Kamis, 13 September 2012

Reforma Agraria, Strategi Meraih Mimpi Kedaulatan Pangan di Indonesia*

Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian, apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan tidak asal ‘comot’ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks permasalahan.



Merunut akar persoalan kedaulatan pangan
“Siapa menguasai tanah, maka ia menguasai makanan” (Tauchid, 1952). Kalimat singkat tersebut semakin menemui relevansinya dalam konteks upaya merealisasikan mimpi kedaulatan pangan di Indonesia. Dengan demikian, akar persoalan kedaulatan pangan sangat lekat kaitannya dengan dinamika keagrariaan. Paling tidak ada dua aspek utama dalam memahami dinamika politik agraria. Pertama, aspek kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia yang timpang. Kondisi riil tata guna dan kepemilikan tanah yang timpang menjadi persoalan yang mesti diselesaikan dengan kejelasan visi dan komitmen melaksanakan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria). Sulit kiranya meraih kedaulatan pangan di tengah kondisi kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Data Sensus Pertanian tahun 2003 meyakinkan kita akan asumsi tersebut. Jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar) di Indonesia adalah 13.663.000 petani, sementara petani pengguna lahan sebanyak 24.176.000 petani (Berita Resmi BPS, 2004). Ditambah lagi fakta bahwa selama kurun waktu 1993-2003, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat sebanyak 3.663.000 jiwa. Petani gurem dan guremisasi petani masih menjadi momok yang mengharuskan kita berpikir ulang: seberapa jauh kita konsisten dengan agenda ketahanan dan kedaulatan pangan.
Aspek kedua dalam memahami persoalan keagrariaan dan kedaulatan pangan di Indonesia adalah tingginya laju konversi (alih fungsi) lahan pertanian. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan dalam kurun waktu 2004-2009, alih fungsi lahan pertanian di Indonesia mencapai 15.999,60 ha atau rata-rata seluas 3.199,92 ha per tahun, luasan 6000 ha di antaranya dikonversi untuk industri dan perumahan (Gatra, 2012). Realitas tersebut mengharuskan kita untuk meyakini bahwa petani juga dihadapkan pada permasalahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan prinsip reforma agraria.
Tawaran strategi meraih mimpi kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan bukan semata-mata soal kemandirian produktivitas pangan, namun juga keadilan akses masyarakat atas pangan dan sumber daya pangan produktif. Berkaca dari realitas akar persoalan sulitnya merealisasikan agenda kedaulatan pangan di atas, langkah strategis yang dapat diajukan tidak lain adalah melaksanakan agenda reforma agraria yang sempat terhenti pasca 1965. Kandasnya program reforma agraria di masa lalu semestinya tidak menjadi dalih untuk menjustifikasi irrelevansi kebijakan ini dalam konteks kekinian. Namun demikian, pembacaan atas kesalahan-kesalahan historis menjadi perlu dilakukan agar kita tidak terjerembab pada kegagalan reforma agraria pada dekade 1960-an. Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria, ada dua langkah strategis yang mesti dilaksanakan secara beriringan satu sama lain. Langkah pertama adalah redistribusi lahan dibarengi keadilan akses sumber daya produktif (pupuk, benih, teknologi tepat guna). Sementara itu, langkah kedua yang harus ditindaklanjuti adalah menekan laju konversi lahan melalui kebijakan lahan abadi pertanian.
Redistribusi lahan plus keadilan akses sumber daya produktif
Titik tekan dalam agenda reforma agraria pada dasarnya adalah redistribusi penguasaan dan kepemilikan lahan untuk menata ulang struktur agraria. Dalam proses ini, negara menempati sentralitas dan signifikansi perannya untuk memastikan proses redistribusi berjalan sebagaimana mestinya. Di sinilah perlunya komitmen dan keseriusan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUPA yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam konteks Indonesia saat ini, struktur penguasaan lahan pangan didominasi oleh korporasi-korporasi raksasa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan perlawanan petani yang mengusung agenda land reform.
Ancaman nyata neoliberalisme di bidang pangan tidak hanya termanifestasi dalam relasi perdagangan internasional, namun juga nampak dari campur tangan pasar yang terlalu jauh dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Dengan demikian, kita tidak perlu terperangah manakala lembaga donor internasional semacam IMF berbicara soal reforma agraria yang berbeda sama sekali dengan ekspektasi gerakan petani. Market led-agrarian reform muncul sebagai alternatif kebijakan yang ditawarkan lembaga donor untuk memastikan pasar tanah terhindar dari distorsi yang ujung-ujungnya memperluas penetrasi pasar dalam proses produksi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, langkah konkrit yang dapat kita lakukan adalah mendorong pelaksanaan redistribusi tanah oleh negara untuk menata ulang struktur kepemilikan dan penguasaan lahan. Gerakan petani yang efektif dan mampu memperluas basis di akar rumput serta akses terhadap pemangku kebijakan tentunya akan mampu merealisasikan hal tersebut.
Namun demikian, upaya redistribusi lahan juga mesti dibarengi dengan upaya memperluas akses petani atas sumber daya produktif, seperti pupuk, benih, dan teknologi tepat guna. Perluasan akses tersebut bukan semata-mata penyediaan pupuk bersubsidi dan bantuan benih, namun juga menyangkut upaya mengembalikan kearifan lokal yang sempat tergerus oleh program Revolusi Hijau di era Orde Baru. Sebelum program Revolusi Hijau dicanangkan, petani kita terbiasa menggunakan bibit unggul terbaik yang dikembangkan sendiri dan pupuk organik yang ramah lingkungan. Dalam konteks yang hampir sama, tentu saja kita dapat meniru gerakan kedaulatan pangan di Andhra Pradesh India yang mampu mengembangkan sistem agroekologi berbasis kearifan lokal yang mampu menopang kedaulatan pangan lokal. Membebaskan akses petani atas pupuk dan benih dapat dijalankan dengan upaya menghidupkan kembali kearifan lokal sekaligus memutus ketergantungan terhadap pupuk dan benih produk korporasi.
Menekan laju konversi lahan
Mimpi meraih kedaulatan pangan juga harus dilakukan dengan jalan menekan laju konversi lahan yang semakin masif. Selain struktur agraria yang timpang, petani juga dihadapkan pada kian masifnya alih fungsi lahan pertanian yang semakin menambah kompleksitas persoalan kedaulatan pangan. Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan terobosan kebijakan lahan abadi pertanian melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLPPB). Melalui regulasi tersebut, pemerintah menetapkan luasan tanah yang tidak diperbolehkan untuk dialihfungsikan dengan memberikan mekanisme insentif bagi para petani. Bantuan pupuk dan benih serta pembebasan pajak diberikan kepada para petani pengolah lahan abadi selama jangka waktu kontrak tertentu.
Namun demikian, optimalisasi kebijakan ini masih perlu dilakukan seiring dengan derasnya laju konversi lahan untuk industri dan perumahan. Pemerintah juga mesti memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakat rumah tangga petani. Dalam konteks petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, sistem waris menjadi salah satu kendala yang mendorong laju konversi lahan. Sejak dahulu, sistem waris dipercaya menjadi mekanisme yang semakin mempersempit penguasaan lahan oleh petani. Selain itu, desakan modernisasi memaksa petani menyesuaikan kondisi hidupnya dengan realitas semu yang dianggap modern. Tak ayal, banyak petani kita yang menjual lahannya untuk membeli kebutuhan konsumsi demi memastikan dirinya menjadi bagian dari modernitas tersebut.
Namun demikian, ancaman yang paling serius datang dari ekspansi kapital melalui perusahaan perkebunan dan industri. Tanpa perlu bersusah payah, kita dapat melihat realitas dominasi modal asing dari sektor perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya saat ini melampaui 75% (9,2 juta hektar) dengan hanya 3,6 juta hektar yang tersisa dan dikelola oleh 2,5 juta petani sawit dalam negeri (Sawit Watch, 2011). Oleh karena itu, upaya menekan laju konversi lahan tidak hanya semata-mata dilakukan dengan penyediaan bantuan produksi, namun juga harus memastikan sisi peluang alih fungsi lahan seminimal mungkin dengan melihat aspek sosio-kultural dan dominasi korporasi. \
Simpul wacana
Kedaulatan pangan bukan semata-mata persoalan ketersediaan dan kemandirian produktivitas pangan. Realisasi mimpi kedaulatan pangan juga mensyaratmutlakkan keadilan akses masyarakat terhadap produksi pangan nasional. Menjauhkan petani dari lahannya sama saja semakin menjauhkan harapan kedaulatan pangan menjadi kenyataan. Dengan demikian, upaya merealisasikan kedaulatan pangan di Indonesia mesti dilakukan dengan misi reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria dan akses petani atas tanahnya. Implikasi lanjutannya, kedaulatan pangan tercapai dengan kemandirian produksi pangan nasional dan keadilan akses masyarakat terhadap kebutuhan pangan. Redistribusi lahan yang disertai akses petani terhadap sumber daya produktif dan upaya menekan laju konversi lahan dengan sendirinya akan mampu merealisasikan mimpi besar kedaulatan pangan di Indonesia.

*Juara 1 Lomba Esai SSSG 2012
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

0 komentar:

Posting Komentar