Sugeng Rawuh...

Official Site PPSDMS Nurul Fikri Angkatan 6 Regional III Yogyakarta

Laskar Nakula dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Bersama Angkatan 5 dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Senin, 27 Agustus 2012

Madura, dan Kiasan “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata”



  Madura pulau kecil kecil yang terletak di sudut timur Pulau Jawa, yang terkenal dengan produksi garam, penghasil tembakau, penghasil jagung, dan kebudayaan Kerapan Sapi yang setiap tahun menjadi ajang tontonan masyarakat Madura, wisatawan domestik, ataupun wisatawan Mancanegara. Tidak ada yang begitu spesial dengan pulau kecil itu. Tanah kering, panas, semilir angin laut, dan hembusan angin kering yang membawa rasa haus pada setiap orang yang pertama kali berkunjung. Namun itulah Madura, masyarakat yang lahir, tinggal, dan besar di sana, memahami sebuah karakteristik, dan menjadi orang-orang yang kemudian mencintai tanah kelahirannya, tanpa ada rasa chauvinisme berlebihan. Orang Madura saat ini tidak hanya dikenal sebagai orang-orang yang begitu tekun, ulet, dan mau bekerja keras, namun ada stereotype tersendiri mengenai pencitraan karakteristiknya, yaitu orang yang keras, dan memiliki budaya Carok. Ya, watak itu kini seolah tersematkan, setelah beberapa kali tragedi di Pulau Garam itu, kemudian mencuat pada ranah publik, hingga bahkan Nasional. Masih teringat, Carok Masal di Pulau Madura, yang kemudian menjadi pemberitaan berbagai media pada tahun 2010, baik media lokal maupun media Nasional, yang sempat terjadi di Kabupaten Pamekasan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian masyarakat mengenal Masyarakat Madura, sebagai Masyarakat Carok. Kini, Madura, kembali menjadi sorotan ranah publik nasional, bahkan hingga menjadi perhatian yang datang dari Presiden Republik Indonesia, dikarenakan tragedi kekerasan di Kabupaten Sampang. Tragedi kekerasan yang terjadi karena dipicu dengan salah satu alasan yaitu isu keagamaan mengenai perbedaan penganut Syiah dan Sunni. Ditinjau dari segi keagamaan, Masyarakat Madura, pada umumnya adalah masyakarakat Mayoritas Islam yang sangat kuat, bahkan sampai-sampai muncul pernyataan bahwa Madura merupakan Serambi Madinah. Namun kemudian muncul pertanyaan besar, jika memang Madura sebagai Serambi Madinah, sepatutnyalah menjadi contoh akan rasa menghargai dalam keberagaman, dan perbedaan yang kemudian seharusnya mencegah terjadinya kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sampang. Sebagai pulau kecil yang tergabung dalam Propinsi Jawa Timur, di mana banyak masyarakat menjadikan para alim ulama atau kyai sebagai panutan dan suri tauladan, seharusnyalah ada rasa keterbukaan, dan rasa untuk saling menghargai dalam perbedaan tanpa harus menjadikan suatu perbedaan dalam kaum mayoritas sebagai bagian dari masyarakat yang harus dimusnahkan. Sebagai bagian dari Masyarakat Madura, pribadi penulis merasakan ada yang salah dengan paradigma masyarakat yang seharusnya saat ini masyarakat Madura, dengan segala fasilitas pembangunan menuju Madura yang lebih baik, dapat menjadi masyarakat yang lebih paham dan menjadikan keterbukaan baik dari segi informasi maupun komunikasi sebagai cara dalam menghargai perbedaan keyakinan yang memang pada akhir-akhir ini semakin banyak bermunculan. Islam lahir dengan membawa Rahmatan Lil Alamin, dan seharusnya masyarakat Madura yang dikenal sebagai masyarakat agamis menunjukkan hal tersebut dengan tetap menghargai saudara-saudaranya yang kemudian memiliki perbedaan keyakinan dengan apa yang masyarakat mayoritas yakini. Tragedi yang terjadi di Kabupaten Sampang, bukan hanya terkait mengenai isu SARA melainkan juga terkait mengenai masalah keluarga (Kutipan Wawancara TV One, 25 Agustus 2012). Salah satu kiasan yang begitu terkenal di kalangan masyarakat Madura adalah “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata/Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata”. Kiasan ini menjadi sebuah paradigma bagi mereka, untuk memiliki ikatan batin dengan masyarakat Madura, namun kiasan ini pula yang pada akhirnya juga akan memecah persaudaraan yang sudah terjalin begitu kuatnya. Masyarakat Madura di luar pulau Madura, begitu terkenal akan ikatan kekeluargaan, di mana pun ketika mereka berada. Saat berjumpa dengan masyarakat Madura lainnya, tidak akan pernah ada rasa canggung menggunakan bahasa Madura, sebagai dialeka kebahasadaerahan yang dipakai untuk berkomunikasi. Ada suatu rasa bangga ketika adanya perjumpaan dengan masyarakat Madura yang mereka berada dalam perantauan, karena dengan perjumpaan tersebut maka akan tercipta rasa kekeluargaan yang muncul secara otomatis. Kiasan tersebut, mengajarkan untuk menghargai dan menjunjung rasa persaudaraan. Kiasan itu pula yang kerap kali menjadi bencana yang kemudian menjadikan citra masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan kasar. Menilik peristiwa carok masal di Kabupaten Pamekasan, juga dipicu oleh adanya rasa kekeluargaan, begitu juga peristiwa baru-baru ini di Kabupaten Sampang, juga menghembuskan adanya aroma kekeluargaan, yang pada akhirnya dikemas dalam isu kekerasan agama.

Seyogyanya, kiasan tersebut memang memiliki dua mata sisi yang begitu berlawanan. Masyarakat Madura perlu mencerna, dan menimbang akan dua mata sisi dari kiasan tersebut. Sebagai masyarakat agamis, yang begitu terkenal dengan banyaknya alim ulama, banyaknya pondok pesantren, dan banyak ustad, sudah seharusnya saling menyadari dan memahami, serta menjadikan kiasan tersebut sebagai landasan yang digunakan dalam hal kebaikan, yakni mengikat persaudaraan, dan bukan menjadikan sebagai pisau tajam yang menjadi landasan dalam melakukan kekerasan ataupun tindakan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Masyarakat Madura, harus mulai untuk membuka paradigm baru terhadapa kehidupan yang kini akan lebih mengarah pada diversitas, akan banyak hal yang akan masuk dalam tanah Madura, setelah akses keterbukaan informasi, komunikasi, dan perhubungan di Madura mulai memasuka era pembaharuan. Masyarakat Madura, harus mulai untuk memulai kerukunan antar suku, baik terhadap suku Madura sendiri ataupun suku lain yang mungkin akan memasuki tanah Madura juga, dan jangan sampai tragedi kekerasan yang berujung pada masalah SARA terulang kembali, dan sekali lagi menyumbangkan negative image terhadap simbol keberagaman yang telah lama disematkan oleh mata International terhadap Indonesia. Terhadap kalangan alim ulama, marilah mulai untuk kembali mengajak pada ummat untuk kembali manjaga kerukukan, bukankah Rasulullah pun mengajarkan kerukuna tersebut ketika beliau memulai membangung Madinah? Dan bukankah Madura kini mendapat julukan sebagai Serambi Madinah? Seharusnyalah, keharmonisan itu terjadi, tidak adal lagi kelompok-kelompok yang kemudian mengecam, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan terhadapa kelompok lain, apalagi terhadap suku bangsanya sendiri. Dan juga, bukankan Allah melarang untuk saling membunuh sesama ummat muslim? Selama mereka pun menjadikan Allah sebagai Rabbnya, dan menjadikan Al-Quran dan Sunnatullah sebagai panutannya, mereka tetap harus kita hargai, karena hanyalah Allah yang Maha Mengetahui akan kebenaran, dan bukankah kita hanya manusia biasa yang terlalu banyak memiliki prasangka buruk, dengan begitu banyaknya api amarah yang sering tersulut, dan begitu pula paku-paku dengki dan dendam yang acap kali tertanam dalam hati-hati bersih ini, dan juga bumbu-bumbu setan akan iri hati, dan sombong, yang seringkali meracuni pikiran kita, sehingga terkadang lupa dan acap kali selalu tersulut dengan hal-hal kecil yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang dapat membawa kemaslahatan bagi keduanya. Bagi masyarakat cendekiawan, dan intelektual Madura, marilah mulai kembali membenahi mind set yang masih kerap kali begitu terasa keras, kembali menumbuhkan rasa persaudaraan jauh lebih dalam, dan memahamkan masyarakat akan pentingnya keharmonisan, dan kerukunan demi terciptanya Madura yang lebih baik dan bermartabat. Terakhir, semoga tragedi berdarah dan kekerasan tidak lagi terjadi di Pulau Garam itu, tidak menjadikan Madura sebagai pulau yang begitu menyeramkan, dan mampu menghapus stereotipe yang banyak melekat di masyarakat luas, bahwa masyarakat Madura, adalah masyarakat yang keras, dan kasar. Sekali lagi, harapan kami anak-anak Madura, generasi penerus tanah garam, adalah terbentuknya Madura, dan masyarakatnya yang rukun, harmonis, agamis, dan culturalis, serta tidak lagi ada pertumpahan darah antar suku Madura sendiri.

Tersenyumlah Madura,
Tersenyumlah wahai anak-anak Pulau Garam
Masamu telah tiba, dan perjuanganmu telah dimulai
Bangunlah Madura yang lebih baik dan bermartabat…

Penulis :
Abrory Agus Cahya Pramana
Mahasiswa Jurusan Biologi
Universitas Gadjah Mada




Selasa, 21 Agustus 2012

Upah Buruh dan Jerat Kemiskinan

Kemiskinan telah menjadi persoalan klasik yang senantiasa menarik untuk dibicarakan baik pada tataran teoritis maupun praksis. Pengupahan buruh yang jauh dari layak acapkali dianggap sebagai salah satu jerat masalah yang melanggengkan kemiskinan bagi kaum marginal.
Diskursus selama ini seringkali hanya berkutat pada aspek legal-formal dan pendekatan institusionalis yang menekankan perlunya hukum perburuhan dan penataan institusi formal yang memadai. Lantas, bagaimana kita memahami persoalan pengupahan buruh secara lebih memadai? Memahaminya secara struktural membantu kita untuk memperoleh gambaran secara lebih komprehensif.
Sejauh ini mekanisme penetapan upah (wages level) baik Upah Minimum Propinsi (UMP) maupun Upah Minimum Regional (UMR) seringkali dianggap sebagai biang ketidakadilan struktural bagi kaum buruh. Kalaulah demikian realitasnya, maka perlu dipertanyakan abnormalitas sistem yang ada dengan mem-breakdown faktor-faktor struktural yang sebagai jerat kemiskinan.
Kebijakan pengupahan: relasi dialektis buruh dan pemodal
Sejauh yang dapat dilacak dalam sejarahnya, pengupahan menempati isu sentral dalam relasi industrial antara buruh dan pemodal. Di awal eksistensinya, kapitalisme telah memproduksi dan mereproduksi kontradiksi inheren di dalamnya. Dalam konteks ini, upah buruh menjadi salah satu produk dari kontradiksi yang melekat dalam relasi eksploitatif antara kelas kapitalis dan buruh (bandingkan Marx 1958; Potter 1992 dalam Mas’oed 1994, hh. 49-50). Demikian juga dalam konteks kehadirannya di negara kapitalis pinggiran (periferal), upah buruh menjadi isu sentral yang merefleksikan konflik dan relasi dialektis antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Resistensi sosial yang muncul kemudian seringkali tidak mampu mengubah relasi industrial yang eksploitatif dan penuh ketimpangan selama ini. Gerakan-gerakan buruh yang menuntut kelayakan dan perbaikan nasib ujung-ujungnya berakhir dengan negosiasi antara tripartit negara-kapital-buruh yang muaranya—meminjam istilah Robison (1988)—justru memperkuat ‘pakta dominasi’ antara negara dan kapitalis.
Penulis mengajukan argumen bahwa selama eksploitasi dan penindasan terhadap kaum buruh tetap ada, maka aktivisme dan kemampuan organisasional buruh menjadi tidak terlalu signifikan dalam mengubah struktur yang eksploitatif. Ditambah dengan realitas perburuhan di Indonesia pasca reformasi yang memiliki kecenderungan terjadinya polarisasi gerakan yang sporadis, fragmental, dan lemah secara organisasional (Al-Hambra, 2002). Dengan demikian, fokus dan lokus perubahan kondisi perburuhan di Indonesia mesti dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang menjerat kaum buruh ke dalam vicious circle of poverty. Setidaknya ada tiga faktor struktural yang menjadi pangkal kemiskinan dan eksploitasi terhadap kaum buruh di Indonesia; pertama, adanya pertukaran yang timpang (unequal exchange), kedua, hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh, serta ketiga, otonomi relatif negara yang memberi sumbangsih bagi pelestarian eksploitasi kaum buruh.
Unequal Exchange
Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan terkadang nampak inheren dengan kelas buruh adalah adanya pertukaran yang tidak adil dalam proses produksi. Mengikuti nalar pikir kapitalis yang secara sederhana berupaya mengejar surplus keuntungan sebesar-besarnya, maka upah harus ditempatkan sebagai salah satu beban produksi yang mesti diminimalisasi sedemikian rupa. Hal ini tentu saja berkorelasi negatif dengan nasib buruh yang senantiasa berada dalam subsistensi sistem. Menempatkan buruh dalam nalar berpikir semacam inilah yang mengawali proses alienasi dan penindasan kaum buruh dalam konteks sejarahnya.
Argumentasi di atas didukung oleh realitas yang ada saat ini dimana perusahaan-perusahaan transnasional menjalankan operasi bisnisnya di negara berkembang atas dasar melimpah-ruahnya tenaga kerja yang mau dibayar murah. Dalam konteks Indonesia, upah buruh yang murah justru menjadi salah satu keunggulan komparatif demi menarik gairah penanaman modal. Alih-alih investasi dalam bingkai globalisasi dan pasar bebas yang menjanjikan perbaikan ekonomi, negara Dunia Ketiga justru sekadar dijadikan wilayah operasi bisnis manufaktur yang pada akhirnya terjadi pengalihan surplus keuntungan bagi negara kapitalis sentral. Pihak yang paling parah menanggung eksploitasi ini tentu saja kaum buruh yang dimarginalisasi dan teralienasi dalam proses produksi. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh di bawah nilai produktivitas bawah faktor buruh ini (Sritua Arief, 1990).

Hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh
Selain adanya ketidaksetaraan pertukaran dimana buruh justru menjadi penopang bagi kapitalis melalui surplus nilai yang dihasilkannya, relasi yang eksploitatif juga menjadi faktor kunci penyebab rendahnya kesejahteraan nasib kaum buruh. Dalam konteks ini, buruh berada pada posisi uncompensated, sementara pengusaha berada pada posisi overcompensated karena dua hal; pertama, secara sadar atau tidak buruh dianggap sebagai kelas paria atau kelas kuli oleh kelas dominan sehingga mereka tidak dimungkinkan memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses produksi. Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asalkan mendapat pekerjaan. Hal ini secara kelembagaan mendorong ketentuan pengupahan yang tidak berpihak kepada kaum buruh.
Dalam situasi ketimpangan yang ada, institutional wage level yang terbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang menjadi dasar bagi kapitalis dalam menentukan tingkat upah yang dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi. Selain itu, daya tawar modal yang semakin tinggi jelas semakin memperlemah daya tawar kaum pekerja di negara yang memiliki tenaga kerja berlebih seperti Indonesia, yang tengah menghadapi kesulitan besar dalam membangun gerakan buruh yang efektif (Hadiz 2000).
Kondisi surplus buruh biasanya terjadi di negara dengan pasar tenaga kerja yang berlebih (monopsonistic market) seperti yang saat ini terjadi di Indonesia. Meskipun tidak terlalu komprehensif, namun setidaknya data yang dilansir Badan Pusat Statistik memperkuat argumen di atas. Data statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 2010 sebesar 67,72% (BPS 2010). Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, sehingga menimbulkan ketimpangan antara permintaan (demands) dan penawaran (supply) dalam pasar tenaga kerja.
Jelaslah bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia cenderung bersifat monopsonistik. Daya tawar pemodal senantiasa lebih kuat dibading kemampuan dan bargaining position buruh berhadapan dengan aliansi oligarkis negara-kapital. Implikasinya, buruh berada pada posisi yang tidak menguntungkan secara struktural dan pada akhirnya perbaikan nasib kaum buruh hanya menjadi retorika semata. Relasi yang cenderung eksploitatif berawal dari asumsi bahwa buruh merupakan bagian dari faktor produksi seperti halnya mesin dan bahan baku lainnya.
Otonomi relatif negara, sumbangannya bagi kemiskinan struktural buruh
Relasi yang eksploitatif oleh pemodal terhadap buruh semakin diperparah dengan peran negara yang acapkali lebih berpihak pada kekuatan kapital. Daya tawar kelas kapital dalam proses produksi semakin meningkat di tengah situasi pasar tenaga kerja yang monopsonistik dan celakanya negara justru lebih banyak memihak kepada kekuatan kapital tersebut.
Otonomi relatif negara muncul karena dua hal mendasar. Pertama, negara memiliki kemampuan untuk menerka-nerka kepentingan jangka panjang yang melampaui kepentingan jangka pendek kelas kapitalis. Dalam konteks ini, negara terkesan membela kepentingan kaum buruh, seperti menyediakan pendidikan murah. Namun efek jangka panjangnya, adanya buruh yang pintar ujung-ujungnya menguntungkan kaum kapitalis dengan produktivitas yang meningkat. Kedua, negara juga memiliki peran arbitrer dalam menegosiasikan kepentingan buruh dan pengusaha yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam mekanisme pengupahan dimana negara memainkan fungsi arbitrasi untuk mendamaikan kepentingan buruh dan pengusaha, namun ujung-ujungnya kepentingan kapitalis lah yang lebih diprioritaskan dengan dalih produktivitas ekonomi jangka pendek (Eric Hiariej, 2006).
Simpul wacana
Penguatan kapasitas organisasional dan ideologis buruh dalam satu wadah serikat buruh yang kuat agaknya sulit meraih signifikansi tujuan bagi perbaikan nasib kaum buruh di Indonesia. Liberalisasi pengorganisasian buruh justru menimbulkan lahirnya serikat buruh yang tidak konstruktif dan bahkan cacat secara kelembagaan. Perubahan atas relasi yang eksploitatif harus dimulai dengan perombakan faktor-faktor struktural yang selama ini menjerat kaum buruh dalam proses alienasi dan eksploitasi proses produksi.
Upaya transformasi struktural mesti diarahkan pada proses dekonstruksi faktor-faktor ketimpangan yang ada. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berkutat pada pemberian insentif dan stimulus ekonomi jangka pendek atau—meminjam istilah Sritua Arief—bantuan sinterklas yang tidak akan berhasil meningkatkan kedudukan ekonomi kaum buruh yang lebih tangguh. Hal ini disebabkan upaya-upaya jangka pendek yang ada tidak dibarengi upaya mengurai belenggu-belenggu struktural dalam hubungan dialektis yang eksploitatif.****
Oleh :
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

Minggu, 12 Agustus 2012

[Puisi] Negeriku, Zamrud Khatulistiwa


Ketika langit Kau gantungkan dengan mendung,
Ketika suara hati menjadi alunan lagu terdalam,
Dan ketika sesak menjadi pengingat akan masa kelam,
Senandung hati menjadikan masa penggerak perubahan”
Yogyakarta, 12 Agustus 2012
Asrama PPSDMS Nurul Fikri Angkatan VI
Oleh :
 Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada





Ku dengar kabar negeri seberang
Makmur, kaya raya, dan penuh kejayaan
Aku pun tengok dari luar jendela malam
Yang setiap saat membuka
Menghembuskan setiap aroma kerinduan
Lalu tengok setiap sudut dari negeri itu
Dari ketinggian ku lihat begitu hijau
Dari ketinggian ku lihat kerindangan
Aliran sungai, gambarkan indahnya surga di belahan khatulistiwa
Zamrud berharga di hamparan mutiara dunia
Sayang, itu pun kembali hanya kabar burung
Karena negeri itu tak lebih dari dongeng
Yang akan hilang entah 20 atau 60 tahun lagi
Ketika hutan, dan kekayaan membutakan para pemimpinnya
Menjadikan mereka tamak akan dunia
Menjadikan mereka bagaikan penghancur berdarah dingin
Tak ingatkah anak cucu yang akan mewarisinya
Tak ingatkan harta ini adalah titipan untuk hari kelak
Bukan buah, sebagai harta
Bukan uang, sebagai makanan
Tapi kemakmuran adalah hamparan suka negeri
Kesejahteraan adalah piala tertinggi negeri ini
Langit malam, menggelayut menghampiri negeri ini
Membanjiri dengan air bah
Tak ada panel-panel air yang menampungnya
Melepaskan ombak-ombak korupsi kecil negeri ini
Dan menjadikan harta benda bagaikan sapuan kecil di setiap harinya
Entah sampai kapan,
Sadar atau tidak,
Mereka,
Para cukong negeri ini semaikan benih-benih kehancuran
Dan kelak, tiadalah lagi dongeng negeriku
Zamrud Khatulistiwa
Permata berharga dunia, permata hati rakyat Indonesia






Sabtu, 11 Agustus 2012

Menggadaikan Moralitas (hanya) untuk Konten Bajakan

Hargailah karya orang lain, niscaya orang lain akan menghargai karya kita
Globalisasi yang kian rancak dengan ditandai semakin merebaknya penggunaan internet di kalangan masyarakat luas.  Internet untuk rakyat, sebuah jargon dari salah satu produk yang sering kita jumpai di media iklan saat ini. Memang jargon itulah yang pantas untuk menggambarkan kondisi pemanfaatan internet saat ini. Internet saat ini sudah mulai memasyarakat, membidik berbagai usia dan generasi. Mulai dari anak kecil, remaja, orang tua, bahkan para lansia pun sudah dekat dengan internet. Hanya sekadar berselancar di jejaring sosial atau sudah merambah ke aktivitas bisnis secara online dan lain sebagainnya.
Kondisi merebaknya penggunaan internet dikalangan masyarakat akan memberikan manfaat yang sangat besar. Salah satunya, informasi dan pengetahuan yang mungkin selama ini mustahil untuk dijangkau dengan hadirnya internet maka akan membantu semua itu. Namun terlepas dari berbagai  kemanfaatan itu, ada beberapa kelemahan juga yang dihadirkan. Dengan media internet, kita akan bisa mengakses banyak situs web yang menyediakan software bajakan secara gratis. Setiap orang yang membutuhkan software dan ingin men-download-nya bisa dengan mudah mendapatkan software itu kapanpun dan dimanapun berada.
“Berdasarkan hasil riset pembajakan software International Data Corporations (IDC) tahun 2010,  Indonesia menduduki peringkat ke 11 sebagai negara yang paling besar pembajakan software.  Dengan prosentase pembajakan mencapai 87 persen, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 86 persen, merupakan parameter bahwa masih banyak pengguna software yang belum sadar. “ (dilansir VIVAnews.com)
Kondisi di tahun 2011 tak jauh berbeda dengan kondisi 2 tahun sebelumnya. Business Software Alliance (BSA) kembali merilis laporan survey perilaku pengguna dan sikap terhadap pembajakan perangkat lunak Hak Kekayaaan Intelektual (HKI).  Survey menunjukkan dari 32 negara, Indonesia menempati urutan ke 7 sebagai negara dengan pengguna perangkat lunak illegal. Tabel dibawah ini adalah 15 besar negara “Pembajak”
15 negara utama yang paling banyak melakukan pembajakan di seluruh dunia
Sebuah kondisi yang cukup memalukan negara kita menempati posisi ke tujuh dunia bukan karena prestasi yang dibanggakan namun karena tindakan yang kurang terpuji.  Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang Hak Cipta dan kondisi perekonomian mayoritas penduduk di Indonesia  yang menyebabkan enggan atau tidak memungkinkan membeli software yang berlisensi.  Berikut ada contoh realita yang ada sebagai contoh, alangkah mahalnya untuk membeli sebuah komputer dengan berbagai kelengkapannya:
Monitor + CPU                    :       1.500.000
Windows XP                        :       1.000.000
MS Office 2010                   :       2.799.900
Adobe Acrobat Pro              :       7.990.000
Winzip                                  :          129.000
MYOB                                  :       5.500.000
Total                                             Rp. 18.918.900
Tentu kondisi seperti itu banyak yang secara praktis berpikir untuk membajak saja, mudah dan murah. Padahal sudah jelas kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam penggunaan software dan dalam aktivitas kita di dunia maya/internet.  Oleh karenannya kondisi maraknya kasus pembajakan software ini tentu secara nyata melanggar etika dan pelaksanaan UU Hak Cipta. Berikut kutipan saat Saya mewawancari seorang praktisi di bidang IT terkait masalah maraknya pembajakan Software ini.
“ Kalo bicara Indonesia, kita kan belum terbiasa beli software. Kita sejak kecil, sejak pertama kali kenal nginstal software, udah dapet SN (Serial Number)  nya dari rental atau dari mana. Dikira SN itu ya udah sepaket ma kalao kita pinjem / sewa cd. Kita ga ngerti kalau justru yang bikin mahal itu SN nya. Kita ga ngerti kalau agar dapet SN itu mesti bayar license.  tanpa sadar itu pencurian.Bahkan, orang2 kaya yang sanggup beli BB, Ipad, males beli aplikasi yang kadang cuma seharga 10rb.itu karena kita ga terbiasa beli software. Wong tinggal nginstal, barangnya ga kelihatan, kok dibeli.beda sama hardware.setelah dikasih tahu kalau itu mesti beli,belum selesai urusan, karena bagi kita online commerce itu masih repot “
(Bondan Satria N, Ketua OmahTI UGM 2011)
Bicara tentang etika, seperti yang kita kenal adalah terkait tentang kualitas baik (yang seyogyanya dilakukan) atau buruk (yang seyogyanya dihindari) atau nilai-nilai tindakan manusia untuk mencapai kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak (Bourke, 1966 dalam Pramumijoyo dan Warmada, 2004 dalam Dewi & Gudono, 2007). Sehingga sudah jelas etika tentu erat kaitannya dengan moralitas. Bagaimana moralitas suatu bangsa itu akan terefleksikan dalam etika mereka dalam ber aktivitas, termasuk dalam penggunaan software bajakan ini. Lalu yang menjadi permasalahan bagaimana untuk membangun etika dan moralitas untuk mengurangi aktivitas pembajakan software ?  Berikut ada beberapa upaya yang bisa dilakukan.
  • Memahami UU tentang Hak Cipta
Tentu ini mutlak harus dilakukan, dengan memahami undang-undang ini maka kita akan tahu tentang hak cipta dan yang terpenting kita akan memahami bagaimana sikap kita untuk menghargai karya cipta yang dihasilkan orang lain. Pengenalan UU Hak Cipta ini sejak dini kepada anak-anak agar mereka mulai mengenal tentang Hak Cipta.
  • Membiasakan Membeli Software
Kebiasaan buruk di Indonesia menggunakan software bajakan tentu harus kita ubah. Perlahan namun pasti kita sudah saatnya mulai membiasakan menghargai setiap hasil cipta orang lain dengan membelinya.
  • Pemerintah Harus Memperketat Aturan
Mungkin hal ini yang secara pribadi saya rasakan. Memang Perundang-undangan sudah ada, namun implementasi dari undang-undang tersebut belum optimal. Hal ini membutuhkan peran dari pemerintah terutama kementerian Komunikasi dan Informasi dan Kementerian Hukum dan HAM. Sanksi yang tegas harus ada untuk memberikan efek jera dari para pelaku.
  • Sarana dan Prasarana Harus Mendukung
Penggunaan software secara legal biasannya dilakukan dengan membayar kepada perusahaan yang membuat software itu.  Tentu transaksi jual beli akan berlangsung yang biasannya dilakukan secara on-line.  Sehingga untuk mendukung itu semua perlu adanya perbaikan dan peningkatan sarana prasarana khususnya sebagai media transaksi online untuk memudahkan transaksi berlangsung.
  • Mengkampanyekan OpenSource
Opensource hadir sebagai solusi akan maraknya kasus pembajakan software dan lain sebagaiannya. Dengan sistem opensource ini, pengguna kebebasan untuk menggunakan dan mengoprek berbagai produk aplikasi ataupun software. Hal ini karena sistem pengembangannya tidak tersentral pada satu individu/perusahaan saja namun tersebar secara luas dan bebas dengan memanfaatkan kode sumber (source code) yang ada. Sehingga para pengguna bisa saling berkomunikasi dan bekerja sama.
Demikian sebuah ulasan Saya terkait maraknya pembajakan konten/software yang menjadi sebuah kebiasaan di negeri ini. Moralitas dan etika seolah dihiraukan hanya untuk mendapatkan sebuah software secara cuma-cuma. Mari kita mulai dari diri kita sendiri dan mulai dari saat ini, sudah saatnya kita menghargai karya orang lain. Karena boleh jadi suatu saat kita menginginkan karya kita dihargai orang lain.
Oleh :

MAHASISWA JURUSAN ILMU KOMPUTER DAN ELEKTRONIKA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber Referensi :
Sumber Gambar :

Jumat, 10 Agustus 2012

Bidadari itu Siapa?

Judul Buku : Fatimah Az-Zahra, Wanita Teladan Sepanjang Masa
Pengarang : Ibrahim Amini
Penerjemah: Ali Yahya, Psi
Jumlah Halaman : viii+214
Penerbit : LENTERA
Tahun Terbit : Cetakan 9, 2006





Sejarah Islam mengenalkan kita orang-orang hebat pada masanya. Tidak hanya laki-laki yang meraih derajat keemasannya masa itu, kaum wanita juga tak kalah menetaskan sosok teladan terbaik sepanjang masa. Inilah bukti pranata kesempurnaan risalah islam. Karena sempurna, pranata ini juga menyoroti eksistensi kaum perempuan sepanjang zaman, dan bahkan menetapkan satu teladan sempurna bagi mereka untuk membuktikan bahwa islam tanpa ada keraguan, islam dapat diterapkan dan, jika diikuti dengan baik, mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi. Teladan yang ditetapkan islam untuk kaum perempuan terwujud dalam diri Sayyidah Fathimah az-Zahra, putri Rasulullah. Putri tersayang Nabi Muhammad SAW. Istri tercinta Imam Ali As. Bunda termulia bagi Hasan, Husain, dan Zainab As. Dan pastinya wanita teladan sepanjang masa bagi kita semua.
Mungkin sudah banyak sekali buku yang mengupas kehidupan riwayat wanita suci ini. Namun, penulis yang satu ini lain. Melalui buku ini, beliau berhasil menempatkan riwayat putri Rasulullah dalam apresiasi tertinggi. Sedikit berbeda dengan kebanyakan buku lain yang serupa. Buku ini secara umum berusaha untuk membuat gambaran yang utuh tentang Az-Zahra dengan melakukan analisis dan kajian terhadap dalil yang ada. Tak hanya menyajikan apa yang terjadi dalam kenyataan saja, dalam beberapa hal buku ini memberikan gebrakan dengan melakukan penguraian, analisis, dan penarikan kesimpulan. Adanya gebrakan itu yang seharusnya dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Sehingga, banyak ibrah, pelajaran, dan bimbingan yang dapat kita ambil dari perempuan mulia ini.
Masih dengan gaya bahasanya yang khas, beliau membuat pembaca terkesan tidak digurui. Bahasa yang komunikatif juga melekat pada setiap rangkaian kalimat yang digunakan. Tak khayal jika buku ini mampu menjadi buku best seller. Secara umum, penulis mengajak pembaca untuk terlebih dahulu melihat kehidupan Az-zahra dari lahir sampai menikah yang menakjubkan. kemudian berlanjut peristiwa pernikahan Az-Zahra dengan Imam Ali As. Bagian berikutnya mengajak kita menyelami kehidupan Fathimah di dalam rumah tangga. Bagian keempat merupakan bagian terpenting. Bagian ini membuat kita mengungkap betapa luar biasanya keutamaan wanita mulia ini?. Bagian berikutnya juga tak kalah pentingnya. Mengapa demikian? Bagian ini merupakan titik balik tonggak perjuangan islam setelah Rasulullah SAW wafat. Konflik internal pertama ummat muslim dimunculkan di bagian ini. Bagian berikutnya mengungkap tentang akhir hayat sang inspirator ini. Bagian terakhir mencoba mengungkap pertentangan Fatimah dan Abu Bakar secara lebih komprehensif yang bisa dianggap sebagai awal mula perpecahan di tubuh ummat muslim.
Saya percaya, Fathimah adalah sebuah teladan sempurna tentang bagaimana seorang putri, istri, dan ibu harus bertindak sambil menjaga kehormatan dan kesucian, Az-zahra juga menunjukkan kepada kita, kaum muslim, peran perempuan dalam batas-batas agama dan kebijaksanaan. Kecerdasan Az-zahra menegaskan bahwa islam tak menghalangi perempuan untuk menggapai pengetahuan tertinggi; asalkan menjaga diri dari ketelanjangan, lepas kendali, dan perbuatan semacam itu, yang akan justru menghancurkan jati diri mereka sebagai kaum hawa.
Sebuah kisah hidup yang menakjubkan. Saya rasa semua wanita harus membaca kisah wanita suci ini. Sebuah kisah yang membawa pesan bahwa wanita juga bisa meraih prestasi gemilang, bahkan bisa mencapai tingkatan sempurna sehingga surga pun merindukan kehadirannya.
Tidak hanya itu, kelak wanita muslimah bisa melebihi bidadari surga…
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca, menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di ranjang menjemput lembut…..
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al Waqiah:22:). Pelupuk mata bidari-bidadari itu selalu berkedap-kedip bagaikan sayap burung yang indah. Mereka baik lagi jelita (QS Arrahman:70). Bidadari-bidadari surga, seolah-olah telur yang tersimpan dengan baik (QS Ash-Shaffat:49)
Wahai, wanita-wanita yang hingga saat ini masih kehilangan jati dirinya, tidakkah kalian mencoba menampilkan profil wanita-wanita yang dijanjikan surga sebagaimana yang ditampilkan Fathimah Az-Zahra ??” -foe-
Asrama Biru, 2 Agustus 2012
Tengah Malam di Ruang Kedamaian

Penulis :  
Mahasiswa Teknik Sipil 2010
Universitas Gadjah Mada

Senin, 06 Agustus 2012

Ketika Bahasa Perdagangan Diagungkan di Akhir Zaman..

"Dan matahari itu beredar di tempat peredarannya.. (QS. 36: 38)."

Pernah pada suatu kesempatan, Hermawan Kertajaya-pakar pemasaran kelas dunia yang diidolakan penulis yang kebetulan Kristiani keturunan Chinese, nyeletuk begini, "Nabi Muhammad itu kan pengusaha.. Mestinya sih muslim itu jadi (mempunyai semangat) pengusaha juga.."

http://maramissetiawan.files.wordpress.com/2010/08/zakat2.jpg?w=535Memang tak bisa dipungkiri lagi, bahwa kepada kaum akhir zaman, diutuslah seseorang yang mampu menguasai perdagangan. Dialah yang sanggup menjadi saudagar kaya-raya sekaligus suri teladan bagi seluruh umat manusia. Dengan begitu, beliau menyampaikan risalahnya dengan bahasa kaumnya, yaitu perdagangan. Dialah Muhammad. Berbeda dengan Musa dan Isa, yang memiliki bahasa dakwah yang dapat menaklukkan sihir dan mengagungkan pengobatan.

Betapa tidak, masa Muhammad sebagai pedagang bahkan lebih lama ketimbang menjadi Nabi. Kala itu, pada usia 20-an, perdagangannya sudah menembus negara-negara tetangga. Ia berdagang ke luar negeri setidaknya 18 kali, bahkan menjangkau negeri Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, bahkan Bahrain.

Ironi Kedelai di Negeri Pewaris Tempe Dunia

M
enjadi hal yang begitu menggelikan, ketika negeri yang kaya akan sumber daya alamnya, dan subur karena deretan Vulcano Mountain mengalami masalah dengan keberadaan sumber daya alam berupa kedelai, yang kini menjadi main headline di beberapa surat kabar nasional. Kedelai merupakan komoditas tanaman yang terdapat di Indonesia, dan secara asli berasal dari Indonesia, meski pada akhir-akhir ini, banyak negara-negara yang mengembangkan kedelai sebagai komoditas perdagangan dunia. Sebut saja, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lainnya. Terkuanya masalah krisi kedelai yang terjadi di negeri ini, akibat kekeringan yang kemudian melanda negeri Paman Sam, dan menyebabkan turunnya impor kedelai dari negara tersebut[1]. Berdasarkan data yang diperoleh dari Harian Kompas (24/7) ekspor kedelai Amerika Serikat ke Indonesia mencapai 1.730 ribu metric ton dari total impor kedelai Indonesia sebesar 1.897 metric ton. Sungguh sebuah ironis, bahwa negara yang besar, dengan tanah subur yang terhampar dari Sabang hingga Merauke, masih melakukan impor dari negara yang notabenanya masih memiliki tingkat kesuburan lahan pertanian lebih rendah dibandingkan Indonesia. Mengutip istilah yang dikenal sebagai syair lagu, Indonesia “ Negeri Kaya dan Subur, Gemah Ripah Loh Jinawe, Batang pun Jadi Pohon”, kini harus melihat ada sebuah ironi tersendiri dalam mengelola sumber daya hayati dan mengelola kedaulatan pangannya sendiri.
            Dalam penelitian, yang dilakukan oleh seorang Guru Besar di Bidang Pangan asal Inggris, Jonathan Agranoff, menjelaskan bahwa kedelai lokal Indonesia, memiliki gizi yang lebih baik, lebih enak, higienis, dan lebih bagus kualitasnya dibandingkan dengan kedelai impor asal Amerika Serikat[2]. Ketika negara lain peduli untuk melakukan riset mengenai kedelai Indonesia, sudah sepatutnyalah perlu dipertanyakan, mengapa pemerintah kemudian seperti menutup mata, dan membiarkan masalah demi masalah tetap terjadi tanpa adanya penyelesaian yang pasti. Sebenarnya, kasus kedelai di Indonesia, pernah muncul pada kisaran tahun 2009. Permasalahan saat itu adalah sedikitnya lahan untuk pertanian kedelai, kemudian disertai dengan sulitnya dalam melakukan penyimpanan benih kedelai. Kembali menjadi ironi adalah, bentang lahan Indonesia yang sangat luas, kembali menjadi suatu masalah yang kemudian menjadi hambatan bagi pengembangan potensi local di Indonesia. Dalam kabar lainnya, Jonathan mengatakan bahwa Indonesia dapat kehilangan identitas sebagai negara dengan kekayaan kedelai, dan selaku pemegang warisan tempe, sebagai panganan tradisional dunia. “Sayang, tempe ini warisan Indonesia, panganan tradisional, jangan sampai orang di Indonesia sulit cari tempe, ini berbahaya”, ujar Jonathan[3]. Hal ini dikarenakan, di negeri sendiri, masyarakat sudah mulai susah dalam mencari panganan tradisionalnya, dan dilain pihak, negara lain mampu memproduksi kedelai dan menjadikannya sebagai tempe, sehingga klaim kepada panganan tradisional ini pun dapat terjadi sewaktu-waktu ketika negeri ini belum siap dalam menjaga warisan dunianya dalam bidang pangan. Kembali lagi, masalah klasik di negeri ini akan terulang, ketika negara lain mengklaim, maka barulah banyak suara-suara di kalangan atas akan bergejolak, dan memberikan aspirasi dan perdebatan untuk kembali mengklaim sebagai harta kekayaan dunia warisan nenek moyang bangsa ini dalam bidang pangan.




            Selayaknya, wacana mengenai kedaulatan pangan, sudah seharusnya dilaksanakan dan dipenuhi. Mendukung setiap usaha para petani, dalam menjalankan roda perekonomian, dan mengembangan tanaman-tanaman lokal, yang memiliki komoditas perdagangan dunia terbesar. Indonesia selaku tuan rumah, dan pewaris tempe serta kedelai sebagai bahan mentah, sepatutnya kembali mengembangan kedelai lokalnya, di sisi lain, pemerintah mendukung usaha pemuliaan, dan standarisasi kedelai loka, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat petani kedelai meningkat, dan Indonesia mampu mengembangkan sendiri varietas kedelai lokal, tanpa harus melakukan impor-impor dari negara lain, seperti Jepang, Amerika Serikat, Malaysia, dan lainnya. Pencanangan kedaulatan pangan, sudah harus mulai dilakukan secara berkesinambungan, melibatkan banyak stake holder-stake holder strategis, seperti misalnya para intelektual, para entrepreneur, para peneliti, para pejabat pemegang kebijakan, dan tentunya para rakyat petani kedelai. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, dalam melakukan program pemuliaan tanaman kedelai ini, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan stake holder berkepentingan untuk membantu dalam pemberian modal pengembangan kedelai, dan peningkatan kualitas tempe di negeri sendiri. Terakhir, sebagai penutup, mengutip pesan yang diberikan oleh Jonathan Agranoff yaitu ,"Petani kedelai lokal harus diberdayakan, produsen tempe-tahu lokal diberdayakan, tingkatkan teknologinya, patenkan caranya, produknya, untuk apa? agar tempe yang warisan Indonesia ini diakui dunia dan asal tempe hanya di Indonesia bukan di negara lain. Apalagi saat ini saya jujur sedang merindukan tempe yang digoreng dengan bumbu dan aroma bawang putih dan ketumbar, di mana saat ini khususnya di Jakarta sulit didapatkan karena tempe langka,", ujarnya3.   



Penulis :
Abrory Agus Cahya Pramana
Mahasiswa Jurusan Biologi
Universitas Gadjah Mada

 


[1] Kompas. RI Kena Dampak Kekeringan. Jakarta. Selasa, 24 Juli 2012.
[2] Gatra News. Kedelai Lokal Indonesia Lebih Baik dari Kedelai Impor. Sabtu, 28 Juli 2012. Diakses 31 Juli 2012. http://www.gatra.com/ekonomi/46-ekonomi/15654-kedelai-lokal-indonesia.
[3] DetikFinance. Pakar Tempe Inggris: Hati-Hati Tempe Diklaim Malaysia. Sabtu, 28 Juli 2012. Diakses 1 Agustus 2012. http://finance.detik.com/read/2012/07/28/121158/1977243/4/pakar-tempe-inggris-hati-hati-tempe-diklaim-malaysia?991101mainnews.

Pendidikan Berkarakter Untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berbasis teknologi pertanian untuk menjunjung tinggi nilai kearifan lokal

Sangat sedih sekali kalau seorang mahasiswa ditanyakan ….
A: Mas dari fakultas mana mas?
B : Dari Fakultas Teknologi Pertanian
A : Ohhh Pertanian …
B : Bukan, tapi Teknologi Pertanian
A: Yo sama Saja, toh sama – sama kerja disawah
Dari dialog percakapan tadi memang kalau dilihat secara pandang dari dialog yang dilakukan mungkin adalah perbedaan jurusan akan tetapi jika melihat jauh kedepan Jurusan Pertanian dan Teknologi Pertanian tidak jauh berbeda mengurusi satu yaitu kebutuhan pangan untuk masyarakat terutama masyarakat Indonesia
Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari jajaran ribuan pulau yang memiliki masyarakat plural dimana memiliki bermacam – macam budaya, suku bangsa dan agama. Banyaknya keberagaman tersebut memunculkan potensi, peranan dan energi yang dapat dikembangkan untuk pembangunan bangsa.
Semakin bertambahnya umur Negara kita semakin banyak tantangan global yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan semakin banyaknya tantangan global yang dihadapi Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk terbanyak ke 3 di Asia. Paradigma yang muncul dalam penduduk Indonesia yang kini terjadi yaitu mayoritas hidup hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sendiri dan sudah tidak memiliki semangat yang besar terhadap pembangunan Negara Indonesia sendiri, yang ada hanya Indonesia dijadikan objek yang menguntungkan oleh Negara lain. Sudah banyak aspek internalitas yang dimiliki Indonesia kini sudah dimanfaatkan oleh Negara – Negara yang mempunyai otoritas besar yang disebut sebagai Negara maju. Salah satu aspek internalitas yang dimaksud adalah Pangan.
Pangan merupakan komponen vital yang dimiliki oleh Negara Indonesia. kehidupan manusia tidak lepas dari material yang berhubungan dengan pangan. Sudah banyak harta Indonesia yang berupa jenis berbagai macam pangan yang diambil dan dimanfaatkan Negara lain sebagai peningkatan eksistensi mereka terhadap kehidupan dunia. Misalkan makanan tempe, merupakan problematika yang pelik ketika membahas tempe apakah makanan dari Indonesia ataukah dari Malaysia. Maka dari itu Indonesia butuh personal – personal cerdas, inovatif dan kontribusi untuk menjadi problem solver menyelesaikan permasalahan tersebut. Personal yang dimaksud adalah Mahasiswa.



Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa dalam mewujudkan cita – cita bangsa, pemikiran kritis inovatif produktif dari mahasiswa sangat dibutuhkan diera global saat ini. Konsekuensi logisnya adalah mahasiswa memiliki suatu ruang dan juga tantangan untuk meningkatkan peranan mereka dalam perkembangan bangsa.
Pendidikan karakter untuk perkembangan bangsa memang perlu diterapkan sejak manusia itu lahir kebumi, akan tetapi peran kontribusi besar akan didapatkan peran mahasiswa ketika mereka lulus dari instansi pendidikan yang mereka jenjangi ketika menjadi seorang mahasiswa.
Mahasiswa merupakan salah satu objek yang kongkret sebagai pengembangan pendidikan karakter seorang mahasiswa memiliki persiapan yang besar untuk berkontribusi besar untuk perkembangan Indonesia. Dengan Sumber daya baik alam maupun manusia dapat digunakan sebagai ladang untuk peningkatan kapabilitas mahasiswa – mahasiswa mendalami bidang panganisasi dan Masyarakat Indonesia sebagai wadah dari implementasi dari semua yang telah dipelajari dalam suatu sistem perkuliahan dan dituntut untuk berkontribusi dan menyelesaikan secara kongkret terhadap masyarakat. Maka jika dijadikan satu tujuan kongkret untuk komunitas dan juga personalisasi seorang mahasiswa menjadi manusia berkarakter untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berbasis teknologi pertanian untuk menjunjung tinggi nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia

Penulis :
Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian

Kamis, 02 Agustus 2012

Ramadhan Terakhir dan Sang Kontraktor Bangunan

Alkisah ada seorang kontraktor yang bekerja pada sebuah perusahaan property ternama di Jakarta. Di usianya yang ke lima puluh tahun, telah terpikirkan olehnya untuk mengakhiri kariernya sebagai seorang kontraktor dan kembali kepada keluarga yang telah cukup lama ia tinggalkan. Materi yang selama ini ia cari sudah ia dapatkan. Harta dan kekayaan bukan lagi menjadi tujuannya, namun ia ingin mencari hakekat sebenarnya dari kehidupan ini. Dan tentunya mempersiapkan diri untuk kehidupan yang hakiki yaitu akherat kelak. Oleh karenanya pada pagi hari itu, sang kontraktor menghadap sang direktur dan mengajukan surat pengunduran dirinya.
Pada dasarnya sang direktur keberatan atas permohonan pengunduran diri bapak tersebut. Bagaimana tidak, selama ini bapak tersebut telah menjadi asset utama perusahaan. Keterampilannya tak perlu diragukan lagi. Perusahaan mencapai masa keemasan di masanya.
Setiap proyek yang ia tangani selalu berhasil. Beliau terkenal dengan kejujuran dan keprofesionalannya. Oleh karenanya, ketika sang kontraktor tadi mengajukan surat pengunduran diri, sang direktur mengajukan satu persyaratan. Yaitu untuk dibuatkan satu rumah lagi, rumah yang merupakan karya terbaik beliau sepanjang menjadi kontraktor dalam tempo satu tahun. Ketika mendengar syarat tadi, sang kontraktor sangat berkeberatan. Beliau ingin segera mengundurkan diri. Namun ternyata masih harus menjalankan tugas terakhir. Dengan sangat terpaksa, sang kontraktor menerima syarat yang diajukan sang direktur.
Ternyata hanya dalam tempo delapan bulan sang kontraktor mampu menyelesaikan tugasnya. Namun ternyata karyanya kali ini bukanlah karya terbaik, melainkan karya terburuk sepanjang kariernya. Bagaimana tidak, dengan perasaan terpaksa ia membangun rumah tersebut. Oleh karenanya kualitas bangunannya pun asal-asalan. Selesai membangun rumah tersebut beliau menghadap sang direktur.
“Ini kunci rumah baru yang menjadi syarat pengunduran diri saya,” kata sang kontraktor.
“Oh, tidak bapak. Sebenarnya rumah tersebut bukanlah untuk perusahaan. Melainkan itu merupakan hadiah untuk bapak atas pengabdian luar biasa bapak selama ini. Ambillah rumah tersebut.” jawab sang direktur.
Mendengar jawaban sang direktur, bapak tadi langsung lemas. Bagaimana tidak ternyata rumah yang ia bangun bukanlah untuk perusahaan, melainkan untuk dirinya. Mengapa ia tidak membangun rumah terbaik kalau ternyata itu untuk dirinya sendiri. Malahan rumah tersebut adalah rumah terburuk yang pernah ia bangun. Akhirnya bapak tadi menyesal atas apa yang ia lakukan. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.
Na’udzubillah. Semoga kita tidak bernasib sama seperti bapak tadi. Apalagi di bulan Ramadhan kali ini. Inilah kesempatan kita untuk melakukan segala amalan terbaik di bulan penuh rahmat ini. Bahkan kita harus menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terbaik sepanjang hidup kita. Mengapa kita harus melakukannya?
Jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena kita tidak pernah tahu apakah kita masih punya kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan. Bisa jadi ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Oleh karenanya kita harus menjadikannya sebagai Ramadhan terbaik. Hal ini perlu kita lakukan agar kita tidak bernasib sama dengan sang kontraktor tadi. Akhir yang menyedihkan karena di akhir kariernya sebagai kontraktor, ia malah menghasilkan karya terburuk bukan sebaliknya. Apalagi kita yang tidak pernah tahu masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan.
Sungguh sangat ruginya jikalau ini merupakan Ramadhan terakhir kita, namun ternyata kita malah melakukan amalan terburuk atau menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terburuk dalam hidup kita. Oleh karenanya saat ini mulai harus kita azamkan dalam diri kita untuk melakukan segala aktivitas sebagai aktivitas terbaik dalam Ramadhan kali ini. Sholat-sholat kita merupakan sholat terbaik yang pernah kita lakukan. Tilawah Qur’an kita merupakan tilawah terbaik. Shodaqoh kita merupakan shodaqoh terbaik. Dakwah kita merupakan dakwah terbaik. Apapun itu yang kita lakukan adalah yang terbaik. Siapa tahu ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Waallohu’alam bish showab.
Oleh :


Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM 2007
SUPERVISOR
Program
Pembinaan SDM Strategis
PPSDMS NURUL FIKRI 
REGIONAL III YOGYAKARTA

Rabu, 01 Agustus 2012

Nanoteknologi : Sebuah Optimisme atau Dilema?


Nanoteknologi, sebuah keyword yang akhir-akhir ini mulai menjadi tren baru di dunia energy maupun teknologi.  Nanoteknologi merupakan  bidang teknologi yang berkaitan dengan ukuran dibawah 100 nanometer. Sebenarnya nanoteknologi telah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pada aplikasi teknologi mikroprosesor, i-pod dan lain sebagainya.  Bahkan ada yang mengatakan bahwa dalam  satu dekade ini akan menjadi revolusi industry yang luar biasa, mengulang revolusi industry pada 200 tahun silam. Sebelumnya perlu terlebih dahulu kita mengenal apa dan bagaimana nano teknologi itu sendiri. Nanotenologi secara pengertian adalah teknologi berbasis manajemen dan pengelolaan materi berukuran nanometer atau sepersatumiliar meter, sehingga sifat dan fungsi zat tersebut bisa diubah sesuai dengan yang diinginkan. Saat ini negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya mengembangkan suatu cabang baru teknologi yang populer disebut Nanoteknologi. 



Nanoteknologi memang berukuran sangat kecil. Seperti yang telah disebutkan diawal bahwa nano teknologi berukuran sepersatumiliar meter. Untuk lebih menjelaskan ukuran nanometer itu seperti apa, coba kita fahami analogi berikut ini. Satu meter dengan satu nanometer bias kita andaikan antara bumi dan bola pingpong. Sebuah perbedaan yang sangat jauh. Ini menunjukkan bahwa nanoteknologi (ukuran nanometer) memang sangatlah kecil. Namun dibalik kecilnya itu justru berpotensi manfaat dan solusi yang sangat besar. Diantarannya adalah Mulai dari dunia kesehatan, masalah pangan, masalah lingkungan, masalah ekonomi, dunia komunikasi, industri, elektronika, manufaktur, informatika, transportasi, dan permasalahan kompleks lainnya

Teknologi Nano ini memiliki berbagai kelebihan yang menjadikan berkembang pesat seperti yang terjadi saat ini. Dengan nanoteknologi, kekayaan sumber daya alam Indonesia dapat diberi nilai tambah guna memenangi persaingan global. Dengan nanoteknologi pula, kekayaan alam menjadi tak berarti karena sifat-sifat zat bisa diciptakan sesuai dengan keinginan. Karena itu, kita harus mampu memberi nilai tambah atas kekayaan alam kita. Inilah peluang besar untuk Indonesia agar bias turut bersaing dalam pengembangan nanoteknologi itu. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan variatif tentu akan menjadi modal yang sangat berarti untuk pengembangan nanoteknologi saat ini. Lingkungan alam dan momen yang sangat tepat menjadikan optimisme akan berhasilnya pemanfaatan dan pengembangan nanoteknologi di Indonesia.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah kesiapan Indonesia dalam mengembangkan teknologi nano ini. Ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dirasa masih kurang. Belum ada disiplin ilmu yang mungkin terkonsentrasi ke nanoteknologi dalam tataran jurusan atau program studi di perguruan tinggi. Hal inilah yang menyebabkan belum optimalnya persiapan SDM-SDM berkualitas di bidang nanoteknologi. Meskipun memang sudah mulai menjamur kelompok-kelompok diskusi atau riset tentang nanoteknologi. Hal ini tentu menjadi sinyal positif terkait perkembangan nanoteknologi di Indonesia. Kemudian selain permasalahan itu, yang menghambat lainnya adalah kemampuan financial Indonesia dalam melakukan riset-riset yang memang mutlak harus dilakukan. Dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang lain yang seolah menjadikan stagnasi dalam perkembangan teknologi yang ada di Indonesia selama ini. Hal inilah yang membuat dilematisasi apakah nanoteknologi perlu dilakukan ataukah belum saatnya atau bahkan memang tidak perlu?

Akhirnya, diterima atau tidak inilah harapan dan kesempatan besar untuk Indonesia agar bias mengembangkan dunia nanoteknologi sebagai solusi permasalahan-permasalahan yang ada. Memang dalam pelaksanaannya ada beberapa batu ganjalan yang mungkin menghambat. Namun inilah tantangan yang sepatutnya harus kita jawab. Peluang tidak akan datang dua kali. Selagi Indonesia punya kesempatan itu ditambah dengan modal yang ada, optimisme itu harus selalu ada. Tapi kalau kita takut dengan konsekuensinya berarti kita memang tidak berniat untuk mengembangkan Nanoteknologi di Indonesia ini? Lalu opsi mana yang harus ditempuh? Biarlah waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.



Oleh :
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam