Sugeng Rawuh...

Official Site PPSDMS Nurul Fikri Angkatan 6 Regional III Yogyakarta

Laskar Nakula dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Bersama Angkatan 5 dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Sabtu, 24 November 2012

Regional Yogyakarta-Surabaya Gelar Latgab Timur di UGM



16 - 18 November 2012 – Yogyakarta kembali menjadi saksi dalam perhelatan Latihan Gabungan (Latgab) kawasan timur PPSDMS Nurul Fikri seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak tanggung-tanggung, tahun ini Latihan Gabungan diselenggarakan bersama tiga regional sekaligus, berbeda dengan tahun lalu yang hanya dua regional saja. Untuk tahun ini Latgab timur diikuti oleh peserta PPSDMS Nurul Fikri Regional III Putra Yogyakarta, Regional IV Surabaya, dan ditambah dengan regional baru yakni Regional III Putri Yogyakarta. Hal ini menyebabkan pelaksanaan yang selama ini di Asrama Putra Yogyakarta harus dipindah ke Kompleks Gedung Fakultas Peternakan UGM untuk mengakomodir jumlah peserta yang tentu lebih banyak.

Peserta PPSDMS Regional IV Surabaya tiba di Yogyakarta sekitar pukul 14.00 setelah melakukan perjalanan dari Surabaya dengan menggunakan kereta api. Sesampainya di asrama putra, mereka beristirahat sejenak sebelum pelaksanaan Latihan Gabungan dimulai. Sekitar pukul 15.30 semua peserta dimobilisasi menuju Kompleks Gedung Fakultas Peternakan UGM untuk memulai pelaksaan Latihan Gabungan. Sesampainya disana, para peserta dikondisikan dan diberikan berbagai arahan terkait Latihan Gabungan.

Tepat pukul 20.00 akhirnya pembukaan digelar dengan dihadiri Ust. Musholli selaku Direktur PPSDMS, Pak Waziz Wildan selaku Ketua Asrama Regional III Putra, dan Pak Albari selaku salah satu Dewan Penyantun PPSDMS. Diawali dengan pembacaan tilawah oleh Albistamy Mosadi Putra dilanjutkan menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Mars PPSDMS dengan dirigen Dwi Wahyu Arun Darmawan. Sambutan yang pertama oleh Bapak Waziz Wildan selaku Ketua Asrama Regional III Putra. Dalam sambutannya beliau menyampaikan selamat datang bagi Peserta PPSDMS Regional IV di Yogyakarta. “ Pemimpin itu harus peka dan konsen terhadap kondisi sekitarnya “ Tandasnya. Acara langsung dibuka oleh Direktur PPSDMS, Drs. Musholli. Dalam sambutannya, Drs. Musholli menyampaikan kegelisahannya terhadap kondisi Indonesia saat ini. Indonesia yang notabene merupakan negera dengan umat muslim terbesar di dunia belum mampu menunjukkan kejayaan yang dilandasi dengan karakter Islam yang terrefleksikan dalam kehidupan keseharian. Harapannya PPSDMS menjadi jawaban dan solusi atas permasalahan itu.

Setelah acara pembukaan tersebut, dilanjutkan program pertama yaitu Kajian Islam Kontemporer oleh Ust. Musholli. Kemudian masih banyak lagi program-program yang memang dipersiapkan untuk para peserta PPSDMS kawasan timur selama 3 hari tersebut (Jumat 16 November 2012 - Ahad 18 November 2012). Program-program tersebut adalah Fieldtrip, Workshop “Mindset of Leadership” bersama Walikota Kota Yogyakarta 2 periode Harry Zudianto, Sharing Alumni yang dikonsep santai dengan Angkringan khas Jogja, Dialog Kebangsaan bersama Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto dan Training Pengembangan Diri bersama Ust. Fatan Fantastik serta masih banyak lagi. Latihan Gabungan selesai sekitar pukul 17.00 WIB dengan diakhiri prosesi penyerahan kenang-kenangan dari Regional Surabaya ke Regional Yogyakarta. Selain untuk menumbuhkan ukhuwah diantara peserta PPSDMS dari ketiga regional, acara tersebut juga dimaksudkan untuk menambah pemahaman dan menyiapkan peserta untuk menjadi pemimpin masa depan. Menjadi solusi terhadap krisis kepemimpinan di negeri ini tak lain untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. [Phisca AR]

Kamis, 22 November 2012

Dalami Akhlak Islami Melalui Diskusi bersama Ust. Solikhun



Yogyakarta 22 November 2012 – PPSDMS Regional III Putra Yogyakarta menyelenggarakan sebuah program baru, yakni Kajian Akhlaq Islami. Untuk pertama kalinya, kajian ini menghadirkan Ust. Solikhun yang merupakan pengelola Pesantren Asma Amanina dan Islamic Center Al Muhtadin, Seturan. Kajian ini direncanakan akan diselenggarakan setiap dua minggu sekali yang untuk sementara mengambil waktu malam Jumat.

Dibuka dengan tilawah yang disampaikan oleh Muhammad Fikru Rizal, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2010 disaat kondisi di luar asrama masih diguyur hujan. Kajian dimulai pukul 20.15 dengan dimoderatori oleh Puji Utomo, mahasiswa Fakultas Teknik 2010. Pada kesempatan ini, Ust. Solikhun pertama kali mengajak untuk saling bertaaruf dengan peserta PPSDMS angkatan 6 yang hadir waktu itu. Beliau bertanya mengenai nama dan asal dari setiap peserta PPSDMS.

Memantik diskusi malam itu, Ust. Solikhun menyampaikan bahwa Islam itu adalah sebuah dien yang akan membawa kita ke dalam kebahagiaan. Islam mengatur segala hal terkait segala aspek kehidupan kita, mengenai aqidah, syariat, akhlaq dan lain sebagainnya. Beliau juga menyentil dan menyalahkan kalau ada orang yang mengaitkan agama Islam dengan gerakan ektrim. Hal ini dimungkinkan karena mungkin mereka yang mengatakan seperti itu belum mengenal Islam secara komprehensif. Mereka menganggap apa yang tidak sama dengan kehidupan (agama) mereka itu adalah ekstrim dan menakutkan. Inilah yang akan menyebabkan takut kepada Islam. Inilah yang harus diluruskan dan dibenarkan.



Jika Rasululloh berbicara tentang Akhlaq maka akan mencakup semua lini kehidupan. Dalam riwayat juga disebutkan bahwasannya Rasululloh diutus di dunia ini adalah untuk menyempurnakan Akhlaq, innamal buistu liutammima makarimal akhlak. Persoalan di Indonesia ini cuma satu, tidak adanya kejujuran. Dengan adanya ketidakjujuran ini akan memunculkan kompleksitas permasalahan dalam berbagai segi kehidupan seperti yang ada di Indonesia. Mulai dari korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai carut marut di negeri ini. Padahal sudah jelas dalam sebuah Hadist sudah jelas dikatakan bahwa Kejujuran itu menenangkan jiwa. Dari cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Hasan bin ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.

Akhlaq menjadi hal yang penting untuk membentuk sebuah karakter yang baik. Jujur di dalam Islam merupakan nilai Akhlaq yang tertinggi sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad. Berlaku jujur dalam setiap peranan kita, menjadi mahasiswa yang jujur, menjadi politisi yang jujur, menjadi pegawai yang jujur dan peranan lainnya. Terlebih sebagai peserta PPSDMS yang memang merupakan calon pemimpin masa depan. Kejujuran akan menjadi modal awal untuk menjadi pemimpin yang amanah dan profesional seperti yang dirindukan Indonesia saat ini. [Phisca AR]

Senin, 12 November 2012

Pendekatan Transformatif Kontra-Terorisme



Oleh Mohammad Zaki Arrobi*
Terorisme seperti ‘hantu’ yang bergentayangan di negeri ini. Betapa tidak isu terorisme rasanya selalu menghiasi media massa kita, seperti ‘hantu’ kadang hadir menyentak kemudian hilang perlahan lahan, namun tiba tiba datang kembali, selalu begitu. Peristiwa penggrebekan serentak sebelas terduga teroris yang tersebar di Madiun, Solo, Jakarta dan Bogor (Jumat, 26/10/12) baru baru ini menjadi preseden terbaru datangya kembali ‘hantu’ terorisme, sebelumnya ledakan bom di Depok dan Tambora beberapa waktu yang lalu juga menambah panjang daftar aksi terorisme di negeri ini. Fakta yang mengejutkan adalah para pelaku teror yang tertangkap di empat daerah ini adalah jaringan teroris baru di tanah air, kelompok ini menamakan diri dengan sebutan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (HASMI).

Terbongkarnya jaringan teroris baru HASMI menjadi ‘prestasi’ sekaligus ‘ironi’ bagi pemerintah. Prestasi sebab pemerintah melalui Densus 88 telah berhasil melakukan tindakan preventif sebelum aksi teror benar benar terjadi, ironi sebab nyatanya program deradikalisasi dijalankan pemerintah selama ini belum banyak membuahkan hasil. Publik layak mempertanyakan efektifitas program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, penemuan jaringan baru teroris HASMI menandakan ideologi terorisme masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Padahal pemerintah sejak tahun 2010 telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit untuk project ini. BNPT sebagai badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk concern pada penanggulangan teror patut dievaluasi kinerjanya, serangkaian program deradikalisasi yang dijalankan BNPT seolah menguap tanpa bekas ketika kita melihat kelompok-kelompok teroris baru terus bermunculan, apalagi kebanyakan pelakunya adalah pemuda pemuda yang justru mengalami radikalisasi yang menghebat. Pendekatan represif terhadap terorisme ditengarai menjadi sebab kegagalan pemerintah dalam mencegah benih benih terorisme, alih alih deradikalisasi yang ada justru radikalisasi.

Tumbuh suburnya terorisme di tanah air harus dilacak pada akar sosial persoalannya, bukan hanya pada tataran permukaannya saja. Menurut penulis persoalan terorisme di Indonesia setidaknya berpangkal pada dua hal, pertama ideologi dan kedua jejaring sosial. Berikut pemaparannya. Pertama, Ideologi, masih adanya ideologi teror yang terus berkembang di kalangan sebagian masyarakat kita, biasanya ideologi teror yang dikembangkan menggunakan ajaran keagamaan tertentu yang ‘dipelintir’ demi membenarkan tindakan terorisme. Kedua, jaringan. Ideologi tidak akan berkembang tanpa jejaring sosial yang memadai, artinya ideologi teror berkembang melalui jejaring sosial yang saling terkoneksi antar kelompok kelompok teror di Indonesia, mereka memanfaatkan kemudahan akses informasi dan komunikasi untuk menyebarkan ideologi teror mereka ke sebanyak mungkin orang, sehingga dengan mudah ideologi teror ini bertransformasi menjadi tindakan tindakan terorisme. Kedua faktor ini merupakan pangkal persoalan mengapa terorisme masih tumbuh subur di berbagai daerah di tanah air,

Persoalan terorisme sesunguhnya terkait erat dengan relasi relasi sosial yang ada dalam masyarakat. Ideologi teror yang coba dikikis habis oleh program deradikalisasi BNPT nyatanya bukan saja bersumber dari ajaran agama tertentu, namun juga melibatkan jejaring sosial yang saling terkait dalam masyarakat. Oleh karenanya solusi yang perlu dikembangkan oleh pemerintah bukan saja pada aspek represi semata, namun juga dengan menyediakan ruang sosial yang lebih heterogen sehingga memungkinkan para mantan pelaku teror mentransformasikan ideologinya. Dalam konteks ini, kesimpulan disertasi pengamat terorisme Indonesia, Dr. Najib Azca tentang fenomena Jihadis di Ambon menjadi relevan untuk dikemukakan, disertasi yang telah di uji di Amsterdam School For Social Science Reseacrh (ASSR) ini menunjukan bahwa para mantan pelaku teror sesungguhnya dapat hidup berdampingan secara damai dengan lingkungan masyarakat pada umumnya jika diberi infrastruktur dan ruang sosial yang memadai. Riset ini menunjukan bahwa para mantan pelaku teror mampu mentransformasikan ideologinya menjadi aksi aksi produktif yang nir kekerasan jika diberi infrastruktur sosial yang memadai, pada periode paska-terorisme mereka ada yang menjadi penulis, terjun ke politik praktis hingga terlibat dalam aksi aksi pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya,  tindakan memusuhi dan mengucilkan pelaku teror justru membuat mereka menjadi semakin radikal dan akan menginspirasi jejaring kelompoknya melakukan teror balasan.

Penciptaan jejaring sosial yang heterogen, interaksi sosial yang cross cultural dan penyediaan ruang ruang sosial untuk beraktualisasi bagi mantan pelaku teror adalah formulasi strategis untuk mengikis habis benih benih terorisme dalam masyarakat. Para mantan pelaku teror ini harus diberi infrastuktur sosial yang heterogen, memastikan mereka berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda, menyediakan ruang ruang sosial yang memungkinkan mereka mengaktualisasi diri sekaligus memiliki basis ekonomi bagi kehidupan mereka. Kini sudah  saatnya strategi kontra terorisme kita mengarus utamakan pendekatan yang lebih transformatif, dan membuang jauh represi serta streotyping bagi para mantan pelaku teror, demi terwujudnya tatanan masyarakat Indonesia yang nir kekerasan.
__________________________________
*Sosiolog UGM, Pegiat di Ulil Albab Society

Minggu, 28 Oktober 2012

Creating Harmony Life, by Togetherness and Tolerance


Faith was the principal of life, which is included in Human Right and nation has confessed it to be embraced by every people especially in Indonesia. By having faith, every people will have their own orientation for what they live here, and also, they will have a strong conviction in order to create the harmony life between each person in their environment. What is the unique of Indonesia, especially about faith? Indonesias was the country that has so many type of faith, from Islam, Christian, Buddhist, Hindu, Catholic, and etc., on another hand most of ism form that principal faith, had developed in Indonesia. But the question, how to create peaceful in this country? The answer is togetherness and respect. Nowadays, SARA was become the main issue in Indonesia, because of the diversity of Indonesia, every people can be pitted by this issue. This issue has become the concern of our government in order to solve and try to unite every people. Indonesia was the largest Island Nation that has spread from Sabang and Merauke. Every Island hs their own family, form example Java with Java Family, Betawi Family, Sunda Family, Kalimantan with their Dayak Family, Irian Jaya with their Papua Family, Sumatera with their Batak Family, and etc. every family will have their own faith. But let’s imagine, if every family will regard that their faith are the right one. It will become disaster because every people will impel their faith to be believed with other people, moreover there will be hostility. One thing that was so important was every nation has regulated the freedom from every people to believe one faith. Besides that, Indonesia was the country that has enacted Pancasila as the base of this nation. Pancasila was born from reflection of Ir. Soekarno as the first president in Indonesia. From Pancasila, it shown that Indonesia is country that honor of people which have strong faith, by the sound of Pancasila in first sentence, belief in the one and only God.



  • Diversity as the power for this nation to be Development Country
Diversity in Indonesia should become the power to develop this country. Faith should not become the barrier to make Indonesia as the big country that can be model for every country in the world about the harmonization between every religion follower. Faith as the basic of life will try to guide every people to become the agent that will bring the nation into development country. Interfaith will teach us about how to respect with others perspective about religion. Every religion has their own truth. As the youth and young generation, we should support the big theme of this nation to increase the safety of this big nation by keeping the harmonization of life between each religion follower. Young generation can become the promoter to support this, by:
  1. Giving some action by making discussion about interfaith, especially small groups discussion that can began from Senior High School, and can be continued until youth summit like this forum.
  2. Trying to make cultural approach to unite every people from different family and nation. Culture has the biggest impact for making unity. It can be seen from the music, dancing, and etc. Music was the general tools for making people aware that they was unity, and also, can make people from other religion aware that they God, that teach them about kindness.
As the Muslim, the writer does believe that every religion has taught about kindness. Islam, Christian, Buddhist, Hindu, Catholic, ask the follower to spread love. There is no instruction to make war, and makes terrorism action to kill human.
  • Stop Violence Action
There are so many issues that has been heard, and it was made people confuses about the peaceful that should be created in this world. For example, case of Rohingnya which was made us thought that there is no peace and there is no tolerance between each religion follower there. In Indonesia, a few days ago, we heard about case of SARA in Sampang, Madura, East Java. All of the case that happened because of there is no togetherness that has been appeared in their heart. All of us live in the same earth, same country, same family, the question that appeared was why there should be violence action, moreover killing their own family. It should become contemplation, what’s wrong with us. As the human, human rights always become the hot issue to be spoken, but human right was regulated the freedom for people to live and believe their religion, but when there is violence action happened, human right like forgotten by each people.
  • Developing Harmony Life by Respect Each Other
Harmony life is the dream from each people. Harmony life can bring us peaceful everywhere we live. There is no afraid, or stress that will appear when harmony life can be created in the wide atmosphere. As we all know, society now was so tired by hearing a violence action on behalf of SARA. Society missed the tranquility, where each peole can walk in every place without afraid. How about faith? The writer believes that every religion teach us to bring kindness and make the calm atmosphere. There is no religion which teach the follower to do criminal action, or terrorism action, more over threaten others faiths. As the moslem, the writer has been taught to respect with others religion.
In this era, faith has become the necessity which most of people trying to search about the truth. Every religion has their own truth, but there will no different basic of religion that should be contested. Every people have their own truth, and there is no right for them to enforce other people to follow what they have followed. If we understand about human right, we will try to apply the harmony life to create the comfortable atmosphere.
The new paradigm for interfaith that should be created in the 21st century is developing nation from harmony life, which can be created by applying togetherness and tolerance. By togetherness and tolerance, every people can do well their job, without discrimination, every people will get safety to do their activity. In the 21st century, we should close the issue about violence on behalf of SARA. The tragedy that happened in 2012, especially in Myanmar and Indonesia, should become the lesson for all of us, that until now, we still become human that cannot respect with each other. We still become human that egoistic with our prominence, moreover we forget the human right until there is casualties that have been caused from that tragedy. Human beings should be treated as human and sense of humanity. From interfaith summit, we can respect people in the different religion, and trying to spread love. As young generation, we have a duty to give understanding for other people all over the world, that as human who has a faith to God, we believe that we can live in the world by peaceful, and give the best service for human, and also for God, as the one that we believe about the power of God, who has created earth and the universe. The last, from this essay, the writer hope that it will bring new paradigm that will make other people trying to open mind and can live together in diversity.
Unity in Diversity”


Mahasiswa Jurusan Biologi UGM


Minggu, 14 Oktober 2012

Strategi Pasca Kampus : Ngobrol Tentang Bisnis Bareng CEO Suitmedia


Mahasiswa dikenal memiliki ide dan gagasan yang cemerlang. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan kecemerlangan ide-ide mereka itu untuk memulai usaha dan bisnis mereka. Salah satunya adalah Bang Fajrin, Mahasiswa peraih IPK 4 Teknik Informatika ITB angkatan 2004. Mahasiswa yang juga merupakan alumni PPSDMS regional II Bandung angkatan III ini memang telah makan garam dengan dunia berwirausaha. Inilah yang disharekan dalam Diskusi Pasca Kampus Ahad malam (14 Oktober 2012). Bertempat di Asrama Putra PPSDMS Regional Yogyakarta, Bang Fajrin berkesempatan silaturahmi dan berdiskusi bersama teman-teman PPSDMS Regional III Putra dan Putri.


Dimoderatori oleh Puji Utomo, mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UGM 2010, Diskusi Pasca Kampus dimulai sekitar pukul 20.00 WIB. Mengawali diskusi kali ini, Bang Fajrin menyampaikan berbagai pencapaiannya yang akan ditempuh pasca kuliah. Diantarannya adalah pertukaran pelajar, membangun karier profesional awal, melanjutkan S-2, Karier Profesional lanjur, karier top level, mendirikan usaha, akademisi/dosen. Namun dalam perjalanannya memang tidak saklek sesuai dengan perencanaan awal. Dengan beberapa pertimbangan dari partner beliau, akhirnya beliau memutuskan setelah membangun karier profesional awal langsung mendirikan usaha. Hal ini juga karena melihat kesempatan dan peluang kedepannya.

Berbicara tentang dunia usaha, Bang Fajrin menyampaikan beberapa motivasi mayoritas orang melakukan aktivitas wirausaha, diantarannya adalah waktu kerja flexibel, budaya kerja flexibel, kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, kesempatan mengatur waktu, gaji. Namun menurut hemat beliau beberapa alasan tadi belum tepat, harusnya alasan berwirausaha adalah melakukannya untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat sekitar.

Lalu apa yang harus disiapkan para mahasiswa yang akan memulai membangun bisnisnya? Bang Fajrin menyampaikan 4 poin yang harus diupayakan untuk merintis sebuah bisnis. Berawal dari munculnya sebuah ide tentang bisnis yang akan dirintis, kemudian tentu untuk membuat sebuah sistem kerja yang baik, kita memerlukan tim yang solid dan dapat saling percaya. Dalam mengembangkan tim kerja yang ideal ada tips dari Bang Fajrin yang terangkum dalam 4C, yakni : commitment, character, capacity/competency, compatibility/chemstry. Kemudian modal juga menjadi hal yang tak kalah penting sebelum kesemua itu dieksekusi menjadi sebuah usaha yang siap dirintis.

Terakhir beliau menyampaikan masukan untuk memulai usaha berdasarkan apa yang telah Beliau jalani selama merintis berbagai usahannya. tentukan strategi (tetapi terbuka akan peluang), mencari pengalaman sebanyak mungkin (riset pasar, terlibat dalam usaha, mengikuti perlombaan), cari rekan dari sekarang, cari mentor. Dan yang juga tak kalah penting dalam menjalani usaha itu kita harus memperoleh 3 hal yaitu keamanan, kenyamanan, kebebasan. Sehingga kita akan enjoy menjalani usaha kita. Itulah tips dari seorang CEO suitmedia yang mungkin bisa dijadikan referensi kita dalam memulai usaha kita, apapun itu usahannya. [Phisca AR]


Kamis, 11 Oktober 2012

Yang Muda Yang Inovatif – Inspired by Sandiaga S. Uno (Part 1)


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berinteraksi dengan bang Sandiaga Salahuddin Uno, salah satu sosok yang dari dulu ingin saya gali rahasia kesuksesannya. Track record-nya selama ini sudah tak dapat dipungkiri lagi, sungguh membawa perubahan positif bagi Indonesia. Walaupun telah belajar dari berbagai referensi tentangnya, masih belum lengkap rasanya kalau saya belum mencicipi langsung ‘tamparan pedas’ beliau.

Berawal dari pemaparan mas Sandi mengenai situasi Indonesia saat ini yang masih berada pada persimpangan jalan, beliau mengutarakan optimismenya menuju Indonesia Emas masa depan. Negeri ini akan berada pada status yang disebut dengan golden age, dengan prestasi pertumbuhan ekonomi yang mulai beranjak dewasa. Indonesia kini menjadi negara yang layak menjadi tujuan investasi yang sangat menarik, dilihat dari bukti nyata yang telah diciptakan bangsa di masa belakangan ini.

Optimisme dan harapan itu kian membumbung ketika melihat realita bangsa yang sesungguhnya sangat digdaya. Indonesia has everything. Hampir setiap wilayah Indonesia memiliki sumber daya alam. Sawah, ladang dan hutan terbentang luas. Samudera dan perikanan mengelilingi eksotisnya zamrud khatulistiwa. Pertambangan dan mineralnya menjadi anugerah langka yang hanya dimiliki oleh Indonesia. Agribisnis Indonesia pun semakin diperhitungkan. Ditambah lagi, Indonesia juga memiliki bonus demografi yang luar biasa. Usia penduduk Indonesia terhitung usia produktif, se-Asia bahkan sedunia.

Jumat, 21 September 2012

Menata Karier Pasca Studi



Yogyakarta, 19 September 2012 - Adalah hal yang wajar kita ingin mempunyai masa depan yang cerah, salah satunya adalah dalam berkarier. Ekspektasi inilah yang secara tidak langsung memberikan ghiroh kita dalam berjuang sebelum pasca kampus. Belajar dengan giat untuk mempersiapkan kesuksesan di masa yang akan datang. Hal ini menjadi penting karena hasil yang luar biasa tidak akan tercapai dengan upaya yang biasa-biasa saja. Perlu adanya pengorbanan keras untuk berproses, menata karier pasca studi dengan sebaik-baiknya. Hal inilah yang dikupas dalam program bulanan Diskusi Pasca Kampus PPSDMS Regional III Yogyakarta. Bertempat di asrama putra regional Yogyakarta, Diskusi Pasca Kampus kali ini menghadirkan Ir. M. Wazis Wildan, M.Sc., Ph.D atau yang akrab disapa Pak Wazis.

Mengawali Diskusi Pasca Kampus kali ini, Pak Wazis menyampaikan kondisi pendidikan semakin berkembang jika dilihat dari perspektif pendidikan dari pengajar yang ada. Kalau dulu guru cukup berpendidikan SPG (sederajat dengan tingkat SMA). Berbeda dengan saat ini, dimana untuk menjadi guru idealnya adalah sudah bergelar sarjana. Belum lagi jika kita bicara untuk menjadi praktisi pendidik di perguruan tinggi yang mewajibkan minimal harus telah menempuh S-2. Inilah sebuah contoh bahwasannya peningkatan kualitas dan mutu sebuah profesi itu selalu berjalan. Implikasinya akan memunculkan iklim kompetitif yang cukup tinggi untuk bisa tetap ambil bagian. Inilah tantangan untuk generasi muda saat ini, siapa yang benar-benar mempersiapkan diri mulai dari saat ini. Merekalah yang akan sukses dalam berkarier di masa mendatang.

Belum lagi jika kita bicara era globalisasi, tentu persaingan dalam berkarier akan menjadi lebih ketat lagi. Hal ini karena kita harus berhadapan dengan “kompetitor-kompetitor” kita dari berbagai negara yang tentunya mungkin jauh lebih berkualitas dibandingkan kita. Agar kita tidak kalah kita harus mempersiapkan sematang mungkin sebelum kita memasuki dunia pasca kampus, yakni dengan menjadi mahasiswa yang utuh. Konsepsi mahasiswa yang utuh tergambarkan dalam bagan dibawah ini :







Berikut adalah rumusan untuk bisa menjadi mahasiswa yang bisa dibilang utuh. Menjadi mahasiswa yang bisa mengelola, berkontribusi, dan peduli. Mengelola pribadi untuk membentuk karakter yang utuh. Berkontribusi dan peduli terhadap lingkupnya, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga peduli terhadap nasib bangsa. Dalam pencapaian itu perlu adanya kemauan dan niatan yang kuat, kemampuan atau kompetensi, dan yang tidak kalah penting adalah semua itu dilandasi dengan niatan yang ikhlas. Dengan begitu mahasiswa akan memasuki dunia pasca kampusnya sebagai solusi bagi bangsa ini, bukan justru sebagai beban bagi bangsa ini. Kalau bicara dalam hal karier, mahasiswa setelah lulus bukan lagi sebagai jobseeker namun sebagai jobmaker. [Phisca AR]


Menyelami Jurnalistik Bersama Bang Wisnu, Peraih Pena Emas 2010

Kamis, 20 September 2012 – PPSDMS Nurul Fikri Regional Yogyakarta Putra kembali menggelar program bulanan Sharing Alumni. Adalah Wisnu Prasetya Utomo atau yang lebih akrab dengan sebutan bang Wisnu, alumni PPSDMS angkatan 4 yang berkenan hadir untuk bisa saling berkisah dengan peserta PPSDMS Regional Yogyakarta Putra angakatan IV. Sosok yang dekat dengan dunia jurnalistik ini tahun 2010 lalu berhasil mempersembahkan Pena Emas PPSDMS 2010 untuk regional Yogyakarta. Mahasiswa Komunikasi UGM ini pernah menjadi orang nomor satu di BPPM Balairung UGM tahun 2010 silam.


Bang Wisnu membuka sharing kali ini dengan bercerita mengenai awal masuknya di PPSDMS. Kondisi yang ada ternyata geliat menulis di kalangan warga asrama masih dirasa minim.  Hal yang menarik adalah beliau sering meminjam laptop teman-teman asrama untuk bisa menulis, karena waktu itu beliau belum memiliki laptop. Meskipun Bang Wisnu baru bisa pinjam laptop teman-temannya disaat mereka tidur, beliau tetap semangat menulis, menulis, dan menulis. Hal ini karena Bang Wisnu menganggap bahwa menulis itu adalah aktivitas pengabdian ide-ide dan pemikiran yang kita miliki.

Kekhawatiran yang dicurahkan Bang Wisnu saat ini adalah disaat budaya menulis itu belum greget dikalangan kita. Kondisi ini diperparah dengan yang meluas saat ini justru tulisan-tulisan yang berbau kegalauan, cinta, dan hal-hal yang terkesan “dangkal”. Sehingga hal ini menjadikan sebuah kekhawatiran bagi generasi kita berikutnya yang hanya memiliki referensi  tulisan-tulisan yang terkesan dangkal tersebut. Berangkat dari sini Bang Wisnu mengajak peserta PPSDMS untuk lebih giat menulis dan mencurahkan ide dan gagasannya di berbagai media. Varian media saat ini yang cukup beragam akan sangat eman-eman jika kita tidak bisa memanfaatkannya sebagai media publikasi tulisan-tulisan kita.

Antusiasme teman-teman dalam sharing alumni kali ini cukup tinggi dengan banyaknya pertanyaan-pertannyaan yang dilayangkan hingga tidak terasa waktu telah menunjukkan jam 22.00 lebih.“ Semoga diskusi kali ini bisa memantik teman-teman untuk bisa lebih giat menulis, menulis apapun itu “ Pungkas Bang Wisnu. [Phisca AR]

Minggu, 16 September 2012

Pahami Epistemologi Islam, PPSDMS Jogja Gelar Diskusi

Jumat, 14 September 2012 – PPSDMS Regional Yogyakarta Putra menggelar Diskusi Epistemologi Islam. Diskusi kali ini menghadirkan Ketua Jamaah Shalahuddin UGM periode 1425 H, Bang Miftahul Huda. Bertempat di ruang utama asrama putra, hampir semua peserta PPSDMS hadir dan turut berpartisipasi. Dengan dimoderatori oleh supervisor asrama, mas Aqil diskusi dimulai sekitar pukul 20.15 tepat.
Mengawali pembicaraan, Bang Miftah membuka sebuah pengantar tentang kondisi masyarakat saat ini yang seolah terkesan tanpa kelas, adanya tawaran-tawaran ideologi yang belum tentu kesemuannya itu baik. Dalam kondisi inilah perlunya memahami lebih mendalam epistemologi Islam adalah sebuah hal yang urgensi. Hal ini tak lain adalah untuk kita menjaga ideologi dan karakter Islam yang melekat dalam diri kita. Beliau menyampaikan bahwa ideologi adalah sebuah rumusan menyeluruh tentang apa yang akan dicapai, termasuk apa yang haris dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Secara esensi, ideologi adalah suatu hal yang menawarkan pada pengikutnya menuju keselamatan.
Bang Miftah juga menyampaikan bahwa belajar epistemologi adalah belajar mengkritisi kearifan teoritis ke arah akar-akarnya. Epistemologi melahirkan sebuah paradigma yang nantinya paradigma akan menghasilkan sebuah ideologi. Jika dirunut secara bahasa, epistemologi berasal dari 2 kata. Espisteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran dan ilmu. Sehingga dapat diambil sebuah definisi epistemologi adalah ilmu yang mempelajari teori tentang ilmu. Epistemologi sebagai tangga untuk mencari kebenaran mempunyai ruang lingkup diantarannya : apa yang bisa diketahui? Alat yang bisa digunakan untuk mencari, dan apa metode yang digunakan?
Diakhir diskusi Bang Miftah menyampaikan cara mengetahui kebenaran menurut Ibnu Taimiyah. Ada beberapa cara diantarannya adalah dengan melihat sendiri, dengan melihat yang mirip, dan dengan mengetahui dari kabar orang yang kita percayai. Diskusi epistemologi Islam insya Allah menjadi kegiatan rutin bulanan bagi peserta PPSDMS Regional III Putra Yogyakarta. [Phisca AR]

Kamis, 13 September 2012

Nasionalisme dan Islam


Perayaan hari jadi Republik Indonesia tahun ini terasa begitu istimewa bagi kaum muslimin. Betapa tidak selain terjadi di bulan suci ramadhan, peringatan momen bersejarah ini juga tepat jatuh pada hari Jumat (17/08/2012), hari yang paling mulia bagi ummat Islam, lebih spesial lagi proklamasi yang dibacakan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta juga dilakukan pada hari jumat (17/08/1945). Momen ini menjadi sangat bermakna bagi ummat Islam Indonesia, bukan saja pada aspek seremonial kesejarahannya saja, namun lebih penting menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan kembali relasi agama (Islam) dan rasa kebangsaan (nasionalisme) kita, yang hari hari ini terasa begitu pelik di tengah bangkitnya gelombang fundamentalisme dan sekulerisme agama di negeri ini.





Konstruksi relasi Islam dan nasionalisme seringkali ditentukan oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa. Pada zaman Orde Lama, misalnya kekuatan sosial-politik ummat Islam diidentikkan dengan label ‘gerakan separatis’, peristiwa PRRI-Permesta di Sumatera Barat dan pendirian DI-TII di sejumlah daerah dijadikan legitimasi historis guna mendukung label itu. Akibatnya Islam dipandang sebagai ancaman bagi republik yang baru berdiri. Rezim Orde Lama tumbang rezim Orde Baru berkembang, namun label Islam sebagai ‘ancaman politik’ tidak juga sirna. Beragam kebijakan pemerintahan Soeharto menjadi bukti bahwa rezim yang di nahkodai Soeharto menjadikan Islam sebagai salah satu musuh terbesarnya, digagalkannya rehabilitasi Masyumi, fusi ‘paksa’ parpol parpol Islam, pelarangan jilbab di instansi publik, pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila bagi seluruh ormas dan orpol, hingga puncaknya digulirkannya rancangan UU Perkawinan yang membolehkan nikah beda agama menjadi catatan kelam negara untuk meminggirkan Islam dari pentas kebangsaan. Meskipun Soeharto akhirnya banyak mengakomodasi tuntutan tuntutan ummat Islam di tahun 1990an, namun kebijakan ini lebih bernuansa ‘politik akomodatif’ rezim guna melanggengkan kekuasaannya, bukan murni untuk meletakkan Islam dalam bingkai kenegaraan. 



Catatan sejarah di atas akhirnya ‘berhasil’ menghapus Islam dari memori kolektif perjuangan kebangsaan. Justru kemudian citra Islam identik dengan anti-Pancasila, gerakan separatis, sektarian, fundamentalis-radikal, singkatnya Islam dipandang tidak compatible dengan nasionalisme. Tesis ini begitu lemah secara substansi dan alpa dalam melihat rekam jejak perjuangan ummat Islam di republik ini. Padahal Islam menurut penulis adalah kekuatan revolusioner yang sangat nasionalis, berikut bukti bukti nya. Pertama, dalam doktrin Islam yang ditegaskan di banyak ayat Al Quran terdapat ajaran Jihad Fii Sabilillah. Jihad bermakna sebagai upaya pembelaan (defensif) terhadap musuh yang telah menyerang terlebih dulu, Jihad wajib dilakukan oleh kaum muslimin jika musuh mengusir (menindas) penduduk negeri kaum muslimin. Jihad bukanlah serangan ekspansif yang penuh kekerasan untuk menyebarkan agama sebagaimana ditudukan para orientalis. Seperti termaktub dalam kitab suci Al Quran, sumber primer ummat Islam "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah (Al Baqarah 217). Disini kita melihat bahwa Islam memandang praktik kolonialisme sebagai sebuah kemunkaran terhadap Tuhan, oleh karenanya harus dilawan dengan kekuatan yang sepadna. Dalam konteks ajaran inilah umat Islam Indonesia menjadi garda terdepan dalam perjuangan membela republik di masa masa revolusi. Peristiwa 10 November adalah salah satu buktinya, saat itu arek arek Surabaya bertempur habis habisan melawan tentara sekutu Inggris setelah ‘dibakar’ semangatnya dengan lafadz Takbir oleh Bung Tomo, bahkan PBNU atas inisiatif Kiai Hasyim Asyari dan ulama ulama NU lainnya mengeluarkan fatwa ‘jihad fii sabilillah’ melawan tentara Inggris bagi warga Surabaya dan sekitarnya, heroisme ini menjadi monumen sejarah api Islam yang pernah menyala nyala dalam membela republik.
Kedua, Islam sebagai agama par exelent (paripurna) telah membawa pesan pesan universal dalam setiap aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam ranah hubungan sesama manusia (hablumminannas), baik itu ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Salah satu ajaran Islam tentang ranah politik kebangsaan adalah ajaran untuk membela tanah air (bangsa/negara) kaum muslimin. Hikmah Islam Hubbul Wathan Minal Iman (Cinta tanah air bagian dari iman) merefleksikan betapa besar komitmen Islam terhadap perjuangan kebangsaan, dalam Islam negara adalah alat perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan ummat.
Ketiga, Islam adalah agama perdamaian dan persaudaraan. Menurut cendekiawan muslim kenamaan, Nurcholish Madjid, salah satu doktrin Islam yang paling pokok adalah prinsip persaudaraan (brotherhood) dan persamaan (egliterianisme). Islam sangat menekankan pentingnya persaudaraan dan solidaritas sosial, konsepsi Islam itu diterjemahkan dengan ajaran Ukhuwwah (persaudaraan). Para ulama kemudian membagi ukhuwwah menjadi tiga ragam, yakni ukhuwwah Islamiyah (Persaudaraan Islam), Ukhuwwah Wathaniyah (Persaudaraan Kebangsaan) dan Ukhuwah Insaniyyah (Persaudaraan kemanusiaan). Konsepsi Ukhuwah Wathaniyah mengajarkan umat Islam agar memiliki semangat kebangsaan yang kuat nan kokoh, nasionalisme Islam dibangun atas spirit persaudaraan dan persatuan dengan meletakkan cita transedensi kepada Allah SWT di altar tertinggi.
Tiga argumentasi di atas menunjukan bahwa sejatinya di dalam ajaran Islam terdapat semangat nasionalisme yang berapi api. Kandungan ajaran Islam ini telah terbukti mampu menjadi energi luar biasa bagi perjuangan kebangsaan Indonesia, Islam adalah agama sekaligus spirit kebangsaan Indonesia. Menatap ke depan relasi Islam dan nasionalisme semestinya mengembangkan suatu pola hubungan yang lebih mutualistik, sehingga semakin kontributif bagi agenda agenda kebangsaan yang strategis, bukan lagi dilihat sebagai ‘ancaman’ maupun ‘gincu politik’ belaka.
Oleh
Kader Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Tengah

Reforma Agraria, Strategi Meraih Mimpi Kedaulatan Pangan di Indonesia*

Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian, apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan tidak asal ‘comot’ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks permasalahan.



Merunut akar persoalan kedaulatan pangan
“Siapa menguasai tanah, maka ia menguasai makanan” (Tauchid, 1952). Kalimat singkat tersebut semakin menemui relevansinya dalam konteks upaya merealisasikan mimpi kedaulatan pangan di Indonesia. Dengan demikian, akar persoalan kedaulatan pangan sangat lekat kaitannya dengan dinamika keagrariaan. Paling tidak ada dua aspek utama dalam memahami dinamika politik agraria. Pertama, aspek kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia yang timpang. Kondisi riil tata guna dan kepemilikan tanah yang timpang menjadi persoalan yang mesti diselesaikan dengan kejelasan visi dan komitmen melaksanakan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria). Sulit kiranya meraih kedaulatan pangan di tengah kondisi kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Data Sensus Pertanian tahun 2003 meyakinkan kita akan asumsi tersebut. Jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar) di Indonesia adalah 13.663.000 petani, sementara petani pengguna lahan sebanyak 24.176.000 petani (Berita Resmi BPS, 2004). Ditambah lagi fakta bahwa selama kurun waktu 1993-2003, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat sebanyak 3.663.000 jiwa. Petani gurem dan guremisasi petani masih menjadi momok yang mengharuskan kita berpikir ulang: seberapa jauh kita konsisten dengan agenda ketahanan dan kedaulatan pangan.
Aspek kedua dalam memahami persoalan keagrariaan dan kedaulatan pangan di Indonesia adalah tingginya laju konversi (alih fungsi) lahan pertanian. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan dalam kurun waktu 2004-2009, alih fungsi lahan pertanian di Indonesia mencapai 15.999,60 ha atau rata-rata seluas 3.199,92 ha per tahun, luasan 6000 ha di antaranya dikonversi untuk industri dan perumahan (Gatra, 2012). Realitas tersebut mengharuskan kita untuk meyakini bahwa petani juga dihadapkan pada permasalahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan prinsip reforma agraria.
Tawaran strategi meraih mimpi kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan bukan semata-mata soal kemandirian produktivitas pangan, namun juga keadilan akses masyarakat atas pangan dan sumber daya pangan produktif. Berkaca dari realitas akar persoalan sulitnya merealisasikan agenda kedaulatan pangan di atas, langkah strategis yang dapat diajukan tidak lain adalah melaksanakan agenda reforma agraria yang sempat terhenti pasca 1965. Kandasnya program reforma agraria di masa lalu semestinya tidak menjadi dalih untuk menjustifikasi irrelevansi kebijakan ini dalam konteks kekinian. Namun demikian, pembacaan atas kesalahan-kesalahan historis menjadi perlu dilakukan agar kita tidak terjerembab pada kegagalan reforma agraria pada dekade 1960-an. Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria, ada dua langkah strategis yang mesti dilaksanakan secara beriringan satu sama lain. Langkah pertama adalah redistribusi lahan dibarengi keadilan akses sumber daya produktif (pupuk, benih, teknologi tepat guna). Sementara itu, langkah kedua yang harus ditindaklanjuti adalah menekan laju konversi lahan melalui kebijakan lahan abadi pertanian.
Redistribusi lahan plus keadilan akses sumber daya produktif
Titik tekan dalam agenda reforma agraria pada dasarnya adalah redistribusi penguasaan dan kepemilikan lahan untuk menata ulang struktur agraria. Dalam proses ini, negara menempati sentralitas dan signifikansi perannya untuk memastikan proses redistribusi berjalan sebagaimana mestinya. Di sinilah perlunya komitmen dan keseriusan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUPA yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam konteks Indonesia saat ini, struktur penguasaan lahan pangan didominasi oleh korporasi-korporasi raksasa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan perlawanan petani yang mengusung agenda land reform.
Ancaman nyata neoliberalisme di bidang pangan tidak hanya termanifestasi dalam relasi perdagangan internasional, namun juga nampak dari campur tangan pasar yang terlalu jauh dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Dengan demikian, kita tidak perlu terperangah manakala lembaga donor internasional semacam IMF berbicara soal reforma agraria yang berbeda sama sekali dengan ekspektasi gerakan petani. Market led-agrarian reform muncul sebagai alternatif kebijakan yang ditawarkan lembaga donor untuk memastikan pasar tanah terhindar dari distorsi yang ujung-ujungnya memperluas penetrasi pasar dalam proses produksi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, langkah konkrit yang dapat kita lakukan adalah mendorong pelaksanaan redistribusi tanah oleh negara untuk menata ulang struktur kepemilikan dan penguasaan lahan. Gerakan petani yang efektif dan mampu memperluas basis di akar rumput serta akses terhadap pemangku kebijakan tentunya akan mampu merealisasikan hal tersebut.
Namun demikian, upaya redistribusi lahan juga mesti dibarengi dengan upaya memperluas akses petani atas sumber daya produktif, seperti pupuk, benih, dan teknologi tepat guna. Perluasan akses tersebut bukan semata-mata penyediaan pupuk bersubsidi dan bantuan benih, namun juga menyangkut upaya mengembalikan kearifan lokal yang sempat tergerus oleh program Revolusi Hijau di era Orde Baru. Sebelum program Revolusi Hijau dicanangkan, petani kita terbiasa menggunakan bibit unggul terbaik yang dikembangkan sendiri dan pupuk organik yang ramah lingkungan. Dalam konteks yang hampir sama, tentu saja kita dapat meniru gerakan kedaulatan pangan di Andhra Pradesh India yang mampu mengembangkan sistem agroekologi berbasis kearifan lokal yang mampu menopang kedaulatan pangan lokal. Membebaskan akses petani atas pupuk dan benih dapat dijalankan dengan upaya menghidupkan kembali kearifan lokal sekaligus memutus ketergantungan terhadap pupuk dan benih produk korporasi.
Menekan laju konversi lahan
Mimpi meraih kedaulatan pangan juga harus dilakukan dengan jalan menekan laju konversi lahan yang semakin masif. Selain struktur agraria yang timpang, petani juga dihadapkan pada kian masifnya alih fungsi lahan pertanian yang semakin menambah kompleksitas persoalan kedaulatan pangan. Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan terobosan kebijakan lahan abadi pertanian melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLPPB). Melalui regulasi tersebut, pemerintah menetapkan luasan tanah yang tidak diperbolehkan untuk dialihfungsikan dengan memberikan mekanisme insentif bagi para petani. Bantuan pupuk dan benih serta pembebasan pajak diberikan kepada para petani pengolah lahan abadi selama jangka waktu kontrak tertentu.
Namun demikian, optimalisasi kebijakan ini masih perlu dilakukan seiring dengan derasnya laju konversi lahan untuk industri dan perumahan. Pemerintah juga mesti memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakat rumah tangga petani. Dalam konteks petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, sistem waris menjadi salah satu kendala yang mendorong laju konversi lahan. Sejak dahulu, sistem waris dipercaya menjadi mekanisme yang semakin mempersempit penguasaan lahan oleh petani. Selain itu, desakan modernisasi memaksa petani menyesuaikan kondisi hidupnya dengan realitas semu yang dianggap modern. Tak ayal, banyak petani kita yang menjual lahannya untuk membeli kebutuhan konsumsi demi memastikan dirinya menjadi bagian dari modernitas tersebut.
Namun demikian, ancaman yang paling serius datang dari ekspansi kapital melalui perusahaan perkebunan dan industri. Tanpa perlu bersusah payah, kita dapat melihat realitas dominasi modal asing dari sektor perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya saat ini melampaui 75% (9,2 juta hektar) dengan hanya 3,6 juta hektar yang tersisa dan dikelola oleh 2,5 juta petani sawit dalam negeri (Sawit Watch, 2011). Oleh karena itu, upaya menekan laju konversi lahan tidak hanya semata-mata dilakukan dengan penyediaan bantuan produksi, namun juga harus memastikan sisi peluang alih fungsi lahan seminimal mungkin dengan melihat aspek sosio-kultural dan dominasi korporasi. \
Simpul wacana
Kedaulatan pangan bukan semata-mata persoalan ketersediaan dan kemandirian produktivitas pangan. Realisasi mimpi kedaulatan pangan juga mensyaratmutlakkan keadilan akses masyarakat terhadap produksi pangan nasional. Menjauhkan petani dari lahannya sama saja semakin menjauhkan harapan kedaulatan pangan menjadi kenyataan. Dengan demikian, upaya merealisasikan kedaulatan pangan di Indonesia mesti dilakukan dengan misi reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria dan akses petani atas tanahnya. Implikasi lanjutannya, kedaulatan pangan tercapai dengan kemandirian produksi pangan nasional dan keadilan akses masyarakat terhadap kebutuhan pangan. Redistribusi lahan yang disertai akses petani terhadap sumber daya produktif dan upaya menekan laju konversi lahan dengan sendirinya akan mampu merealisasikan mimpi besar kedaulatan pangan di Indonesia.

*Juara 1 Lomba Esai SSSG 2012
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

Rabu, 05 September 2012

Sebuah Puisi

ketika kita harus melihat langsung kota jogja
dibawah temeram lampu jingga bersinar
ketika angin malam telah sirna
dinaungi langit biru dengan cahaya bulan
menyatukan hati kami dalam nuansa kekeluargaan


ketika daun-daun mulai tak bergerak
ketika batang tak lagi melambai
ketika hati tak sempat berkata lagi
seketika jiwa-jiwa terenggut dalam sunyi

siraman rohani mengisi hati
berharap didengar samping-samping kami
menjadikan insan-insan malam lebih berarti
atas kesadaran diri mereka sendiri

senandung syair menyelubungi relung-relung hati kami
mengikat kami dalam kesatuan islami
dalam senyap renungan hati

sesekali, terdengar suara kereta menyisip dalam sunyi
sesekali, sorotan cahaya lampu menyilaukan mata kami
tetapi itu bukan tanda untuk berhenti

silih berganti musisi jalanan menghampiri
menyanyikan lagu-lagu permintaan kami
menambah nikmatnya malam ini
menggugah hati merenungi alam ini

kami bukanlah pahlawan
kami bukan orang yang selalu benar
kami tidaklah lepas dari kesalahan
indahnya maaf dibenak kalian dengan penuh kelapangan :D

(minal aidzin wal faidzin
mohon maaf lahir dan batin)

#KIP malam ini benar2 mengandung banyak pelajaran..
melihat langsung jogja yang sebenarnya
kopi joss stasiun tugu 27 agust 2012
 
Mahasiswa Jurusan Peternakan 
Universitas Gadjah Mada 

Indonesia Itu (Bukan Hanya) Jawa

            Dalam film “Di Ujung Timur Matahari” ada salah satu adegan yang memiliki nilai lebih jika kita perhatikan. Adegan itu lebih mengarah ke dalam dialog yang ia bawa, kurang lebih seperti ini, “dasar kamu yang sudah makan nasi Jawa”. Adegan itu memperlihatkan adanya salah satu anggota keluarga yang berasal dari Papua merantau ke Jawa lalu kemudian kembali ke Papua ketika ibunya meninggal. Perantau itu menyesalkan mengapa ibu mereka tidak dibawa berobat ke Jawa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
            Inilah yang terjadi saat ini, bagaimana Indonesia hanya dipandang sebagai Jawa, atau lebih sering kita sebut sebagai Jawasentris. Parahnya, hal ini kemudian dilihat lebih jauh secara negatif oleh orang-orang yang berada di luar Jawa dengan adanya skeptis terhadap Jawa. Bukan tidak mungkin hal inilah yang akan mengancam Bangsa Indonesia, kekuatan negara ini adalah terletak pada “kemauan” dari begitu banyak suku untuk mengaku menjadi bangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Arrochman Murdiansyah, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di dalam jurnal “Negara Bangsa dan Konflik Etnis : Nasionalisme vs Etno-nasionalisme” mengutip Harold R. Isaacs dalam bukunya Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, “kata “Bangsa” berasal dari bahasa latin “nascl”, yang artinya “dilahirkan”. Para ahli tidak pernah berhasil menyepakati definisi “bangsa”. Pernyataan yang paling sederhana menurut Emerson, bangsa adalah “satu badan yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang merasa mereka itu merupakan suatu bangsa”. Oleh karenanya, diskursus mengenai bangsa lebih sering diarahkan kepada proses terbentuknya suatu bangsa; mempertanyakan mengapa kelompok orang bergabung menjadi bangsa.” Dari definisi ini jelas Bangsa Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam hal merasa menjadi bangsa yang satu.



            Jika ditelisik lebih jauh mengapa negara ini menjadi negara yang Jawasentris-ataupun bisa disebut Jakartasentris, karena provinsi-provinsi yang ada di Jawa pun juga sangat merasakan betapa superiornya Jakarta dan sekitarnya-, akan ada kurang lebih dua faktor besar yang masih terasa pengaruhnya hingga saat ini. Pertama, adanya faktor kemenangan sejarah yang dimiliki oleh Jawa. Bagaimana para penjajahan kolonialisme memusatkan pusat penjajahannya di Pulau Jawa. Hal ini berdampak pada segala wujud pembangunan pusat kekuasaan politis yang disertai dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur menjadi hal yang niscaya dilakukan di Jawa. Sehingga dengan sejarah seperti ini, Jawa memiliki titik pijak pembangunan peradabannya lebih awal dibandingkan dengan pulau-pulau lain di negara ini. Yang kedua adalah adanya faktor politik pencitraan Soeharto yang dilakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. Ketika ditanyakan kepada seorang Indonesia, apakah warna kulit orang Indonesia dan apakah makanan pokok orang Indonesia. Maka secara spontan orang akan menjawab bahwa kulit orang Indonesia adalah sawo matang dan makanan pokok orang Indonesia adalah nasi. Pertanyaannya, apakah benar demikian? Warna kulit orang minang mayoritas berwarna putih kekuningan, sementara Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, mayoritas memiliki kulit gelap. Makanan pokok Indonesia Timur adalah sagu, bukannya nasi-walaupun sebagian Jawa pun masih ada yang makanan pokoknya tiwul. Inilah yang dilakukan Soeharto, mencitrakan bahwa Indonesia itu adalah Jawa-walaupun kita ketahui bahwa ini merupakan salah satu strategi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya menjadi Presiden. Namun dampak ini begitu masif, bagaimana masalah ini menyebabkan paradigma yang begitu besar bagi orang-orang bangsa ini bahwa kulit orang Indonesia itu sawo matang dan makanan pokoknya adalah nasi, padahal sudah sangat jelas kulit sawo matang dan nasi itu sangat identik dengan jawa.
            Dua faktor inilah yang kiranya sampai saat ini masih menyebabkan pengaruh yang luar biasa bagaimana Indonesia itu hanya dilihat sebagai jawa. Sensitivitas terhadap jawa bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain di negara ini, namun di sisi lain jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Dengan pandangan inilah kita akan mencoba mengurai permasalahan ini.

Indonesia Masa Depan
            Pandangan pertama, jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain. Kita jangan terlalu berfokus kepada rasa sinis dan marjinalisasi pulau, namun kita mencoba melihat dan fokus terhadap apa yang terkandung dari pembangunan terpusat. Pembangunan adalah segala proses, cara, perbuatan membangun yang dalam konteks ini adalah pembangunan fisik infrastruktur yang terpusat dilakukan di jawa. Segala pembangunan yang ada tentu membutuhkan ruang potensial yang memiliki banyak kebermanfaatan.
Pandangan kedua, jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Memang secara ekonomi saat ini jawa sangat menjanjikan, namun kita jangan terlalu berfokus terhadap “ladang” dan kehidupan yang lebih baik, akan tetapi seharusnya kita harus lebih berfokus terhadap apa yang seharusnya dan semestinya dilakukan selama perantauan tersebut.
Jika kemudian kita telah mampu mengubah fokus kita terhadap masalah ini, kiranya kita dapat menghasilkan sebuah pandangan baru pula terhadap masalah ini. Pada pandangan pertama seharusnya kita sudah mampu memprediksikan bagaimana nantinya kejumudan pembangunan niscaya akan terjadi di Pulau Jawa karena terbatasnya ruang yang ada di Pulau Jawa. Sayangnya hal ini hanya disadari oleh pengusaha-pengusaha yang mulai berinvestasi di luar jawa. Kejumudan inilah yang seharusnya kita pahami sekarang ini, dan sudah tidak sepantasnya lagi sinisme itu terus dipelihara. Namun yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah bagaimana menyiapkan pulau-pulau di luar jawa sebagai masa depan Indonesia. Demi eksistensi negara dan bangsa ini.
Kemudian pada pandangan kedua, sebagai orang yang merantau sudah seharusnya tidak hanya menerima sebanyak-banyaknya, namun juga memahami berbagai pengetahuan pembangunan yang terjadi di jawa. Sehingga nanti ketika perantau tersebut pulang ke kampung halaman di pulau yang termarjinalkan, ia dapat membangun daerahnya untuk terus berkembang dalam hal infrastruktur maupun ekonomi. Hal inilah yang seharusnya dilakukan, tidak hanya diam menikmati kemapanan yang terjadi di jawa. Karena seperti pada pandangan pertama, kejumudan niscaya akan terjadi di jawa. Sehingga dapat kita katakan saat ini adalah, masa lalu dan masa kini Indonesia adalah Jawa, namun masa depan Indonesia adalah bukan Jawa, melainkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau bahkan Papua.

Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

Senin, 27 Agustus 2012

Madura, dan Kiasan “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata”



  Madura pulau kecil kecil yang terletak di sudut timur Pulau Jawa, yang terkenal dengan produksi garam, penghasil tembakau, penghasil jagung, dan kebudayaan Kerapan Sapi yang setiap tahun menjadi ajang tontonan masyarakat Madura, wisatawan domestik, ataupun wisatawan Mancanegara. Tidak ada yang begitu spesial dengan pulau kecil itu. Tanah kering, panas, semilir angin laut, dan hembusan angin kering yang membawa rasa haus pada setiap orang yang pertama kali berkunjung. Namun itulah Madura, masyarakat yang lahir, tinggal, dan besar di sana, memahami sebuah karakteristik, dan menjadi orang-orang yang kemudian mencintai tanah kelahirannya, tanpa ada rasa chauvinisme berlebihan. Orang Madura saat ini tidak hanya dikenal sebagai orang-orang yang begitu tekun, ulet, dan mau bekerja keras, namun ada stereotype tersendiri mengenai pencitraan karakteristiknya, yaitu orang yang keras, dan memiliki budaya Carok. Ya, watak itu kini seolah tersematkan, setelah beberapa kali tragedi di Pulau Garam itu, kemudian mencuat pada ranah publik, hingga bahkan Nasional. Masih teringat, Carok Masal di Pulau Madura, yang kemudian menjadi pemberitaan berbagai media pada tahun 2010, baik media lokal maupun media Nasional, yang sempat terjadi di Kabupaten Pamekasan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian masyarakat mengenal Masyarakat Madura, sebagai Masyarakat Carok. Kini, Madura, kembali menjadi sorotan ranah publik nasional, bahkan hingga menjadi perhatian yang datang dari Presiden Republik Indonesia, dikarenakan tragedi kekerasan di Kabupaten Sampang. Tragedi kekerasan yang terjadi karena dipicu dengan salah satu alasan yaitu isu keagamaan mengenai perbedaan penganut Syiah dan Sunni. Ditinjau dari segi keagamaan, Masyarakat Madura, pada umumnya adalah masyakarakat Mayoritas Islam yang sangat kuat, bahkan sampai-sampai muncul pernyataan bahwa Madura merupakan Serambi Madinah. Namun kemudian muncul pertanyaan besar, jika memang Madura sebagai Serambi Madinah, sepatutnyalah menjadi contoh akan rasa menghargai dalam keberagaman, dan perbedaan yang kemudian seharusnya mencegah terjadinya kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sampang. Sebagai pulau kecil yang tergabung dalam Propinsi Jawa Timur, di mana banyak masyarakat menjadikan para alim ulama atau kyai sebagai panutan dan suri tauladan, seharusnyalah ada rasa keterbukaan, dan rasa untuk saling menghargai dalam perbedaan tanpa harus menjadikan suatu perbedaan dalam kaum mayoritas sebagai bagian dari masyarakat yang harus dimusnahkan. Sebagai bagian dari Masyarakat Madura, pribadi penulis merasakan ada yang salah dengan paradigma masyarakat yang seharusnya saat ini masyarakat Madura, dengan segala fasilitas pembangunan menuju Madura yang lebih baik, dapat menjadi masyarakat yang lebih paham dan menjadikan keterbukaan baik dari segi informasi maupun komunikasi sebagai cara dalam menghargai perbedaan keyakinan yang memang pada akhir-akhir ini semakin banyak bermunculan. Islam lahir dengan membawa Rahmatan Lil Alamin, dan seharusnya masyarakat Madura yang dikenal sebagai masyarakat agamis menunjukkan hal tersebut dengan tetap menghargai saudara-saudaranya yang kemudian memiliki perbedaan keyakinan dengan apa yang masyarakat mayoritas yakini. Tragedi yang terjadi di Kabupaten Sampang, bukan hanya terkait mengenai isu SARA melainkan juga terkait mengenai masalah keluarga (Kutipan Wawancara TV One, 25 Agustus 2012). Salah satu kiasan yang begitu terkenal di kalangan masyarakat Madura adalah “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata/Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata”. Kiasan ini menjadi sebuah paradigma bagi mereka, untuk memiliki ikatan batin dengan masyarakat Madura, namun kiasan ini pula yang pada akhirnya juga akan memecah persaudaraan yang sudah terjalin begitu kuatnya. Masyarakat Madura di luar pulau Madura, begitu terkenal akan ikatan kekeluargaan, di mana pun ketika mereka berada. Saat berjumpa dengan masyarakat Madura lainnya, tidak akan pernah ada rasa canggung menggunakan bahasa Madura, sebagai dialeka kebahasadaerahan yang dipakai untuk berkomunikasi. Ada suatu rasa bangga ketika adanya perjumpaan dengan masyarakat Madura yang mereka berada dalam perantauan, karena dengan perjumpaan tersebut maka akan tercipta rasa kekeluargaan yang muncul secara otomatis. Kiasan tersebut, mengajarkan untuk menghargai dan menjunjung rasa persaudaraan. Kiasan itu pula yang kerap kali menjadi bencana yang kemudian menjadikan citra masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan kasar. Menilik peristiwa carok masal di Kabupaten Pamekasan, juga dipicu oleh adanya rasa kekeluargaan, begitu juga peristiwa baru-baru ini di Kabupaten Sampang, juga menghembuskan adanya aroma kekeluargaan, yang pada akhirnya dikemas dalam isu kekerasan agama.

Seyogyanya, kiasan tersebut memang memiliki dua mata sisi yang begitu berlawanan. Masyarakat Madura perlu mencerna, dan menimbang akan dua mata sisi dari kiasan tersebut. Sebagai masyarakat agamis, yang begitu terkenal dengan banyaknya alim ulama, banyaknya pondok pesantren, dan banyak ustad, sudah seharusnya saling menyadari dan memahami, serta menjadikan kiasan tersebut sebagai landasan yang digunakan dalam hal kebaikan, yakni mengikat persaudaraan, dan bukan menjadikan sebagai pisau tajam yang menjadi landasan dalam melakukan kekerasan ataupun tindakan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Masyarakat Madura, harus mulai untuk membuka paradigm baru terhadapa kehidupan yang kini akan lebih mengarah pada diversitas, akan banyak hal yang akan masuk dalam tanah Madura, setelah akses keterbukaan informasi, komunikasi, dan perhubungan di Madura mulai memasuka era pembaharuan. Masyarakat Madura, harus mulai untuk memulai kerukunan antar suku, baik terhadap suku Madura sendiri ataupun suku lain yang mungkin akan memasuki tanah Madura juga, dan jangan sampai tragedi kekerasan yang berujung pada masalah SARA terulang kembali, dan sekali lagi menyumbangkan negative image terhadap simbol keberagaman yang telah lama disematkan oleh mata International terhadap Indonesia. Terhadap kalangan alim ulama, marilah mulai untuk kembali mengajak pada ummat untuk kembali manjaga kerukukan, bukankah Rasulullah pun mengajarkan kerukuna tersebut ketika beliau memulai membangung Madinah? Dan bukankah Madura kini mendapat julukan sebagai Serambi Madinah? Seharusnyalah, keharmonisan itu terjadi, tidak adal lagi kelompok-kelompok yang kemudian mengecam, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan terhadapa kelompok lain, apalagi terhadap suku bangsanya sendiri. Dan juga, bukankan Allah melarang untuk saling membunuh sesama ummat muslim? Selama mereka pun menjadikan Allah sebagai Rabbnya, dan menjadikan Al-Quran dan Sunnatullah sebagai panutannya, mereka tetap harus kita hargai, karena hanyalah Allah yang Maha Mengetahui akan kebenaran, dan bukankah kita hanya manusia biasa yang terlalu banyak memiliki prasangka buruk, dengan begitu banyaknya api amarah yang sering tersulut, dan begitu pula paku-paku dengki dan dendam yang acap kali tertanam dalam hati-hati bersih ini, dan juga bumbu-bumbu setan akan iri hati, dan sombong, yang seringkali meracuni pikiran kita, sehingga terkadang lupa dan acap kali selalu tersulut dengan hal-hal kecil yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang dapat membawa kemaslahatan bagi keduanya. Bagi masyarakat cendekiawan, dan intelektual Madura, marilah mulai kembali membenahi mind set yang masih kerap kali begitu terasa keras, kembali menumbuhkan rasa persaudaraan jauh lebih dalam, dan memahamkan masyarakat akan pentingnya keharmonisan, dan kerukunan demi terciptanya Madura yang lebih baik dan bermartabat. Terakhir, semoga tragedi berdarah dan kekerasan tidak lagi terjadi di Pulau Garam itu, tidak menjadikan Madura sebagai pulau yang begitu menyeramkan, dan mampu menghapus stereotipe yang banyak melekat di masyarakat luas, bahwa masyarakat Madura, adalah masyarakat yang keras, dan kasar. Sekali lagi, harapan kami anak-anak Madura, generasi penerus tanah garam, adalah terbentuknya Madura, dan masyarakatnya yang rukun, harmonis, agamis, dan culturalis, serta tidak lagi ada pertumpahan darah antar suku Madura sendiri.

Tersenyumlah Madura,
Tersenyumlah wahai anak-anak Pulau Garam
Masamu telah tiba, dan perjuanganmu telah dimulai
Bangunlah Madura yang lebih baik dan bermartabat…

Penulis :
Abrory Agus Cahya Pramana
Mahasiswa Jurusan Biologi
Universitas Gadjah Mada




Selasa, 21 Agustus 2012

Upah Buruh dan Jerat Kemiskinan

Kemiskinan telah menjadi persoalan klasik yang senantiasa menarik untuk dibicarakan baik pada tataran teoritis maupun praksis. Pengupahan buruh yang jauh dari layak acapkali dianggap sebagai salah satu jerat masalah yang melanggengkan kemiskinan bagi kaum marginal.
Diskursus selama ini seringkali hanya berkutat pada aspek legal-formal dan pendekatan institusionalis yang menekankan perlunya hukum perburuhan dan penataan institusi formal yang memadai. Lantas, bagaimana kita memahami persoalan pengupahan buruh secara lebih memadai? Memahaminya secara struktural membantu kita untuk memperoleh gambaran secara lebih komprehensif.
Sejauh ini mekanisme penetapan upah (wages level) baik Upah Minimum Propinsi (UMP) maupun Upah Minimum Regional (UMR) seringkali dianggap sebagai biang ketidakadilan struktural bagi kaum buruh. Kalaulah demikian realitasnya, maka perlu dipertanyakan abnormalitas sistem yang ada dengan mem-breakdown faktor-faktor struktural yang sebagai jerat kemiskinan.
Kebijakan pengupahan: relasi dialektis buruh dan pemodal
Sejauh yang dapat dilacak dalam sejarahnya, pengupahan menempati isu sentral dalam relasi industrial antara buruh dan pemodal. Di awal eksistensinya, kapitalisme telah memproduksi dan mereproduksi kontradiksi inheren di dalamnya. Dalam konteks ini, upah buruh menjadi salah satu produk dari kontradiksi yang melekat dalam relasi eksploitatif antara kelas kapitalis dan buruh (bandingkan Marx 1958; Potter 1992 dalam Mas’oed 1994, hh. 49-50). Demikian juga dalam konteks kehadirannya di negara kapitalis pinggiran (periferal), upah buruh menjadi isu sentral yang merefleksikan konflik dan relasi dialektis antara kelas kapitalis dan kelas buruh. Resistensi sosial yang muncul kemudian seringkali tidak mampu mengubah relasi industrial yang eksploitatif dan penuh ketimpangan selama ini. Gerakan-gerakan buruh yang menuntut kelayakan dan perbaikan nasib ujung-ujungnya berakhir dengan negosiasi antara tripartit negara-kapital-buruh yang muaranya—meminjam istilah Robison (1988)—justru memperkuat ‘pakta dominasi’ antara negara dan kapitalis.
Penulis mengajukan argumen bahwa selama eksploitasi dan penindasan terhadap kaum buruh tetap ada, maka aktivisme dan kemampuan organisasional buruh menjadi tidak terlalu signifikan dalam mengubah struktur yang eksploitatif. Ditambah dengan realitas perburuhan di Indonesia pasca reformasi yang memiliki kecenderungan terjadinya polarisasi gerakan yang sporadis, fragmental, dan lemah secara organisasional (Al-Hambra, 2002). Dengan demikian, fokus dan lokus perubahan kondisi perburuhan di Indonesia mesti dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang menjerat kaum buruh ke dalam vicious circle of poverty. Setidaknya ada tiga faktor struktural yang menjadi pangkal kemiskinan dan eksploitasi terhadap kaum buruh di Indonesia; pertama, adanya pertukaran yang timpang (unequal exchange), kedua, hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh, serta ketiga, otonomi relatif negara yang memberi sumbangsih bagi pelestarian eksploitasi kaum buruh.
Unequal Exchange
Salah satu faktor yang menjadi penyebab mengapa kemiskinan terkadang nampak inheren dengan kelas buruh adalah adanya pertukaran yang tidak adil dalam proses produksi. Mengikuti nalar pikir kapitalis yang secara sederhana berupaya mengejar surplus keuntungan sebesar-besarnya, maka upah harus ditempatkan sebagai salah satu beban produksi yang mesti diminimalisasi sedemikian rupa. Hal ini tentu saja berkorelasi negatif dengan nasib buruh yang senantiasa berada dalam subsistensi sistem. Menempatkan buruh dalam nalar berpikir semacam inilah yang mengawali proses alienasi dan penindasan kaum buruh dalam konteks sejarahnya.
Argumentasi di atas didukung oleh realitas yang ada saat ini dimana perusahaan-perusahaan transnasional menjalankan operasi bisnisnya di negara berkembang atas dasar melimpah-ruahnya tenaga kerja yang mau dibayar murah. Dalam konteks Indonesia, upah buruh yang murah justru menjadi salah satu keunggulan komparatif demi menarik gairah penanaman modal. Alih-alih investasi dalam bingkai globalisasi dan pasar bebas yang menjanjikan perbaikan ekonomi, negara Dunia Ketiga justru sekadar dijadikan wilayah operasi bisnis manufaktur yang pada akhirnya terjadi pengalihan surplus keuntungan bagi negara kapitalis sentral. Pihak yang paling parah menanggung eksploitasi ini tentu saja kaum buruh yang dimarginalisasi dan teralienasi dalam proses produksi. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh di bawah nilai produktivitas bawah faktor buruh ini (Sritua Arief, 1990).

Hubungan eksploitatif antara kapitalis dan buruh
Selain adanya ketidaksetaraan pertukaran dimana buruh justru menjadi penopang bagi kapitalis melalui surplus nilai yang dihasilkannya, relasi yang eksploitatif juga menjadi faktor kunci penyebab rendahnya kesejahteraan nasib kaum buruh. Dalam konteks ini, buruh berada pada posisi uncompensated, sementara pengusaha berada pada posisi overcompensated karena dua hal; pertama, secara sadar atau tidak buruh dianggap sebagai kelas paria atau kelas kuli oleh kelas dominan sehingga mereka tidak dimungkinkan memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses produksi. Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asalkan mendapat pekerjaan. Hal ini secara kelembagaan mendorong ketentuan pengupahan yang tidak berpihak kepada kaum buruh.
Dalam situasi ketimpangan yang ada, institutional wage level yang terbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang menjadi dasar bagi kapitalis dalam menentukan tingkat upah yang dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi. Selain itu, daya tawar modal yang semakin tinggi jelas semakin memperlemah daya tawar kaum pekerja di negara yang memiliki tenaga kerja berlebih seperti Indonesia, yang tengah menghadapi kesulitan besar dalam membangun gerakan buruh yang efektif (Hadiz 2000).
Kondisi surplus buruh biasanya terjadi di negara dengan pasar tenaga kerja yang berlebih (monopsonistic market) seperti yang saat ini terjadi di Indonesia. Meskipun tidak terlalu komprehensif, namun setidaknya data yang dilansir Badan Pusat Statistik memperkuat argumen di atas. Data statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 2010 sebesar 67,72% (BPS 2010). Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, sehingga menimbulkan ketimpangan antara permintaan (demands) dan penawaran (supply) dalam pasar tenaga kerja.
Jelaslah bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia cenderung bersifat monopsonistik. Daya tawar pemodal senantiasa lebih kuat dibading kemampuan dan bargaining position buruh berhadapan dengan aliansi oligarkis negara-kapital. Implikasinya, buruh berada pada posisi yang tidak menguntungkan secara struktural dan pada akhirnya perbaikan nasib kaum buruh hanya menjadi retorika semata. Relasi yang cenderung eksploitatif berawal dari asumsi bahwa buruh merupakan bagian dari faktor produksi seperti halnya mesin dan bahan baku lainnya.
Otonomi relatif negara, sumbangannya bagi kemiskinan struktural buruh
Relasi yang eksploitatif oleh pemodal terhadap buruh semakin diperparah dengan peran negara yang acapkali lebih berpihak pada kekuatan kapital. Daya tawar kelas kapital dalam proses produksi semakin meningkat di tengah situasi pasar tenaga kerja yang monopsonistik dan celakanya negara justru lebih banyak memihak kepada kekuatan kapital tersebut.
Otonomi relatif negara muncul karena dua hal mendasar. Pertama, negara memiliki kemampuan untuk menerka-nerka kepentingan jangka panjang yang melampaui kepentingan jangka pendek kelas kapitalis. Dalam konteks ini, negara terkesan membela kepentingan kaum buruh, seperti menyediakan pendidikan murah. Namun efek jangka panjangnya, adanya buruh yang pintar ujung-ujungnya menguntungkan kaum kapitalis dengan produktivitas yang meningkat. Kedua, negara juga memiliki peran arbitrer dalam menegosiasikan kepentingan buruh dan pengusaha yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam mekanisme pengupahan dimana negara memainkan fungsi arbitrasi untuk mendamaikan kepentingan buruh dan pengusaha, namun ujung-ujungnya kepentingan kapitalis lah yang lebih diprioritaskan dengan dalih produktivitas ekonomi jangka pendek (Eric Hiariej, 2006).
Simpul wacana
Penguatan kapasitas organisasional dan ideologis buruh dalam satu wadah serikat buruh yang kuat agaknya sulit meraih signifikansi tujuan bagi perbaikan nasib kaum buruh di Indonesia. Liberalisasi pengorganisasian buruh justru menimbulkan lahirnya serikat buruh yang tidak konstruktif dan bahkan cacat secara kelembagaan. Perubahan atas relasi yang eksploitatif harus dimulai dengan perombakan faktor-faktor struktural yang selama ini menjerat kaum buruh dalam proses alienasi dan eksploitasi proses produksi.
Upaya transformasi struktural mesti diarahkan pada proses dekonstruksi faktor-faktor ketimpangan yang ada. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berkutat pada pemberian insentif dan stimulus ekonomi jangka pendek atau—meminjam istilah Sritua Arief—bantuan sinterklas yang tidak akan berhasil meningkatkan kedudukan ekonomi kaum buruh yang lebih tangguh. Hal ini disebabkan upaya-upaya jangka pendek yang ada tidak dibarengi upaya mengurai belenggu-belenggu struktural dalam hubungan dialektis yang eksploitatif.****
Oleh :
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada