi mulai dibangun,
walaupun masih perlu banyak penyempurnaan di sana sini.
Profesionalitas Gama Cendekia secara kelembagaan benar-benar dimatangkan
pada masa kepemimpinan Andrie Javs mahasiswa Akuntansi Universitas Gadjah Mada.
Banyak hal yang dirombak dan diinovasi, tentu saja dalam rangka perwujudan Gama
Cendekia sebagai lembaga yang
benar-benar professional dan sebagai usaha adaptasi atas lingkungan dan
tantangan yang tentu saja sudah berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Karakter
GC sebagai lembaga yang ber-KPK
(kompeten, professional, dan kontributif) mulai diwacanakan pada periode
ini yang sampai saat ini konsep Kompeten Professional Kontributif menjadi
karakter di beberapa kelompok studi di Indonesia. Kemudian dari sisi core
business Gama Cendekia sebagai lembaga
pengkajian dan penelitian, secara system mulai dibangun. Seperti alur
penelitian Gama Cendekia , diskusi khas Gama Cendekia secara Interdispliner. Kemudian,
pada periode selanjutnya Gama Cendekia
ikut andil dalam perintisan jaringan lembaga penelitian mahasiswa nasional, dengan
ikut berpartisipasi pada Kongres Nasional ILP2MI (Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia)
di Makassar, yang mana pada kesempatan tersebut Gama Cendekia dipercaya sebagai Koordinator Regional
Jateng-DIY dan sebagai tuan rumah untuk penyelenggaraan Kongres ILP2MI yang
kedua bersama UPI UGM. Konsentrasi Gama Cendekia untuk ikut andil ditataran
ILP2MI ini merupakan jawaban dari restruktur GC di tataran SCCF UGM. Pada tahun
2010, SCCF UGM pengelolaannya dan pendampingan terhadap lembaga diampu oleh
para alumni KSU/KSF, yang mana sebelumnya gerak SCCF ini senantiasa diinisiasi
oleh Gama Cendekia. Pengurangan intensitas Gama Cendekia di SCCF ini memang harapan awalnya agar GC bisa lebih
banyak bergerak dan berkontribusi pada level nasional dan internasional.
Kemudian,
pada periode ini juga Gama Cendekia mulai melakukan inisiasi untuk melebarkan
sayap hingga level internasional, dengan prediksi bahwa kedepannya
internasionalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditawar
mengingat perkembangan globalisasi saat ini. Sehingga untuk menuju kesana perlu
dipersiapkan jauh-jauh hari, dan tahun 2010 merupakan tahun untuk memulainya. Gerak
langkah menuju internasional ini diwujudkan dengan beberapa kali Gama Cendekia
ikut berpartisipasi dalam penyelenggarakan even international yang bekerja sama
dengan pihak rektorat UGM, kemudian juga dengan bantuan alumni, seorang
Dosen dari Boras University, Sweden, Mr Kamran Rousta bisa diajak untuk
berdiskusi dengan anggota Gama Cendekia yang mana saat itu membahas tentang Waste Refinery
yang merupakan core dari salah satu klub
penelitian Gama Cendekia yaitu Gama Cendekia Peduli Sampah. Hal-hal lain yang mendukung
inisiasi untuk memasuki fase internasionalisasi ini adalah prestasi kader pada
level international yang semakin bertambah dan pembangunan jejaring
internasional. Dan sampai saat ini pun Gama Cendekia masih menelurkan karya –
karyanya untuk berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Visi yang saat ini digambarkan
dari lembaga ini yaitu Unit
Kegiatan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang mengkaji dan meneliti
permasalahan dengan landasan ilmu interdisipliner dengan memanfaatkan fasilitas
kampus, mengoptimalkan potensi keilmuan mahasiswa dengan mengedepankan akhlak
dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam kerangka keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dengan visi yang begitu tajam untuk
melihat faktualisasi masa depan maka
tidaklah heran Gama Cendekia yang mampu mengelola pengembangan sumber daya
manusianya menjadi orang – orang yang mampu bergerak dalam riset yang luas
secara interdisipliner untuk melakukan
transformasi untuk membangun peradaban menuju peradaban Indonesia berdaya
berbagai macam kontribusi dari anak – anak yang menyukai riset secara Interdisipliner
ini banyak diimplementasi baik ke mahasiswa maupun kalangan masyarakat melalui
kegiatan program kerja lembaga dan juga proyek penelitian yang berbasis kepada community development.
Tidak terfokus pada sistem gerak lembaga pada umumnya yang
menyuarakan tentang kontribusi akan tetapi Gama Cendekia juga berperan
membentuk karakter mahasiswa ilmiah yang santun dan berdampingan dengan
penguasaan nilai – nilai keagaaman yang terlihat dari pribadi masing – masing
anggota yang ada didalamnya. Maka tidaklah heran Gama Cemdekia akan menjadi
kelompok studi Interdispliner mahasiswa yang akan melakukan transformasi
sebagai pembangun peradaban menuju Indonesia berdaya, melalui visi, misi,
kontribusi dan prestasi maka masa depan yang berdaya yanga akan disosong dikemudian
hari dengan output sumber daya manusia yang mempunyai karakter ilmiah dan riset
Interdispliner yang mereka dapatkan ketika menjadi mahasiswa yang dikenal
sebagai agent of change.
Salam Prestatif, Salam Kontributif!!!!!!!!!
Hidup Mahasiswa Indonesia!!!!!!
*Presiden Gama Cendekia UGM
Menatap Idealisme dalam Perspektif Mahasiswa Cyber Generation
GLOBALISASI dewasa ini seolah sudah sangat menggejala. Jika dilihat dari perspektif para penggiat twitter, mungkin sudah menjadi trending topic.
Implikasinya, modernisasi sebagai dampak dari globalisasi tidak dapat
terelakan lagi. Pragmatisme yang terbungkus dalam modernisasi memang
menawarkan hal-hal yang berbau instan, praktis, dan berbagai kelebihan
yang cukup menjadi fatamorgana yang menggiurkan. Namun ternyata
modernisasi tak ubahnya seperti uang logam yang memiliki sisi lain,
yakni sisi kekurangan. Selain menawarkan segala kelebihan itu,
modernisasi juga membawa dampak buruk jika kita tidak bijak
menyikapinya. Modernisasi sudah meninabobokan mahasiswa pada
sebuah zona nyaman. Segala ketersediaan dan kecepatan akses akan
fasilitas menjadikan nilai-nilai kebaikan dalam diri kita tereduksi.
Sikap kejujuran, konsistensi dan profesionalitas dalam bertindak semakin
luntur. Hanya menyisakan laku apatis dan pragmatis pada kondisi
lingkungan sosialnya. Sensor-sensor kepekaan sosial itu seolah sudah
termatikan oleh facebook, twitter, blog dan media sosial lainnya.
Dari sinilah muncul cyber generation yang justru memiliki paradigma seperti “katak dalam tempurung”. Memang pelbagai informasi dari seluruh penjuru dunia bisa mereka ketahui, namun kondisi lingkungan sekitar tidak tahu sama sekali. Bahkan, ironisnya, kondisi tetangganya saja tidak tahu. Ilustrasi ini juga sedikit banyak menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang keseharian hanya sibuk dengan urusannya, di dalam kamar menatap laptop seharian dengan berbagai gadgetnya tanpa tahu dan tanpa keinginan mencari tahu kondisi lingkungan.
Dari sinilah muncul cyber generation yang justru memiliki paradigma seperti “katak dalam tempurung”. Memang pelbagai informasi dari seluruh penjuru dunia bisa mereka ketahui, namun kondisi lingkungan sekitar tidak tahu sama sekali. Bahkan, ironisnya, kondisi tetangganya saja tidak tahu. Ilustrasi ini juga sedikit banyak menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang keseharian hanya sibuk dengan urusannya, di dalam kamar menatap laptop seharian dengan berbagai gadgetnya tanpa tahu dan tanpa keinginan mencari tahu kondisi lingkungan.
Potret mahasiswa saat ini
Jika kita ingin menelisik kondisi mahasiswa saat ini, ada beberapa kategori mahasiswa. Di antaranya mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa kura-kura, dan mahasiswa kunang-kunang. Mahasiswa kupu-kupu adalah mahasiswa yang orientasinya pada kuliah saja, kuliah pulang-kuliah pulang. Kesehariannya hanya untuk belajar di kampus, selepas itu sudah tidak ada aktivitas lagi sehingga dia langsung pulang usai kuliah. Inilah kelompok mahasiswa yang biasanya memiliki IPK tinggi. Kemudian kategori kedua adalah mahasiswa kura-kura, kelompok mahasiswa yang bisa dikatakan organisatoris berjiwa aktivis, kuliah rapat-kuliah rapat. Rutinitas harian hanya kuliah dan rapat ini dan itu, menjadi panitia ini dan itu. Terkadang mahasiswa semacam ini sisi akademisnya juga mengalami ketimpangan. Kemudian yang ketiga adalah mahasiswa kunang-kunang, kuliah nangkring-kuliah nangkring. Mahasiswa ini cenderung hedonis, kesehariannya hanya untuk nangkring (nongkrong) di mall, nonton film, pacaran dan acara hura-hura lainnya.
Ulasan di atas adalah sekelumit gambaran mengenai kondisi mahasiswa saat ini. Jika kita mencoba menganalisa dari semuannya, ada hal menarik yang bisa kita kaji lagi. Secara umum, ternyata dari kesemua kategori tersebut ada sebuah hal yang menjadi intersect dari ketiganya. Hal tersebut adalah generasi muda saat ini (termasuk mahasiswa) hampir semuanya mengenal dan memang tidak bisa jauh dengan namanya teknologi informasi dan internet. Globalisasi menuntut kita untuk bertindak cepat dan keluar dari dimensi ruang dan waktu. Apalagi saat ini, semakin maraknya penggunaan media social seperti facebook yang telah menggeser nilai-nilai kedekatan kultural dalam bermasyarakat. Mulai dari sinilah sebutan Cyber Generation itu muncul.
Mencari Idealisme dari Sosok Mahasiswa Cyber Generation
Berbicara tentang cyber generation yang disematkan pada mahasiswa saat ini, rasa-rasanya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Sepertinya memang lumrah kita menyebut mahasiswa saat ini sebagai cyber generation. Bagaimana tidak? Mahasiswa sekarang tak bisa lepas dari media sosial, situs komunitas, ataupun situs yang sebatas hiburan seperti 9gag ataupun 1cak seolah menjadi sebuah virus yang sporadis menyebar pada mahasiswa saat ini. Kondisi semacam inilah yang membuat lunturnya idealisme dan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan sekitarnya. Jika sudah seperti itu bisa ditarik sebuah kesimpulan kalau mahasiswa juga tidak akan peduli lagi dengan kondisi bangsanya. Gejala-gejala pragmatisme mulai menjalar dalam laku hidup mahasiswa. Menuntut segalanya untuk praktis, instan, tanpa harus berjuang keras mendapatkan hasil yang maksimal itulah yang melemahkan sisi idealisme mahasiswa. Kalau sudah seperti ini apakah kita masih optimistis mengatakan bahwa idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa saat ini? Ataukah idealisme hanya berhenti dalam tataran wacana yang hanya menjadi bahan diskusi-diskusi yang kemudian hanya basi dan berbusa untuk diperbincangkan?
Neo-Idealisme Ala Mahasiswa Cyber Generation
Berbeda dengan sudut pandang sebelumnya, yang optimistis masih idealisme itu ada dalam diri mahasiswa. Gelora memperjuangkan suara rakyat kecil, memperjuangkan kebenaran dengan segala kekuatannya. Namun memang secara eksplisit tidak seperti kondisi mahasiswa di masa 1998 dalam memperjuangkan reformasi. Idealisme yang menggelora dalam diri mahasiswa saat ini diyakini masih ada, hanya memang berbeda dalam pengemasannya. Mahasiswa saat ini yang notabene adalah mahasiswa yang dekat dengan dunia teknologi informasi atau lebih akrab dengan sebutan cyber generation, menggelorakan idealismenya dengan caranya sendiri. Mereka lebih memilih memperjuangkan idealismenya melalui media-media sosial, melalui situs-situs komunitas/forum, dan melalui advokasi melalui gambar-gambar yang dibagi di internet. Ada pula yang giat dengan melakukan gerakan sejuta umat facebook untuk mendukung sosok tertentu dalam suatu kejadian, misal saja gerakan sejuta facebookers mengutuk Ariel Peterpan saat kasus video pornonya dahulu menyeruak. Bahkan kalau kita bicara kekuatan media saat ini sebagai media perjuangan dan menyuarakan kebenaran sangatlah ampuh. Terbukti beberapa pergerakan di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir semuannya bermula dari jejaring sosial yang tersistem secara apik dan sistematis.
Memang tidak bisa dimungkiri lagi, menyuarakan idealisme melalui media jejaring sosial dan internet akan lebih efektif dan efisien. Tidak membutuhkan materi dan energi sebanyak jika kita menyuarakan secara langsung dalam orasi-orasi di pinggir jalan. Dengan media sosial yang sudah menjamur di internet kita bisa memantik sebuah isu kecil menjadi isu yang besar dan meluas. Selain itu juga kita tidak lagi memikirkan batasan dimensi ruang dan waktu. Dengan media internet kita bisa mengepakkan sayap lebih luas dan bisa unggul juga dalam sisi aktualitas. Dalam konteks ini yang dibutuhkan hanyalah perangkat untuk bisa mengakses internet dan perencanaan pengawalan isu itu secara benar-benar sistematis dan tentunya dengan sinergitas beberapa kelompok orang sehingga masivikasi isu tersebut bisa lebih gencar.
Idealisme itu Masih Ada
Parameter masih ada atau tidaknya idealisme dalam diri mahasiswa akan tidak adil jika kita hanya melihat dari satu sisi. Misalnya mahasiswa sekarang jarang berdemo dan turun di jalan lalu kita dengan mudah menyebut mahasiswa sekarang tidak idealis lagi. Rasa-rasanya pernyataan seperti itu kurang adil dan tidak berimbang. Seharusnya kita menilai hal ini lebih bijak lagi yakni dengan melihat sisi-sisi yang lain. Idealisme adalah sesuatu hal yang tidak seluruhnya nampak dalam laku kehidupan kita. Idealisme itu adalah sebuah pemikiran dan keyakinan yang termanifestasikan dalam kehidupan kita dengan berbagai bentuk. Boleh jadi idealismenya itu terwujud dalam tulisan di media masa, melalui gerakan dukungan dari jejaring sosial, maupun kicauan di twitter. Apalagi jika kita harus menyesuaikan dengan kondisi zaman saat ini yang terus berkembang. Saat ini, bisa dianggap jejaring sosial lebih ramai ketimbang jalanan. Sehingga jika kita bicara efektivitas, mahasiswa yang berdemo di jejaring sosial untuk saat ini mungkin lebih efektif dari pada demonstrasi di jalanan. Jalan memperjuangkan idealisme itu bisa melalui banyak cara.
Akhirnya saat ini kita masih patut untuk optimistis jika idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita bisa menghargai suara mahasiswa itu dengan berbagai cara mereka mengekspresikannya. Mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa di masa perjuangan. Mahasiswa sekarang punya cara sendiri untuk mengekspresikannya dan itulah kebebasan. Hal terpenting adalah idealisme itu masih ada dalam diri mahasiswa. Hidup Mahasiswa Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia !!!
dimuat di :
Penulis :
Phisca Aditya Rosyady
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada
Ketua Bidang Keilmuan PK IMM Al-Khawarizmi UGM
Phisca Aditya Rosyady
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada
Ketua Bidang Keilmuan PK IMM Al-Khawarizmi UGM
Rabu, 13 Februari 2013
Mahasiswa Mengajar, Bangun Indonesia
BAGIAN ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi agaknya sering terlupakan oleh mahasiswa masa kini. Pengabdian masyarakat yang menjadi output
paling konkret dari pendidikan malah menjadi bagian yang terkesan
paling dikesampingkan dari perjalanan berkuliah seorang mahasiswa.
Padahal tanpa pengabdian masyarakat, pendidikan akan menjadi layaknya
singa ompong. Pendidikan akan menjadi teori belaka yang kosong
perwujudan.
Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.
Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.
Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.
Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.
Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.
Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.
Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.
Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.
Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM - Jojoran Kulon - Bantul
Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.
Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.
Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.
Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.
Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.
Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.
Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.
Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.
Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM - Jojoran Kulon - Bantul
Selasa, 05 Februari 2013
Partai Politik, Hasrat Kuasa dan Korupsi
Tahun 2013 adalah tahun kritis politik.
Pernyataan setengah prediksi klise ini di awal tahun perlahan namun
pasti mulai menunjukkan kebenarannya. Belum genap dua bulan tahun 2013
berjalan, sudah banyak ‘gempa politik’ yang mengguncang lanskap
perpolitikan Indonesia, yang terbaru kemarin episentrum gempa politik
berada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi kalau bukan
heboh penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan kasus
korupsi import sapi yang membelitnya. Kasus korupsi politik yang
demikian sesungguhnya bukan barang baru bagi publik, korupsi politik
yang melibatkan petinggi partai adalah lagu lama yang selalu digubah
oleh para koruptor, sebelumnya kasus korupsi politik telah terlebih
dahulu melanda partai Demokrat, PAN, Golkar, PDI P dan PPP. Namun kali
ini agaknya paling istimewa, disebabkan Ketua/Presiden partai dapat
langsung ditangkap dan digelandang ke KPK, satu prestasi KPK yang patut
diacungi jempol.
Semua partai politik adalah pemburu
kekuasaan. Ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sebab hakikat
eksistensi partai politik adalah berkuasa, kalau ada parpol yang tidak
ingin berkuasa itu justru abnormal. Hasrat berkuasa (will to power)
menjadi poros segala aktivitas organisasi kepartaian dimanapun dia
berada. Oleh karenanya menjadi relevan untuk mengajukan proposisi
legendaris Lord Acton bahwa kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan yang
absolut cenderung absolut korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely).
Jadi kecenderungan partai politik untuk melakukan tindak korupsi ini
memang sudah ada sejak rahim kelahirannya. Jadi tindakan korupsi yang
dilakukan oleh para petinggi partai adalah tindakan
institusional/kelembagaan organisasi, bukan semata mata tindakan
kriminal individu seperti selalu dijadikan pembelaan oleh para pimpinan
partai jika ada kadernya yang tersandung korupsi. Nalar akal sehat kita
jangan mau dikelabui dengan argumentasi tak logis semacam ini.
Namun untuk meredam kecenderungan
korupsi pada partai politik, dalam sistem politik demokrasi sesungguhnya
menyediakan mekanisme akuntabilitas, transparansi, kompetisi sehat dan
representasi yang mengakar untuk meminimalisir ‘cacat bawaan’ ini. Namun
agaknya mekanisme yang disediakan demokrasi ini kini justru tidak
dijalankan oleh parpol. Lihatlah misalkan dalam verifikasi parpol untuk
pemilihan umum 2014, parpol hanya berlomba lomba memenuhi kualifikasi
teknis administratif semata agar berhak mengikuti pemilu, sementara
pendidikan politik, pertanggungjawaban publik, proses kaderisasi, dan
fungsi artikulasi kepentingan lalai dijalankan. Singkatnya partai
politik hanya sibuk memburu kekuasaan untuk kepentingan golongannya,
sementara nilai nilai dan prinsip prinsip berdemokrasi yang harus
dipenuhi seharusnya justru di buang ke keranjang sampah sejarah. Alhasil
parpol hanya menjadi arena perebutan kuasa dan kepentingan, sementara
rakyat dan demokrasi hanya menjadi retorika hambar dalam pidato pidato
politik belaka.
Fenomena ini jika terus dilanjutkan akan
menggiring kita pada apa yang disebut Yudi Latif sebagai “demokrasi
padat modal”. Dalam ‘demokrasi padat modal’ substansi ide dan gagasan
membangun bangsa tidak penting lagi, tergusur oleh kekuatan hegemonik
kuasa modal. Kedalaman gagasan politik ditaklukkan oleh megahnya desain
pencitraan media, kebersahajaan yang menjadi tauladan digusur kemewahan
hidup elit, sementara transparansi dan akuntabilitas publik di abaikan
begitu saja, lantas suara rakyat bisa dengan mudah ‘dibeli’ demi secuil
kekuasaan. Saat mandat rakyat dikhianati, saat itulah label parpol
sebagai pilar demokrasi harus segera dilucuti.
Mohammad Zaki Arrobi
HMI Fisipol UGM/Sekjen Dema KM Fisipol UGM