Sugeng Rawuh...

Official Site PPSDMS Nurul Fikri Angkatan 6 Regional III Yogyakarta

Laskar Nakula dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Bersama Angkatan 5 dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Februari 2013

“GAMA CENDEKIA UGM” KELOMPOK STUDY MAHASISWA INTERDISPLINER SEBAGAI PEMBANGUN PERADABAN MENUJU INDONESIA BERDAYA


Oleh : Ridho Andika Putra*



Salah satu aset penting bagi suatu Negara terutama Indonesia sebagai Negara berkembang yang menjadi sorotan bagi Negara lainnya dalam hal pengembangan sumber daya manusia,   yaitu  peran mahasiswa sebagai agent of change yang memiliki peran penting sebagai generasi penerus untuk menggantikan peran – peran kepemimpinan yang telah terlaksana secara struktural dan sistematis. Mahasiswa merupakan generai muda yang berperan dalam membangun peradaban yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika zaman orde baru, mahasiswa selain melakukan aktivitas nya sebagai mahasiswa yaitu kewajiban untuk belajar meraka juga melakukan salah satu aktivitas untuk menyuarakan hak – hak rakyat kepada pemerintah, dahulu aktivitas ini tentunya mendapat perlawanan  yang keras dari peran militer angkatan Darat yang saat itu mendukung rezim Presiden Soeharto, aktivitas bernamakan aksi atau berdemonstrasi.
Tibanya krisis tahun 1998 yang menuntut presiden Soeharto untuk turun dari rezim kekuasaannya dan menuntut reformasi untuk segera dilaksanakan menimbulkan aksi besar – besaran terutama dikalangan mahasiswa yang menuntut untuk perubahan Indonesia yang lebih baik dengan cara turun kejalan. Setelah mahasiswa yang dengan sangat senangnya melakukan aktivitas tersebut terkadang mereka melupakan satu hal yang seharusnya menjadi kewajiban mereka sebagai seorang pembelajar yaitu kuliah. Mahasiswa yang turun kejalan yang sangat terlihat pada zaman – zaman reformasi tertuju pada puncaknya ketika menuntut diturunkannya rezim Soeharto, mereka lupa akan kewajiban mereka sebagai pembelajar dibangku kuliah terutama untuk lulus kuliah dan peningkatan indeks prestasi. Maka dari itu melihat transisi zaman yang semakin berubah era pergerakan seiring berjalannya waktu berubah menjadi era akademisi yang mulai mempengaruhi peradaban dunia khususnya untuk Indonesia. Hal ini membuat teman – teman yang telah berkecimpung dalam orientasi gerakan yang sebenarnya mereka sudah melihat kedapan mengenai  perubahan zaman yang dari era pergerakan  menjadi era akademisi kampus. Dan mereka pun membuat komunitas – komunitas kecil yang dinamakan kelompok studi mahasiswa.
Kelompok studi mahasiswa merupakan komunitas yang dibentuk dari para kalangan mahasiswa yang dibuat tidak hanya dengan tujuan untuk meningkatkan pengembangan akademisi individual semata seperti peningkatan indeks prestasi, atau cepat lulus dan sebagainya, melainkan mereka ingin membangun sebuah peradaban akadimisi yang nantinya akan berguna bagi masyarakat yang menikmatinya. Untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan ilmu yang dimiliki tentunya tidak lepas dari peningkatan kapabilitas profesi melalui kegiatan – kegiatan kelompok studi mahasiswa yang terbentuk seperti diskusi ilmiah, kompetisi, dan proyek pengabdian masyarakat. Tentunya melalui aktivitas tersebut mulai banyak kalangan mahasiswa terutama untuk mahasiswa baru yang sangat berminat dengan kelompok studi mahasiswa ini.
Kelompok studi mahasiswa setelah zaman reformasi sudah banyak terbentuk di beberapa univeristas se – Indopnesia salah satunya adalah di Universitas Gadjah Mada yaitu Gama Cendekia yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dibidang penelitian dan pengkajian Interdisipliner. Awal mula terbentuknya pun sama seperti paragraf sebelumnya yang menceritakan tentang restorasi gerakan yang berujung pada transisi menuju akademisi.
Napak tilasnya berawal dari komunitas kecil diskusi  mahasiswa dari berbagai fakultas  yang diinisiasikan oleh Firman Alamsyah yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa biologi Universitas Gadjah Mada, Gama Cendekia memulai kegiatnnya. Tema yang didiskusikan merupakan isu atau  masalah yang sedang terjadi dan dihadapi bangsa ini yang dibedah secara interdisipliner. Komunitas ini terbentuk pada tahun 2001 pertengahan. Setahun berselang, komunitas ini berkembang yang disertai adanya keinginan untuk mengadakan penelitian. Pada akhirnya mereka membentuk tim untuk pematangan konsep dan menjadikan komunitas ini sebagai UKM independen dan diberi nama Gama Cendekia. 
Diawal berdiri Gama Cendekia pada saat itu membenahi internal lembaga secara structural dimulai dari legal formalitas, struktur kepengurusan sampai kepada kaderisasi lembaga yang tentunya harus tersusun secara sistematis agar lembaga bias berjalan baik kedepannya. Baru pada tahun 2004 Gama Cendekia mulai menunjukkan citra dan kontribusinya sebagai UKM Pengkajian dan Penelitian Interdispliner  kemudian muncullah kontribusi dan prestasi  Gama Cendekia yang tiap kali masa periode kepemimpinan selalu ada yang dihasilkan berbagai macam karya – karyanya yang fenomenal.
Pada tahun 2006 dimasa kepemimpinan Haryandi mahasiswa Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada, eksistensi Gama Cendekia pada masa  ini adalah dengan even-even besar dan kerja sama dengan berbagai pihak. Titik tekan selain eksistensi adalah pembangunan jaringan yang kuat antara Gama Cendekia  dengan berbagai lembaga/perusahaan. Ditunjukkan dengan banyaknya even-even besar Gama Cendekia  yang bekerja sama dengan banyak pihak, seperti Training TOEFL, Seminar dengan bekerja sama dengan Shell, dll. Pada pertengahan 2007, berganti  kepada  Dendi Pratama mahasiwa Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Presiden Gama Cendekia VI atau yang lebih popular dengan sebutan Sultan Gama Cendekia. Pada masa ini Gama Cendekia satu tahap memasuki  fase mapan dalam alur perkembangan lembaga akademis. Tidak melulu mengejar eksistensi lembaga karena kalau sekedar popular, Gama Cendekia sudah cukup dikenal pada tataran kampus ataupun nasional yang ditunjukkan dengan berbagai even-even besarnya. Akan tetapi lebih dari sekedar itu adalah kematangan Gama Cendekia secara kelembagaan serta kejelasan akan core business Gama Cendekia  sebagai lembaga penelitian mahasiswa. Konsep alur kaderisasi mulai diimplementasikan, tata organisasi mulai dibangun, walaupun masih perlu banyak penyempurnaan di sana sini.
Profesionalitas Gama Cendekia  secara kelembagaan benar-benar dimatangkan pada masa kepemimpinan Andrie Javs mahasiswa Akuntansi Universitas Gadjah Mada. Banyak hal yang dirombak dan diinovasi, tentu saja dalam rangka perwujudan Gama Cendekia  sebagai lembaga yang benar-benar professional dan sebagai usaha adaptasi atas lingkungan dan tantangan yang tentu saja sudah berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Karakter GC sebagai lembaga yang ber-KPK (kompeten, professional, dan kontributif) mulai diwacanakan pada periode ini yang sampai saat ini konsep Kompeten Professional Kontributif menjadi karakter di beberapa kelompok studi di Indonesia. Kemudian dari sisi core business Gama Cendekia  sebagai lembaga pengkajian dan penelitian, secara system mulai dibangun. Seperti alur penelitian Gama Cendekia , diskusi khas Gama Cendekia secara Interdispliner. Kemudian, pada periode selanjutnya  Gama Cendekia ikut andil dalam perintisan jaringan lembaga penelitian mahasiswa nasional, dengan ikut berpartisipasi pada Kongres Nasional ILP2MI (Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia) di Makassar, yang mana pada kesempatan tersebut Gama Cendekia  dipercaya sebagai Koordinator Regional Jateng-DIY dan sebagai tuan rumah untuk penyelenggaraan Kongres ILP2MI yang kedua bersama UPI UGM. Konsentrasi Gama Cendekia untuk ikut andil ditataran ILP2MI ini merupakan jawaban dari restruktur GC di tataran SCCF UGM. Pada tahun 2010, SCCF UGM pengelolaannya dan pendampingan terhadap lembaga diampu oleh para alumni KSU/KSF, yang mana sebelumnya gerak SCCF ini senantiasa diinisiasi oleh Gama Cendekia. Pengurangan intensitas Gama Cendekia di SCCF  ini memang harapan awalnya agar GC bisa lebih banyak bergerak dan berkontribusi pada level nasional dan internasional.
Kemudian, pada periode ini juga Gama Cendekia mulai melakukan inisiasi untuk melebarkan sayap hingga level internasional, dengan prediksi bahwa kedepannya internasionalisasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditawar mengingat perkembangan globalisasi saat ini. Sehingga untuk menuju kesana perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, dan  tahun  2010 merupakan tahun untuk memulainya. Gerak langkah menuju internasional ini diwujudkan dengan beberapa kali Gama Cendekia ikut berpartisipasi dalam penyelenggarakan even international yang bekerja sama dengan pihak rektorat  UGM, kemudian juga dengan bantuan alumni, seorang Dosen dari Boras University, Sweden, Mr Kamran Rousta bisa diajak untuk berdiskusi dengan anggota Gama Cendekia yang mana saat  itu membahas tentang Waste Refinery yang merupakan core dari  salah satu klub penelitian Gama Cendekia yaitu Gama Cendekia Peduli Sampah. Hal-hal lain yang mendukung inisiasi untuk memasuki fase internasionalisasi ini adalah prestasi kader pada level international yang semakin bertambah dan pembangunan jejaring internasional. Dan sampai saat ini pun Gama Cendekia masih menelurkan karya – karyanya untuk berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Visi yang saat ini digambarkan dari lembaga ini yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang mengkaji dan meneliti permasalahan dengan landasan ilmu interdisipliner dengan memanfaatkan fasilitas kampus, mengoptimalkan potensi keilmuan mahasiswa dengan mengedepankan akhlak dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam  kerangka keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan visi yang begitu tajam  untuk melihat faktualisasi  masa depan maka tidaklah heran Gama Cendekia yang mampu mengelola pengembangan sumber daya manusianya menjadi orang – orang yang mampu bergerak dalam riset yang luas secara interdisipliner  untuk melakukan transformasi untuk membangun peradaban menuju peradaban Indonesia berdaya berbagai macam kontribusi dari anak – anak yang menyukai riset secara Interdisipliner ini banyak diimplementasi baik ke mahasiswa maupun kalangan masyarakat melalui kegiatan program kerja lembaga dan juga proyek penelitian yang berbasis kepada community development.
Tidak terfokus pada sistem gerak lembaga pada umumnya yang menyuarakan tentang kontribusi akan tetapi Gama Cendekia juga berperan membentuk karakter mahasiswa ilmiah yang santun dan berdampingan dengan penguasaan nilai – nilai keagaaman yang terlihat dari pribadi masing – masing anggota yang ada didalamnya. Maka tidaklah heran Gama Cemdekia akan menjadi kelompok studi Interdispliner mahasiswa yang akan melakukan transformasi sebagai pembangun peradaban menuju Indonesia berdaya, melalui visi, misi, kontribusi dan prestasi maka masa depan yang berdaya yanga akan disosong dikemudian hari  dengan output sumber daya manusia yang mempunyai karakter ilmiah dan riset Interdispliner yang mereka dapatkan ketika menjadi mahasiswa yang dikenal sebagai agent of change.

Salam Prestatif, Salam Kontributif!!!!!!!!!
Hidup Mahasiswa Indonesia!!!!!!

*Presiden Gama Cendekia UGM

Menatap Idealisme dalam Perspektif Mahasiswa Cyber Generation

GLOBALISASI dewasa ini seolah sudah sangat menggejala. Jika dilihat dari perspektif para penggiat twitter, mungkin sudah menjadi trending topic. Implikasinya, modernisasi sebagai dampak dari globalisasi tidak dapat terelakan lagi. Pragmatisme yang terbungkus dalam modernisasi memang menawarkan hal-hal yang berbau instan, praktis, dan berbagai kelebihan yang cukup menjadi fatamorgana yang menggiurkan. Namun ternyata modernisasi tak ubahnya seperti uang logam yang memiliki sisi lain, yakni sisi kekurangan.  Selain menawarkan segala kelebihan itu, modernisasi juga membawa dampak buruk jika kita tidak bijak menyikapinya. Modernisasi sudah meninabobokan mahasiswa pada sebuah zona nyaman. Segala ketersediaan dan kecepatan akses akan fasilitas menjadikan nilai-nilai kebaikan dalam diri kita tereduksi. Sikap kejujuran, konsistensi dan profesionalitas dalam bertindak semakin luntur. Hanya menyisakan laku apatis dan pragmatis pada kondisi lingkungan sosialnya. Sensor-sensor kepekaan sosial itu seolah sudah termatikan oleh facebook, twitter, blog dan media sosial lainnya.
Dari sinilah muncul cyber generation yang justru memiliki paradigma seperti “katak dalam tempurung”. Memang pelbagai informasi dari seluruh penjuru dunia bisa mereka ketahui, namun kondisi lingkungan sekitar tidak tahu sama sekali. Bahkan, ironisnya, kondisi tetangganya saja tidak tahu. Ilustrasi ini juga sedikit banyak menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang keseharian hanya sibuk dengan urusannya, di dalam kamar menatap laptop  seharian dengan berbagai gadgetnya tanpa tahu dan tanpa keinginan mencari tahu kondisi lingkungan.  


Potret mahasiswa saat ini

Jika kita ingin menelisik kondisi mahasiswa saat ini, ada beberapa kategori mahasiswa. Di antaranya mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa kura-kura, dan mahasiswa kunang-kunang. Mahasiswa kupu-kupu adalah mahasiswa yang orientasinya pada kuliah saja, kuliah pulang-kuliah pulang. Kesehariannya hanya untuk belajar di kampus, selepas itu sudah tidak ada aktivitas lagi sehingga dia langsung pulang usai kuliah. Inilah kelompok mahasiswa yang biasanya memiliki IPK tinggi. Kemudian kategori kedua adalah mahasiswa kura-kura, kelompok mahasiswa yang bisa dikatakan organisatoris berjiwa aktivis, kuliah rapat-kuliah rapat. Rutinitas harian hanya kuliah dan rapat ini dan itu, menjadi panitia ini dan itu. Terkadang mahasiswa semacam ini sisi akademisnya juga mengalami ketimpangan. Kemudian yang ketiga adalah mahasiswa kunang-kunang, kuliah nangkring-kuliah nangkring. Mahasiswa ini cenderung hedonis, kesehariannya hanya untuk nangkring (nongkrong) di mall, nonton film, pacaran dan acara hura-hura lainnya.

Ulasan di atas adalah sekelumit gambaran mengenai kondisi mahasiswa saat ini. Jika kita mencoba menganalisa dari semuannya, ada hal menarik yang bisa kita kaji lagi. Secara umum, ternyata dari kesemua kategori tersebut ada sebuah hal yang menjadi intersect dari ketiganya. Hal tersebut adalah generasi muda saat ini (termasuk mahasiswa) hampir semuanya mengenal dan memang tidak bisa jauh dengan namanya teknologi informasi dan internet. Globalisasi menuntut kita untuk bertindak cepat dan keluar dari dimensi ruang dan waktu. Apalagi saat ini, semakin maraknya penggunaan media social seperti facebook yang telah menggeser nilai-nilai kedekatan kultural dalam bermasyarakat. Mulai dari sinilah sebutan Cyber Generation itu muncul.

Mencari Idealisme dari  Sosok Mahasiswa Cyber Generation

Berbicara tentang cyber generation yang disematkan pada mahasiswa saat ini, rasa-rasanya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Sepertinya memang lumrah kita menyebut mahasiswa saat ini sebagai cyber generation. Bagaimana tidak? Mahasiswa sekarang tak bisa lepas dari media sosial, situs komunitas, ataupun situs yang sebatas hiburan seperti 9gag ataupun 1cak seolah menjadi sebuah virus yang sporadis menyebar pada mahasiswa saat ini. Kondisi semacam inilah yang membuat lunturnya idealisme dan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan sekitarnya. Jika sudah seperti itu bisa ditarik sebuah kesimpulan kalau mahasiswa juga tidak akan peduli lagi dengan kondisi bangsanya. Gejala-gejala pragmatisme mulai menjalar dalam laku hidup mahasiswa. Menuntut segalanya untuk praktis, instan, tanpa harus berjuang keras mendapatkan hasil yang maksimal itulah yang melemahkan sisi idealisme mahasiswa. Kalau sudah seperti ini apakah kita masih optimistis mengatakan bahwa idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa saat ini? Ataukah idealisme hanya berhenti dalam tataran wacana yang hanya menjadi bahan diskusi-diskusi yang kemudian hanya basi dan berbusa untuk diperbincangkan?

Neo-Idealisme Ala Mahasiswa Cyber Generation

Berbeda dengan sudut pandang sebelumnya, yang optimistis masih idealisme itu ada dalam diri mahasiswa. Gelora memperjuangkan suara rakyat kecil, memperjuangkan kebenaran dengan segala kekuatannya. Namun memang secara eksplisit tidak seperti kondisi mahasiswa di masa 1998 dalam memperjuangkan reformasi. Idealisme yang menggelora dalam diri mahasiswa saat ini diyakini masih ada,  hanya memang berbeda dalam pengemasannya. Mahasiswa saat ini yang notabene adalah mahasiswa yang dekat dengan dunia teknologi informasi atau lebih akrab dengan sebutan cyber generation, menggelorakan idealismenya dengan caranya sendiri. Mereka lebih memilih memperjuangkan idealismenya melalui media-media sosial, melalui situs-situs komunitas/forum, dan melalui advokasi melalui gambar-gambar yang dibagi di internet. Ada pula yang giat dengan melakukan gerakan sejuta umat facebook untuk mendukung sosok tertentu dalam suatu kejadian, misal saja gerakan sejuta facebookers mengutuk Ariel Peterpan saat kasus video pornonya dahulu menyeruak. Bahkan kalau kita bicara kekuatan media saat ini sebagai media perjuangan dan menyuarakan kebenaran sangatlah ampuh. Terbukti beberapa pergerakan di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir semuannya bermula dari jejaring sosial yang tersistem secara apik dan sistematis.

Memang tidak bisa dimungkiri lagi, menyuarakan idealisme melalui media jejaring sosial dan internet akan lebih efektif dan efisien. Tidak membutuhkan materi dan energi sebanyak jika kita menyuarakan secara langsung dalam orasi-orasi di pinggir jalan.  Dengan media sosial yang sudah menjamur di internet kita bisa memantik sebuah isu kecil menjadi isu yang besar dan meluas. Selain itu juga kita tidak lagi memikirkan batasan dimensi ruang dan waktu. Dengan media internet kita bisa mengepakkan sayap lebih luas dan bisa unggul juga dalam sisi aktualitas. Dalam konteks ini yang dibutuhkan hanyalah perangkat untuk bisa mengakses internet dan perencanaan pengawalan isu itu secara benar-benar sistematis dan tentunya dengan sinergitas beberapa kelompok orang sehingga masivikasi isu tersebut bisa lebih gencar.

Idealisme itu Masih Ada

Parameter masih ada atau tidaknya idealisme dalam diri mahasiswa akan tidak adil jika kita hanya melihat dari satu sisi. Misalnya mahasiswa sekarang jarang berdemo dan turun di jalan lalu kita dengan mudah menyebut mahasiswa sekarang tidak idealis lagi. Rasa-rasanya pernyataan seperti itu kurang adil dan tidak berimbang. Seharusnya kita menilai hal ini lebih bijak lagi yakni dengan melihat sisi-sisi yang lain. Idealisme adalah sesuatu hal yang tidak seluruhnya nampak dalam laku kehidupan kita. Idealisme itu adalah sebuah pemikiran dan keyakinan yang termanifestasikan dalam kehidupan kita dengan berbagai bentuk. Boleh jadi idealismenya itu terwujud dalam tulisan di media masa, melalui gerakan dukungan dari jejaring sosial, maupun kicauan di twitter. Apalagi jika kita harus menyesuaikan dengan kondisi zaman saat ini yang terus berkembang. Saat ini, bisa dianggap jejaring sosial lebih ramai ketimbang jalanan. Sehingga jika kita bicara efektivitas, mahasiswa yang berdemo di jejaring sosial untuk saat ini mungkin lebih efektif dari pada demonstrasi di jalanan. Jalan memperjuangkan idealisme itu bisa melalui banyak cara.

Akhirnya saat ini kita masih patut untuk optimistis jika idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita bisa menghargai suara mahasiswa itu dengan berbagai cara mereka mengekspresikannya. Mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa di masa perjuangan. Mahasiswa sekarang punya cara sendiri untuk mengekspresikannya dan itulah kebebasan. Hal terpenting adalah idealisme itu masih ada dalam diri mahasiswa. Hidup Mahasiswa Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia !!!
 
dimuat di : 
Penulis :
Phisca Aditya Rosyady
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada
Ketua Bidang Keilmuan PK IMM Al-Khawarizmi UGM

Rabu, 13 Februari 2013

Mahasiswa Mengajar, Bangun Indonesia

BAGIAN ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi agaknya sering terlupakan oleh mahasiswa masa kini. Pengabdian masyarakat yang menjadi output paling konkret dari pendidikan malah menjadi bagian yang terkesan paling dikesampingkan dari perjalanan berkuliah seorang mahasiswa. Padahal tanpa pengabdian masyarakat, pendidikan akan menjadi layaknya singa ompong. Pendidikan akan menjadi teori belaka yang kosong perwujudan.

Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.

Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.

Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.

Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.

Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.

Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.

Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.

Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.

Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM - Jojoran Kulon - Bantul

Selasa, 05 Februari 2013

Partai Politik, Hasrat Kuasa dan Korupsi

Tahun 2013 adalah tahun kritis politik. Pernyataan setengah prediksi klise ini di awal tahun perlahan namun pasti mulai menunjukkan kebenarannya. Belum genap dua bulan tahun 2013 berjalan, sudah banyak ‘gempa politik’ yang mengguncang lanskap perpolitikan Indonesia, yang terbaru kemarin episentrum gempa politik berada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi kalau bukan heboh penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan kasus korupsi import sapi yang membelitnya. Kasus korupsi politik yang demikian sesungguhnya bukan barang baru bagi publik, korupsi politik yang melibatkan petinggi partai adalah lagu lama yang selalu digubah oleh para koruptor, sebelumnya kasus korupsi politik telah terlebih dahulu melanda partai Demokrat, PAN, Golkar, PDI P dan PPP. Namun kali ini agaknya paling istimewa, disebabkan Ketua/Presiden partai dapat langsung ditangkap dan digelandang ke KPK, satu prestasi KPK yang patut diacungi jempol.

Semua partai politik adalah pemburu kekuasaan. Ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sebab hakikat eksistensi partai politik adalah berkuasa, kalau ada parpol yang tidak ingin berkuasa itu justru abnormal. Hasrat berkuasa (will to power) menjadi poros segala aktivitas organisasi kepartaian dimanapun dia berada. Oleh karenanya menjadi relevan untuk mengajukan proposisi legendaris Lord Acton bahwa kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup (power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely). Jadi kecenderungan partai politik untuk melakukan tindak korupsi ini memang sudah ada sejak rahim kelahirannya. Jadi tindakan korupsi yang dilakukan oleh para petinggi partai adalah tindakan institusional/kelembagaan organisasi, bukan semata mata tindakan kriminal individu seperti selalu dijadikan pembelaan oleh para pimpinan partai jika ada kadernya yang tersandung korupsi. Nalar akal sehat kita jangan mau dikelabui dengan argumentasi tak logis semacam ini.

Namun untuk meredam kecenderungan korupsi pada partai politik, dalam sistem politik demokrasi sesungguhnya menyediakan mekanisme akuntabilitas, transparansi, kompetisi sehat dan representasi yang mengakar untuk meminimalisir ‘cacat bawaan’ ini. Namun agaknya mekanisme yang disediakan demokrasi ini kini justru tidak dijalankan oleh parpol. Lihatlah misalkan dalam verifikasi parpol untuk pemilihan umum 2014, parpol hanya berlomba lomba memenuhi kualifikasi teknis administratif semata agar berhak mengikuti pemilu, sementara pendidikan politik, pertanggungjawaban publik, proses kaderisasi, dan fungsi artikulasi kepentingan lalai dijalankan. Singkatnya partai politik hanya sibuk memburu kekuasaan untuk kepentingan golongannya, sementara nilai nilai dan prinsip prinsip berdemokrasi yang harus dipenuhi seharusnya justru di buang ke keranjang sampah sejarah. Alhasil parpol hanya menjadi arena perebutan kuasa dan kepentingan, sementara rakyat dan demokrasi hanya menjadi retorika hambar dalam pidato pidato politik belaka.

Fenomena ini jika terus dilanjutkan akan menggiring kita pada apa yang disebut Yudi Latif sebagai “demokrasi padat modal”. Dalam ‘demokrasi padat modal’ substansi ide dan gagasan membangun bangsa tidak penting lagi, tergusur oleh kekuatan hegemonik kuasa modal. Kedalaman gagasan politik ditaklukkan oleh megahnya desain pencitraan media, kebersahajaan yang menjadi tauladan digusur kemewahan hidup elit, sementara transparansi dan akuntabilitas publik di abaikan begitu saja, lantas suara rakyat bisa dengan mudah ‘dibeli’ demi secuil kekuasaan.  Saat mandat rakyat dikhianati, saat itulah label parpol sebagai pilar demokrasi harus segera dilucuti.

 
Mohammad Zaki Arrobi
HMI Fisipol UGM/Sekjen Dema KM Fisipol UGM

Kamis, 10 Januari 2013

Perempuan Dalam Parlemen


 Emansipasi perempuan atau kesetaraan gender memang telah menjadi sebuah norma dan prinsip yang secara formal diadopsi sebagai bagian dari proyeksi Indonesia modern (Djoharwinarlien, 2012:35). Termasuk dalam hal ini adalah institusi modern pemerintahan Indonesia, tulisan kali ini akan lebih fokus ke dalam institusi legislatif pemerintahan Indonesia, yaitu Parlemen. Bagaimana kondisi parlemen saat ini yang telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada perempuan untuk merepresentasikan dan mengekspresikan hak politiknya melalui jaminan hukum dalam undang-undang, namun dalam realisasinya masih sangat jauh dari harapan. Adanya fenomena ini menunjukkan indikasi kurang idealnya usaha dalam mencapai amanat undang-undang tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan bagaimana amanat undang-undang tersebut tersendat dalam realisasinya. Tidak hanya pihak-pihak terkait yang mencederai jalan menuju realisasi amanat undang-undang, namun obyek dari undang-undang tersebut juga mengambil peran yang kurang signifikan.

Perihal Perempuan dalam Parlemen
Ada beragam isu yang diperjuangkan oleh perempuan, isu ini berkisar di sekitar masalah-masalah hak-hak politik dan hukum bagi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak reproduksi dan aborsi, kebebasan dan seksual, kesempatan dan diskriminasi kerja, serta partisipasi politik dan representasi politik perempuan (Basu dalam Dewi, 2001:4). Partisipasi dan representasi politik perempuan menjadi penting di dalamnya terkait dengan posisinya yang notabene sebagai warga negara yang memiliki kedudukan di depan hukum, hak sosial dan hak politik yang sama dengan laki-laki. Dalam usahanya mencapai kesetaraan tersebut telah berhasil mendapatkan tempat dan merupakan sebuah langkah maju bagi representasi politik perempuan di Indonesia dengan disahkannya Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik (Djoharwinarlien, 2012:41). Bagaimana dalam kedua undang-undang tersebut perempuan memiliki kuota 30 persen dalam setiap ruang demokrasi. Amanat inilah yang kemudian populer dan familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen” (Ratnawati, 2004:296).



Dilema Perempuan dalam Parlemen
Namun, adanya rekognisi formal terhadap hak politik perempuan serta upaya afirmasi yang dicanangkan oleh UU tersebut, banyak hal yang menjadi alasan mengapa jumlah 30 persen tidak selalu terpenuhi (Djoharwinarlien, 2012:42). Hal ini relatif disebabkan lebih karena dalam proses perekrutannya, dalam proses bagaimana seorang warga negara mampu menjadi bagian dari proses formal perumusan kebijakan sebuah negara, banyak partai politik sebagai wadah “penggodhogan” warga negara menjadi legislator-legislator wakil rakyat menafikan adanya perempuan. Adanya pandangan pragmatis partai bagaimana menempatkan sebanyak-banyak kadernya di dalam parlemen membuat partai hanya melirik figur-figur secara individu yang telah tercitrakan oleh publik. Figur-figur ini kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Pandangan inilah yang kemudian membuat partai menutup mata terhadap perempuan.
Dalam kepengurusan sebuah partai pun, sedikit perempuan yang masuk dalam kepengurusan partai politik. Kalaupun muncul tokoh perempuan dalam sebuah partai, hal itu lebih dikarenakan tokoh tersebut merupakan bagian dari dinasti kepemimpinan sebuah partai. Sehingga dalam proses perekrutan menuju parlemen pun sudah memiliki banyak dilema dimulai dari kepengurusan partai dan perekrutan kader perempuan yang berdampak terhadap posisi dan kuota perempuan di dalam parlemen.
Sementara di dalam parlemen, adanya anggapan bahwa dunia politik di level praksis adalah dunianya Kaum Adam, sistematika aktivitas politik seperti yang berlangsung di partai politik atau parlemen sangat kompleks dan menyita waktu menjadi pertimbangan perempuan dalam keaktifannya menyampaikan pendapat di dalam forum dan rapat parlemen. Dan pertimbangan ini yang kemudian memberatkan dan membuat perempuan urung menyampaikan pendapatnya dikarenakan tidak mau terlibat jauh dalam perdebatannya dengan laki-laki. Dinamika aktivitas politik juga mengharuskan perempuan, seperti politisi lainnya mereka beradu otot untuk mempertahankan argumentasi di dalam forum politik (Djoharwinarlien, 2012:46). Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dilema bagi perempuan dalam parlemen. Mereka dihadapkan oleh kewajiban sebagai wakil rakyat di satu sisi, namun dibenturkan dengan konstruksi masyarakat yang telah terbentuk terhadap penilaian perempuan itu sendiri di sisi lain.
Adanya dilema tersebut membuat perempuan lebih banyak diam karena konstruksi makna terhadap perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat telah mengakar kuat, termasuk konstruksi makna tersebut digunakan untuk menilai perempuan-perempuan legislator di dalam parlemen. Tidak adanya kontekstualisasi pemaknaan terhadap perempuan di sini menjadi akar permasalahan utama yang dihadapi oleh perempuan-perempuan legislator.

Formulasi Solusi bagi Perempuan
Dalam usahanya mencapai impian kesetaraan hak politik dan hak sosialnya, perempuan mengalami banyak dilema baik dari dalam dirinya maupun konstruksi masyarakat yang menghambatnya. Namun, usaha kesetaraan ini dapat dimulai dengan membenahi pemaknaan terhadap perempuan dengan instrumen bahwa wanita adalah warga negara yang notabene memiliki kesempatan yang sama dalam merepresentasi dan mengekspresikan hak-hak politik dan sosialnya.
Usaha ini juga seharusnya didorong dengan peran negara, bagaimana negara ini memberikan dan memastikan ruang dan kondisi yang memungkinkan (enabling) bagi perempuan untuk menunjukkan dan merealisasikan kesetaraan hak politik dan hak sosialnya (Astuti, 2001:18). Karena terlebih sering yang terjadi saat ini adalah bagaimana negara terkesan membisu dan tak acuh terhadap realisasi hak politik perempuan. Sudah seharusnya negara hadir lebih jauh memastikan perempuan mendapatkan akses merealisasikan hak-hak politiknya. Sehingga pada akhirnya kesetaraan hak politik perempuan menjadi agenda bersama, tidak kemudian semata-mata menjadi agenda perempuan yang terdilema dalam “kesendirian” gerakan.
            Dan hal yang paling dekat untuk menjadi agenda bersama dan merealisasikannya adalah bagaimana kuota perempuan 30 persen ini dapat dicapai sebenar-benar adanya. Tidak hanya negara yang terus didorong untuk merealisasikannya, namun juga pihak-pihak terkait yang terpaut kepentingannya seperti partai politik dan masyarakat. Pihak-pihak ini sudah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada proses pencapaian kuota 30 persen ini melalui pembukaan akses terhadap perempuan untuk mendapatkan sumber-sumber kekuatan politik. Sehingga ketika pencapaian ini benar-benar tercapai, akan menciptakan sebuah masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara di berbagai tingkat keberadaannya. Ketika keseimbangan itu terjadi, peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil. Begitu pula ketika jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam pemerintahan secara umum dalam posisi yang equal, maka kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan, demikian pula dengan laki-laki.\ (Ratnawati, 2004:297). Dengan demikian, bukan tidak mungkin dengan posisi seperti itu dapat mendorong perempuan secara mandiri mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi hak-hak sosial dan politiknya yang mempengaruhi pihak-pihak lain untuk menaruh perhatian lebih kepadanya.

Oleh :
Satria Triputra Wisnumurti
Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada 2011



REFERENSI
            Djoharwinarlien, Sri. 2012. Dilema Kesetaraan Gender : Refleksi dan Respons Praksis. Yogyakarta : Center for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM.
Ratnawati. 2004. Potret Kuota Perempuan di Parlemen, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 7, No. 3. Hal. 295-314.
Dewi, Machya Astuti. 2001. Dimensi Politik Gerakan Perempuan : Suatu Survey Kepustakaan, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 5, No. 1. Hal. 1-21.

Senin, 12 November 2012

Pendekatan Transformatif Kontra-Terorisme



Oleh Mohammad Zaki Arrobi*
Terorisme seperti ‘hantu’ yang bergentayangan di negeri ini. Betapa tidak isu terorisme rasanya selalu menghiasi media massa kita, seperti ‘hantu’ kadang hadir menyentak kemudian hilang perlahan lahan, namun tiba tiba datang kembali, selalu begitu. Peristiwa penggrebekan serentak sebelas terduga teroris yang tersebar di Madiun, Solo, Jakarta dan Bogor (Jumat, 26/10/12) baru baru ini menjadi preseden terbaru datangya kembali ‘hantu’ terorisme, sebelumnya ledakan bom di Depok dan Tambora beberapa waktu yang lalu juga menambah panjang daftar aksi terorisme di negeri ini. Fakta yang mengejutkan adalah para pelaku teror yang tertangkap di empat daerah ini adalah jaringan teroris baru di tanah air, kelompok ini menamakan diri dengan sebutan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (HASMI).

Terbongkarnya jaringan teroris baru HASMI menjadi ‘prestasi’ sekaligus ‘ironi’ bagi pemerintah. Prestasi sebab pemerintah melalui Densus 88 telah berhasil melakukan tindakan preventif sebelum aksi teror benar benar terjadi, ironi sebab nyatanya program deradikalisasi dijalankan pemerintah selama ini belum banyak membuahkan hasil. Publik layak mempertanyakan efektifitas program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah, penemuan jaringan baru teroris HASMI menandakan ideologi terorisme masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Padahal pemerintah sejak tahun 2010 telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), yang menghabiskan anggaran yang tidak sedikit untuk project ini. BNPT sebagai badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk concern pada penanggulangan teror patut dievaluasi kinerjanya, serangkaian program deradikalisasi yang dijalankan BNPT seolah menguap tanpa bekas ketika kita melihat kelompok-kelompok teroris baru terus bermunculan, apalagi kebanyakan pelakunya adalah pemuda pemuda yang justru mengalami radikalisasi yang menghebat. Pendekatan represif terhadap terorisme ditengarai menjadi sebab kegagalan pemerintah dalam mencegah benih benih terorisme, alih alih deradikalisasi yang ada justru radikalisasi.

Tumbuh suburnya terorisme di tanah air harus dilacak pada akar sosial persoalannya, bukan hanya pada tataran permukaannya saja. Menurut penulis persoalan terorisme di Indonesia setidaknya berpangkal pada dua hal, pertama ideologi dan kedua jejaring sosial. Berikut pemaparannya. Pertama, Ideologi, masih adanya ideologi teror yang terus berkembang di kalangan sebagian masyarakat kita, biasanya ideologi teror yang dikembangkan menggunakan ajaran keagamaan tertentu yang ‘dipelintir’ demi membenarkan tindakan terorisme. Kedua, jaringan. Ideologi tidak akan berkembang tanpa jejaring sosial yang memadai, artinya ideologi teror berkembang melalui jejaring sosial yang saling terkoneksi antar kelompok kelompok teror di Indonesia, mereka memanfaatkan kemudahan akses informasi dan komunikasi untuk menyebarkan ideologi teror mereka ke sebanyak mungkin orang, sehingga dengan mudah ideologi teror ini bertransformasi menjadi tindakan tindakan terorisme. Kedua faktor ini merupakan pangkal persoalan mengapa terorisme masih tumbuh subur di berbagai daerah di tanah air,

Persoalan terorisme sesunguhnya terkait erat dengan relasi relasi sosial yang ada dalam masyarakat. Ideologi teror yang coba dikikis habis oleh program deradikalisasi BNPT nyatanya bukan saja bersumber dari ajaran agama tertentu, namun juga melibatkan jejaring sosial yang saling terkait dalam masyarakat. Oleh karenanya solusi yang perlu dikembangkan oleh pemerintah bukan saja pada aspek represi semata, namun juga dengan menyediakan ruang sosial yang lebih heterogen sehingga memungkinkan para mantan pelaku teror mentransformasikan ideologinya. Dalam konteks ini, kesimpulan disertasi pengamat terorisme Indonesia, Dr. Najib Azca tentang fenomena Jihadis di Ambon menjadi relevan untuk dikemukakan, disertasi yang telah di uji di Amsterdam School For Social Science Reseacrh (ASSR) ini menunjukan bahwa para mantan pelaku teror sesungguhnya dapat hidup berdampingan secara damai dengan lingkungan masyarakat pada umumnya jika diberi infrastruktur dan ruang sosial yang memadai. Riset ini menunjukan bahwa para mantan pelaku teror mampu mentransformasikan ideologinya menjadi aksi aksi produktif yang nir kekerasan jika diberi infrastruktur sosial yang memadai, pada periode paska-terorisme mereka ada yang menjadi penulis, terjun ke politik praktis hingga terlibat dalam aksi aksi pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya,  tindakan memusuhi dan mengucilkan pelaku teror justru membuat mereka menjadi semakin radikal dan akan menginspirasi jejaring kelompoknya melakukan teror balasan.

Penciptaan jejaring sosial yang heterogen, interaksi sosial yang cross cultural dan penyediaan ruang ruang sosial untuk beraktualisasi bagi mantan pelaku teror adalah formulasi strategis untuk mengikis habis benih benih terorisme dalam masyarakat. Para mantan pelaku teror ini harus diberi infrastuktur sosial yang heterogen, memastikan mereka berinteraksi dengan sebanyak mungkin orang dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda, menyediakan ruang ruang sosial yang memungkinkan mereka mengaktualisasi diri sekaligus memiliki basis ekonomi bagi kehidupan mereka. Kini sudah  saatnya strategi kontra terorisme kita mengarus utamakan pendekatan yang lebih transformatif, dan membuang jauh represi serta streotyping bagi para mantan pelaku teror, demi terwujudnya tatanan masyarakat Indonesia yang nir kekerasan.
__________________________________
*Sosiolog UGM, Pegiat di Ulil Albab Society

Minggu, 28 Oktober 2012

Creating Harmony Life, by Togetherness and Tolerance


Faith was the principal of life, which is included in Human Right and nation has confessed it to be embraced by every people especially in Indonesia. By having faith, every people will have their own orientation for what they live here, and also, they will have a strong conviction in order to create the harmony life between each person in their environment. What is the unique of Indonesia, especially about faith? Indonesias was the country that has so many type of faith, from Islam, Christian, Buddhist, Hindu, Catholic, and etc., on another hand most of ism form that principal faith, had developed in Indonesia. But the question, how to create peaceful in this country? The answer is togetherness and respect. Nowadays, SARA was become the main issue in Indonesia, because of the diversity of Indonesia, every people can be pitted by this issue. This issue has become the concern of our government in order to solve and try to unite every people. Indonesia was the largest Island Nation that has spread from Sabang and Merauke. Every Island hs their own family, form example Java with Java Family, Betawi Family, Sunda Family, Kalimantan with their Dayak Family, Irian Jaya with their Papua Family, Sumatera with their Batak Family, and etc. every family will have their own faith. But let’s imagine, if every family will regard that their faith are the right one. It will become disaster because every people will impel their faith to be believed with other people, moreover there will be hostility. One thing that was so important was every nation has regulated the freedom from every people to believe one faith. Besides that, Indonesia was the country that has enacted Pancasila as the base of this nation. Pancasila was born from reflection of Ir. Soekarno as the first president in Indonesia. From Pancasila, it shown that Indonesia is country that honor of people which have strong faith, by the sound of Pancasila in first sentence, belief in the one and only God.



  • Diversity as the power for this nation to be Development Country
Diversity in Indonesia should become the power to develop this country. Faith should not become the barrier to make Indonesia as the big country that can be model for every country in the world about the harmonization between every religion follower. Faith as the basic of life will try to guide every people to become the agent that will bring the nation into development country. Interfaith will teach us about how to respect with others perspective about religion. Every religion has their own truth. As the youth and young generation, we should support the big theme of this nation to increase the safety of this big nation by keeping the harmonization of life between each religion follower. Young generation can become the promoter to support this, by:
  1. Giving some action by making discussion about interfaith, especially small groups discussion that can began from Senior High School, and can be continued until youth summit like this forum.
  2. Trying to make cultural approach to unite every people from different family and nation. Culture has the biggest impact for making unity. It can be seen from the music, dancing, and etc. Music was the general tools for making people aware that they was unity, and also, can make people from other religion aware that they God, that teach them about kindness.
As the Muslim, the writer does believe that every religion has taught about kindness. Islam, Christian, Buddhist, Hindu, Catholic, ask the follower to spread love. There is no instruction to make war, and makes terrorism action to kill human.
  • Stop Violence Action
There are so many issues that has been heard, and it was made people confuses about the peaceful that should be created in this world. For example, case of Rohingnya which was made us thought that there is no peace and there is no tolerance between each religion follower there. In Indonesia, a few days ago, we heard about case of SARA in Sampang, Madura, East Java. All of the case that happened because of there is no togetherness that has been appeared in their heart. All of us live in the same earth, same country, same family, the question that appeared was why there should be violence action, moreover killing their own family. It should become contemplation, what’s wrong with us. As the human, human rights always become the hot issue to be spoken, but human right was regulated the freedom for people to live and believe their religion, but when there is violence action happened, human right like forgotten by each people.
  • Developing Harmony Life by Respect Each Other
Harmony life is the dream from each people. Harmony life can bring us peaceful everywhere we live. There is no afraid, or stress that will appear when harmony life can be created in the wide atmosphere. As we all know, society now was so tired by hearing a violence action on behalf of SARA. Society missed the tranquility, where each peole can walk in every place without afraid. How about faith? The writer believes that every religion teach us to bring kindness and make the calm atmosphere. There is no religion which teach the follower to do criminal action, or terrorism action, more over threaten others faiths. As the moslem, the writer has been taught to respect with others religion.
In this era, faith has become the necessity which most of people trying to search about the truth. Every religion has their own truth, but there will no different basic of religion that should be contested. Every people have their own truth, and there is no right for them to enforce other people to follow what they have followed. If we understand about human right, we will try to apply the harmony life to create the comfortable atmosphere.
The new paradigm for interfaith that should be created in the 21st century is developing nation from harmony life, which can be created by applying togetherness and tolerance. By togetherness and tolerance, every people can do well their job, without discrimination, every people will get safety to do their activity. In the 21st century, we should close the issue about violence on behalf of SARA. The tragedy that happened in 2012, especially in Myanmar and Indonesia, should become the lesson for all of us, that until now, we still become human that cannot respect with each other. We still become human that egoistic with our prominence, moreover we forget the human right until there is casualties that have been caused from that tragedy. Human beings should be treated as human and sense of humanity. From interfaith summit, we can respect people in the different religion, and trying to spread love. As young generation, we have a duty to give understanding for other people all over the world, that as human who has a faith to God, we believe that we can live in the world by peaceful, and give the best service for human, and also for God, as the one that we believe about the power of God, who has created earth and the universe. The last, from this essay, the writer hope that it will bring new paradigm that will make other people trying to open mind and can live together in diversity.
Unity in Diversity”


Mahasiswa Jurusan Biologi UGM