Tahun 2013 adalah tahun kritis politik.
Pernyataan setengah prediksi klise ini di awal tahun perlahan namun
pasti mulai menunjukkan kebenarannya. Belum genap dua bulan tahun 2013
berjalan, sudah banyak ‘gempa politik’ yang mengguncang lanskap
perpolitikan Indonesia, yang terbaru kemarin episentrum gempa politik
berada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi kalau bukan
heboh penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan kasus
korupsi import sapi yang membelitnya. Kasus korupsi politik yang
demikian sesungguhnya bukan barang baru bagi publik, korupsi politik
yang melibatkan petinggi partai adalah lagu lama yang selalu digubah
oleh para koruptor, sebelumnya kasus korupsi politik telah terlebih
dahulu melanda partai Demokrat, PAN, Golkar, PDI P dan PPP. Namun kali
ini agaknya paling istimewa, disebabkan Ketua/Presiden partai dapat
langsung ditangkap dan digelandang ke KPK, satu prestasi KPK yang patut
diacungi jempol.
Semua partai politik adalah pemburu
kekuasaan. Ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sebab hakikat
eksistensi partai politik adalah berkuasa, kalau ada parpol yang tidak
ingin berkuasa itu justru abnormal. Hasrat berkuasa (will to power)
menjadi poros segala aktivitas organisasi kepartaian dimanapun dia
berada. Oleh karenanya menjadi relevan untuk mengajukan proposisi
legendaris Lord Acton bahwa kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan yang
absolut cenderung absolut korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely).
Jadi kecenderungan partai politik untuk melakukan tindak korupsi ini
memang sudah ada sejak rahim kelahirannya. Jadi tindakan korupsi yang
dilakukan oleh para petinggi partai adalah tindakan
institusional/kelembagaan organisasi, bukan semata mata tindakan
kriminal individu seperti selalu dijadikan pembelaan oleh para pimpinan
partai jika ada kadernya yang tersandung korupsi. Nalar akal sehat kita
jangan mau dikelabui dengan argumentasi tak logis semacam ini.
Namun untuk meredam kecenderungan
korupsi pada partai politik, dalam sistem politik demokrasi sesungguhnya
menyediakan mekanisme akuntabilitas, transparansi, kompetisi sehat dan
representasi yang mengakar untuk meminimalisir ‘cacat bawaan’ ini. Namun
agaknya mekanisme yang disediakan demokrasi ini kini justru tidak
dijalankan oleh parpol. Lihatlah misalkan dalam verifikasi parpol untuk
pemilihan umum 2014, parpol hanya berlomba lomba memenuhi kualifikasi
teknis administratif semata agar berhak mengikuti pemilu, sementara
pendidikan politik, pertanggungjawaban publik, proses kaderisasi, dan
fungsi artikulasi kepentingan lalai dijalankan. Singkatnya partai
politik hanya sibuk memburu kekuasaan untuk kepentingan golongannya,
sementara nilai nilai dan prinsip prinsip berdemokrasi yang harus
dipenuhi seharusnya justru di buang ke keranjang sampah sejarah. Alhasil
parpol hanya menjadi arena perebutan kuasa dan kepentingan, sementara
rakyat dan demokrasi hanya menjadi retorika hambar dalam pidato pidato
politik belaka.
Fenomena ini jika terus dilanjutkan akan
menggiring kita pada apa yang disebut Yudi Latif sebagai “demokrasi
padat modal”. Dalam ‘demokrasi padat modal’ substansi ide dan gagasan
membangun bangsa tidak penting lagi, tergusur oleh kekuatan hegemonik
kuasa modal. Kedalaman gagasan politik ditaklukkan oleh megahnya desain
pencitraan media, kebersahajaan yang menjadi tauladan digusur kemewahan
hidup elit, sementara transparansi dan akuntabilitas publik di abaikan
begitu saja, lantas suara rakyat bisa dengan mudah ‘dibeli’ demi secuil
kekuasaan. Saat mandat rakyat dikhianati, saat itulah label parpol
sebagai pilar demokrasi harus segera dilucuti.
Mohammad Zaki Arrobi
HMI Fisipol UGM/Sekjen Dema KM Fisipol UGM
0 komentar:
Posting Komentar