Emansipasi
perempuan atau kesetaraan gender memang telah menjadi sebuah norma dan prinsip
yang secara formal diadopsi sebagai bagian dari proyeksi Indonesia modern
(Djoharwinarlien, 2012:35). Termasuk dalam hal ini adalah institusi modern
pemerintahan Indonesia, tulisan kali ini akan lebih fokus ke dalam institusi
legislatif pemerintahan Indonesia, yaitu Parlemen. Bagaimana kondisi parlemen
saat ini yang telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada perempuan untuk
merepresentasikan dan mengekspresikan hak politiknya melalui jaminan hukum
dalam undang-undang, namun dalam realisasinya masih sangat jauh dari harapan.
Adanya fenomena ini menunjukkan indikasi kurang idealnya usaha dalam mencapai
amanat undang-undang tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan bagaimana amanat
undang-undang tersebut tersendat dalam realisasinya. Tidak hanya pihak-pihak
terkait yang mencederai jalan menuju realisasi amanat undang-undang, namun
obyek dari undang-undang tersebut juga mengambil peran yang kurang signifikan.
Perihal Perempuan dalam
Parlemen
Ada beragam isu yang diperjuangkan oleh perempuan, isu ini berkisar di
sekitar masalah-masalah hak-hak politik dan hukum bagi perempuan, kekerasan
terhadap perempuan, hak-hak reproduksi dan aborsi, kebebasan dan seksual,
kesempatan dan diskriminasi kerja, serta partisipasi politik dan representasi
politik perempuan (Basu dalam Dewi, 2001:4). Partisipasi dan representasi
politik perempuan menjadi penting di dalamnya terkait dengan posisinya yang
notabene sebagai warga negara yang memiliki kedudukan di depan hukum, hak
sosial dan hak politik yang sama dengan laki-laki. Dalam usahanya mencapai
kesetaraan tersebut telah berhasil mendapatkan tempat dan merupakan sebuah
langkah maju bagi representasi politik perempuan di Indonesia dengan
disahkannya Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik (Djoharwinarlien,
2012:41). Bagaimana dalam kedua undang-undang tersebut perempuan memiliki kuota
30 persen dalam setiap ruang demokrasi. Amanat inilah yang kemudian populer dan
familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen” (Ratnawati, 2004:296).
Dilema Perempuan dalam Parlemen
Namun, adanya rekognisi formal terhadap hak politik perempuan serta upaya
afirmasi yang dicanangkan oleh UU tersebut, banyak hal yang menjadi alasan
mengapa jumlah 30 persen tidak selalu terpenuhi (Djoharwinarlien, 2012:42). Hal
ini relatif disebabkan lebih karena dalam proses perekrutannya, dalam proses
bagaimana seorang warga negara mampu menjadi bagian dari proses formal
perumusan kebijakan sebuah negara, banyak partai politik sebagai wadah
“penggodhogan” warga negara menjadi legislator-legislator wakil rakyat
menafikan adanya perempuan. Adanya pandangan pragmatis partai bagaimana
menempatkan sebanyak-banyak kadernya di dalam parlemen membuat partai hanya
melirik figur-figur secara individu yang telah tercitrakan oleh publik.
Figur-figur ini kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Pandangan inilah yang
kemudian membuat partai menutup mata terhadap perempuan.
Dalam kepengurusan sebuah partai pun, sedikit perempuan yang masuk dalam kepengurusan
partai politik. Kalaupun muncul
tokoh perempuan dalam sebuah partai, hal itu lebih dikarenakan tokoh tersebut
merupakan bagian dari dinasti kepemimpinan sebuah partai. Sehingga dalam proses
perekrutan menuju parlemen pun sudah memiliki banyak dilema dimulai dari
kepengurusan partai dan perekrutan kader perempuan yang berdampak terhadap
posisi dan kuota perempuan di dalam parlemen.
Sementara di dalam parlemen, adanya anggapan bahwa dunia politik di level
praksis adalah dunianya Kaum Adam, sistematika aktivitas politik seperti yang
berlangsung di partai politik atau parlemen sangat kompleks dan menyita waktu
menjadi pertimbangan perempuan dalam keaktifannya menyampaikan pendapat di
dalam forum dan rapat parlemen. Dan pertimbangan ini yang kemudian memberatkan
dan membuat perempuan urung menyampaikan pendapatnya dikarenakan tidak mau
terlibat jauh dalam perdebatannya dengan laki-laki. Dinamika aktivitas politik
juga mengharuskan perempuan, seperti politisi lainnya mereka beradu otot untuk
mempertahankan argumentasi di dalam forum politik (Djoharwinarlien, 2012:46).
Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dilema bagi perempuan dalam parlemen. Mereka
dihadapkan oleh kewajiban sebagai wakil rakyat di satu sisi, namun dibenturkan
dengan konstruksi masyarakat yang telah terbentuk terhadap penilaian perempuan
itu sendiri di sisi lain.
Adanya dilema tersebut membuat perempuan lebih banyak diam karena konstruksi
makna terhadap perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat telah mengakar
kuat, termasuk konstruksi makna tersebut digunakan untuk menilai
perempuan-perempuan legislator di dalam parlemen. Tidak adanya kontekstualisasi
pemaknaan terhadap perempuan di sini menjadi akar permasalahan utama yang
dihadapi oleh perempuan-perempuan legislator.
Formulasi Solusi bagi Perempuan
Dalam usahanya mencapai impian kesetaraan hak politik dan hak sosialnya,
perempuan mengalami banyak dilema baik dari dalam dirinya maupun konstruksi
masyarakat yang menghambatnya. Namun, usaha kesetaraan ini dapat dimulai dengan
membenahi pemaknaan terhadap perempuan dengan instrumen bahwa wanita adalah
warga negara yang notabene memiliki kesempatan yang sama dalam merepresentasi dan
mengekspresikan hak-hak politik dan sosialnya.
Usaha ini juga seharusnya didorong dengan peran negara, bagaimana negara
ini memberikan dan memastikan ruang dan kondisi yang memungkinkan (enabling) bagi perempuan untuk
menunjukkan dan merealisasikan kesetaraan hak politik dan hak sosialnya
(Astuti, 2001:18). Karena terlebih sering yang terjadi saat ini adalah
bagaimana negara terkesan membisu dan tak acuh terhadap realisasi hak politik
perempuan. Sudah seharusnya negara hadir lebih jauh memastikan perempuan
mendapatkan akses merealisasikan hak-hak politiknya. Sehingga pada akhirnya
kesetaraan hak politik perempuan menjadi agenda bersama, tidak kemudian
semata-mata menjadi agenda perempuan yang terdilema dalam “kesendirian”
gerakan.
Dan hal yang paling dekat untuk
menjadi agenda bersama dan merealisasikannya adalah bagaimana kuota perempuan
30 persen ini dapat dicapai sebenar-benar adanya. Tidak hanya negara yang terus
didorong untuk merealisasikannya, namun juga pihak-pihak terkait yang terpaut
kepentingannya seperti partai politik dan masyarakat. Pihak-pihak ini sudah
seharusnya memberikan perhatian lebih kepada proses pencapaian kuota 30 persen
ini melalui pembukaan akses terhadap perempuan untuk mendapatkan sumber-sumber
kekuatan politik. Sehingga ketika pencapaian ini benar-benar tercapai, akan
menciptakan sebuah masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki
setara di berbagai tingkat keberadaannya. Ketika keseimbangan itu terjadi,
peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil. Begitu pula ketika
jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam pemerintahan secara
umum dalam posisi yang equal, maka
kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan, demikian pula dengan
laki-laki.\ (Ratnawati, 2004:297). Dengan demikian, bukan tidak mungkin dengan
posisi seperti itu dapat mendorong perempuan secara mandiri mempertahankan dan
memperjuangkan eksistensi hak-hak sosial dan politiknya yang mempengaruhi
pihak-pihak lain untuk menaruh perhatian lebih kepadanya.
Oleh :
Satria Triputra Wisnumurti
Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada 2011
REFERENSI
Djoharwinarlien, Sri. 2012. Dilema Kesetaraan Gender : Refleksi dan
Respons Praksis. Yogyakarta : Center
for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM.
Ratnawati. 2004. Potret Kuota Perempuan di
Parlemen,
dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FISIPOL UGM, Vol. 7,
No. 3. Hal. 295-314.
Dewi, Machya Astuti. 2001. Dimensi Politik Gerakan Perempuan : Suatu Survey Kepustakaan, dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FISIPOL UGM, Vol. 5,
No. 1. Hal. 1-21.
0 komentar:
Posting Komentar