Selasa, 21 Agustus 2012

Upah Buruh dan Jerat Kemiskinan

Kemiskinan telah menjadi persoalan klasik yang senantiasa menarik untuk dibicarakan baik pada tataran teoritis maupun praksis. Pengupahan buruh yang jauh dari layak acapkali dianggap sebagai salah satu jerat masalah yang melanggengkan kemiskinan bagi kaum marginal.
Diskursus selama ini seringkali hanya berkutat pada aspek legal-formal dan pendekatan institusionalis yang menekankan perlunya hukum perburuhan dan penataan institusi formal yang memadai. Lantas, bagaimana kita memahami persoalan pengupahan buruh secara lebih memadai? Memahaminya secara struktural membantu kita untuk memperoleh gambaran secara lebih komprehensif.
Sejauh ini mekanisme penetapan upah (wages level) baik Upah Minimum Propinsi (UMP) maupun Upah Minimum Regional (UMR) seringkali dianggap sebagai biang ketidakadilan struktural bagi kaum buruh. Kalaulah demikian realitasnya, maka perlu dipertanyakan abnormalitas sistem yang ada dengan mem-breakdown faktor-faktor struktural yang sebagai jerat kemiskinan.
Kebijakan pengupahan: relasi dialektis buruh dan pemodal
Sejauh yang dapat dilacak dalam sejarahnya, pengupahan menempati isu sentral dalam relasi industrial antara buruh dan pemodal. Di awal eksistensinya, kapitalisme telah memproduksi dan mereproduksi kontradiksi inheren di dalamnya. Dalam konteks ini, upah buruh menjadi salah satu produk dari kontradiksi yang melekat dalam relasi eksploitatif antara kelas kapitalis dan buruh (bandingkan Marx 1958; Potter 1992 dalam Mas’oed 1994, hh. 49-50). Demikian juga dalam konteks kehadirannya di negara kapitalis pinggiran (periferal), upah buruh menjadi isu sentral yang merefleksikan konflik dan relasi dialektis antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Resistensi sosial yang muncul kemudian seringkali tidak mampu mengubah relasi industrial yang eksploitatif dan penuh ketimpangan selama ini. Gerakan-gerakan buruh yang menuntut kelayakan dan perbaikan nasib ujung-ujungnya berakhir dengan negosiasi antara tripartit negara-kapital-buruh yang muaranya—meminjam istilah Robison (1988)—justru memperkuat ‘pakta dominasi’ antara negara dan kapitalis.
Penulis mengajukan argumen bahwa selama eksploitasi dan penindasan terhadap kaum buruh tetap ada, maka aktivisme dan kemampuan organisasional buruh menjadi tidak terlalu signifikan dalam mengubah struktur yang eksploitatif. Ditambah dengan realitas perburuhan di Indonesia pasca reformasi yang memiliki kecenderungan terjadinya polarisasi gerakan yang sporadis, fragmental, dan lemah secara organisasional (Al-Hambra, 2002). Dengan demikian, fokus dan lokus perubahan kondisi perburuhan di Indonesia mesti dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang menjerat kaum buruh ke dalam vicious circle of poverty. Setidaknya ada tiga faktor struktural yang menjadi pangkal kemiskinan dan eksploitasi terhadap kaum buruh di Indonesia; pertama, adanya pertukaran yang timpang (unequal exchange), kedua, hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh, serta ketiga, otonomi relatif negara yang memberi sumbangsih bagi pelestarian eksploitasi kaum buruh.
Unequal Exchange
Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan terkadang nampak inheren dengan kelas buruh adalah adanya pertukaran yang tidak adil dalam proses produksi. Mengikuti nalar pikir kapitalis yang secara sederhana berupaya mengejar surplus keuntungan sebesar-besarnya, maka upah harus ditempatkan sebagai salah satu beban produksi yang mesti diminimalisasi sedemikian rupa. Hal ini tentu saja berkorelasi negatif dengan nasib buruh yang senantiasa berada dalam subsistensi sistem. Menempatkan buruh dalam nalar berpikir semacam inilah yang mengawali proses alienasi dan penindasan kaum buruh dalam konteks sejarahnya.
Argumentasi di atas didukung oleh realitas yang ada saat ini dimana perusahaan-perusahaan transnasional menjalankan operasi bisnisnya di negara berkembang atas dasar melimpah-ruahnya tenaga kerja yang mau dibayar murah. Dalam konteks Indonesia, upah buruh yang murah justru menjadi salah satu keunggulan komparatif demi menarik gairah penanaman modal. Alih-alih investasi dalam bingkai globalisasi dan pasar bebas yang menjanjikan perbaikan ekonomi, negara Dunia Ketiga justru sekadar dijadikan wilayah operasi bisnis manufaktur yang pada akhirnya terjadi pengalihan surplus keuntungan bagi negara kapitalis sentral. Pihak yang paling parah menanggung eksploitasi ini tentu saja kaum buruh yang dimarginalisasi dan teralienasi dalam proses produksi. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh di bawah nilai produktivitas bawah faktor buruh ini (Sritua Arief, 1990).

Hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh
Selain adanya ketidaksetaraan pertukaran dimana buruh justru menjadi penopang bagi kapitalis melalui surplus nilai yang dihasilkannya, relasi yang eksploitatif juga menjadi faktor kunci penyebab rendahnya kesejahteraan nasib kaum buruh. Dalam konteks ini, buruh berada pada posisi uncompensated, sementara pengusaha berada pada posisi overcompensated karena dua hal; pertama, secara sadar atau tidak buruh dianggap sebagai kelas paria atau kelas kuli oleh kelas dominan sehingga mereka tidak dimungkinkan memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses produksi. Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asalkan mendapat pekerjaan. Hal ini secara kelembagaan mendorong ketentuan pengupahan yang tidak berpihak kepada kaum buruh.
Dalam situasi ketimpangan yang ada, institutional wage level yang terbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang menjadi dasar bagi kapitalis dalam menentukan tingkat upah yang dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi. Selain itu, daya tawar modal yang semakin tinggi jelas semakin memperlemah daya tawar kaum pekerja di negara yang memiliki tenaga kerja berlebih seperti Indonesia, yang tengah menghadapi kesulitan besar dalam membangun gerakan buruh yang efektif (Hadiz 2000).
Kondisi surplus buruh biasanya terjadi di negara dengan pasar tenaga kerja yang berlebih (monopsonistic market) seperti yang saat ini terjadi di Indonesia. Meskipun tidak terlalu komprehensif, namun setidaknya data yang dilansir Badan Pusat Statistik memperkuat argumen di atas. Data statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 2010 sebesar 67,72% (BPS 2010). Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, sehingga menimbulkan ketimpangan antara permintaan (demands) dan penawaran (supply) dalam pasar tenaga kerja.
Jelaslah bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia cenderung bersifat monopsonistik. Daya tawar pemodal senantiasa lebih kuat dibading kemampuan dan bargaining position buruh berhadapan dengan aliansi oligarkis negara-kapital. Implikasinya, buruh berada pada posisi yang tidak menguntungkan secara struktural dan pada akhirnya perbaikan nasib kaum buruh hanya menjadi retorika semata. Relasi yang cenderung eksploitatif berawal dari asumsi bahwa buruh merupakan bagian dari faktor produksi seperti halnya mesin dan bahan baku lainnya.
Otonomi relatif negara, sumbangannya bagi kemiskinan struktural buruh
Relasi yang eksploitatif oleh pemodal terhadap buruh semakin diperparah dengan peran negara yang acapkali lebih berpihak pada kekuatan kapital. Daya tawar kelas kapital dalam proses produksi semakin meningkat di tengah situasi pasar tenaga kerja yang monopsonistik dan celakanya negara justru lebih banyak memihak kepada kekuatan kapital tersebut.
Otonomi relatif negara muncul karena dua hal mendasar. Pertama, negara memiliki kemampuan untuk menerka-nerka kepentingan jangka panjang yang melampaui kepentingan jangka pendek kelas kapitalis. Dalam konteks ini, negara terkesan membela kepentingan kaum buruh, seperti menyediakan pendidikan murah. Namun efek jangka panjangnya, adanya buruh yang pintar ujung-ujungnya menguntungkan kaum kapitalis dengan produktivitas yang meningkat. Kedua, negara juga memiliki peran arbitrer dalam menegosiasikan kepentingan buruh dan pengusaha yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam mekanisme pengupahan dimana negara memainkan fungsi arbitrasi untuk mendamaikan kepentingan buruh dan pengusaha, namun ujung-ujungnya kepentingan kapitalis lah yang lebih diprioritaskan dengan dalih produktivitas ekonomi jangka pendek (Eric Hiariej, 2006).
Simpul wacana
Penguatan kapasitas organisasional dan ideologis buruh dalam satu wadah serikat buruh yang kuat agaknya sulit meraih signifikansi tujuan bagi perbaikan nasib kaum buruh di Indonesia. Liberalisasi pengorganisasian buruh justru menimbulkan lahirnya serikat buruh yang tidak konstruktif dan bahkan cacat secara kelembagaan. Perubahan atas relasi yang eksploitatif harus dimulai dengan perombakan faktor-faktor struktural yang selama ini menjerat kaum buruh dalam proses alienasi dan eksploitasi proses produksi.
Upaya transformasi struktural mesti diarahkan pada proses dekonstruksi faktor-faktor ketimpangan yang ada. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berkutat pada pemberian insentif dan stimulus ekonomi jangka pendek atau—meminjam istilah Sritua Arief—bantuan sinterklas yang tidak akan berhasil meningkatkan kedudukan ekonomi kaum buruh yang lebih tangguh. Hal ini disebabkan upaya-upaya jangka pendek yang ada tidak dibarengi upaya mengurai belenggu-belenggu struktural dalam hubungan dialektis yang eksploitatif.****
Oleh :
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

0 komentar:

Posting Komentar