Sugeng Rawuh...

Official Site PPSDMS Nurul Fikri Angkatan 6 Regional III Yogyakarta

Laskar Nakula dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Bersama Angkatan 5 dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Selasa, 22 Januari 2013

KIK Perdana di 2013, Bang Ikhsan Bahas Spiritual Leadership

KIK kali ini dipandu oleh Akhina Rady, mahasiswa Fakultas Geografi, 2011. Seperti pada umumnya, untuk menambah hikmatnya acara dilakukan pembacaan ayat suci Al-Quran, yaitu Surat Al-Mu’minun. Pada pertemuan kali ini, disampaikan pula, bahwa pada materi KIK sebelumnya dibicarakan mengenai isi Surat Luqman, yang memiliki kandungan luar biasa terutama mengenai pelajaran hikmah dan syukur. Bang Ikhsan menuturkan, bahwa ada pelajaran berharga, atas kejadian semalam, yaitu ada ijtihad, bahwa KIK dilakukan pagi hari, dan tidak dilakukan pada malam hari. Dalam berijtihad, disebutkan bahwa tidak ada lagi kesepakatan, setelah kesepakatan diambil. Menurut beliau, jika ada perubahan-perubahan maka harus ada kesepakatan. Hal ini merupakan ciri dari Indahnya Islam. Dalam materi KIK sebelumnya, telah dibahas mengenai pendidikan Islam, dan syukur. Allah menerangkan dalam Al-Quran, bahwa barang siapa yang bersyukur pada Allah, maka Allah akan menambah nikmatnya. Bang Ikhsan sempat membahas mengenai banjir yang sedang terjadi di Jakarta. Hal ini mungkin disebabkan karena kesalahan dari manajemen pengaturan Ibu Kota Jakarta. 


Sebelum memulai KIK, dibahas terlebih dahulu mengenai Surat Al-Anfal ayat 64-66. Dalam surat ini dibahas mengenai kandungan surat ini, yang turun pada saat Perang Badar. Yaumul Furqan, adalah hari di mana kaum kafir bertemu dengan kaum muslimin. Surat ini turun di Madinah, setelah Surat Al-Baqarah. Saat perang ini terjadi, Rasulullah sempat tidak tenang, dan berdoa, bahwa jika dalam perang ini kaum Muslimin kalah, maka tidak akan ada lagi yang menyembahnya. Dan oleh sebab itu, maka Allah menenangkan Rasulullah dengan ayat ini. Kaitan dalam kehidupan ini adalah menjadi seorang pemimpin, maka ada satu rahasia besar untuk menjadi pemimpin yang adil, kuat, dan bijaksana, yaitu Menjadikan Allah hanya sebagai PENOLONG, dan tidak ada yang lain. Dalam Islam, siapapun yang berperang, maka akan mendapatkan kemenangan, yaitu Fathan Mubina, dan Fathan Qoriba, yaitu kemenangan yang dekat (syahid), dan kemenangan yang nyata. Berpegang kepada Allah akan memiliki kekuatan yang luar biasa, serta tidak pernah sedih. Barang siapa yang mengejar dunia, hanya akan mendapatkan kegelisahan, kelelahan, dan tidak ada kebahagiaan, dan yang paling menyedihkan adalah rasa tidak cukup. Allah telah menetapkan pahala bagi orang-orang yang bersabar. Menjadikan Allah dan Rasulnya sebagai wali, hal ini dikarenakan perwalian Allah akan berlanjut hingga Yaumul Akhir. Kemudian beliau melanjutkan pada ayat selanjutnya, yaitu Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengobarkan semangat untuk berqittal (perang atau jihad dalam medan perang). Bang Ichsan menjelaskan bahwa Mu’jizat itu muncul dalam keadaan tertentu, terdesak, dan tidak muuncul setiap saat. Saat ini, qittal yang ada adalah perang peradaban. Beliau mencontohkan bahwa B.J. Habibie merupakan sosok luar biasa, karena mampu menghasilkan industri-industri yang luar biasa. Ada kekuatan jika masuk dalam jamaah (kekuatan yang besar). Bang Ikhsan menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang melakukan pembangunan, dan saat ini berada di level menengah. Inti pembangunan adalah pembangunan sumber daya manusia. Namun, sayangnya yang terjadi di Indonesia adalah kekufuran yang terlalu banyak, sehingga Allah menjadikan pelajaran bagi kita semua. Kewajiban kita saat ini, adalah berjihad dalam peradaban, dan Bang Ikhsan menjelaskan bahwa membangun peradaban maka diri ini harus beradab, dan menghasilkan peradaban. Kata kunci dalam surat ini, yaitu Qaumun La Yafqahun. Yafqahun di sini, memiliki makna sedang dan akan, ada fi’il mudharik. Indonesia dulu pernah dijajah Belanda selama 350 tahun, karena Indonesia belum pernah paham, dan tertutup dari dunia luar. Bang Ikhsan berpesan bahwa kita harus menjadi mahasiswa yang memiliki idealisme. Ketika di zaman para sahabat, setiap orang yang memiliki pemikiran positif, maka akan menghasilkan hal-hal positif. Aktivitas seorang mukmin tidak dibatasi oleh harta. POSISI KITA SAAT INI ADALAH SEBAGAI ORANG YANG MENGEJAR KEMENANGAN, DAN MARILAH KITA MENJADI PRAJURIT-PRAJURIT ALLAH, DAN MENJADIKAN DIRI KITA SEBAGAI THARIQ BIN ZIYAD. Kita harus memiliki keinginan untuk menyebarkan Islam, dan menjadikan diri ini selalu berjuang untuk menyebarkan panji-panji Allah ke seluruh akar rumput, dan ke seluruh lapisan masyarakat. Karakter pendidikan Islam adalah bersabar, sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menghadapi cobaan, dan sabar dalam menghindari larangan… Astaghfirullahiladzim… L
Session 2: *Spiritual Leadership*
Our daily problem was more complex than just a problem who will be discussed in this session. In this second session, Hanan ask about how to understand Islam well. In temporary condition, Fiqih can be used in Dakwah and some people said that Fiqih was the Political Product, and it was just priority from human. How to solve this problem? Bang Ikhsan said, that in Al-Maidah verse 48. The main purpose from this verse is for person who always fun, he was not do Dakwah. Dakwah is love, and it requires everything.
Dalam kisah Umar bin Abdul Aziz, hidup dalam kemiskinan sebagai pilihannya, dan menjadikan agar dirinya berbeda dengan pemimpin dan rakyat. Bang Ikhsan menjelaskan bahwa dalam perjalanannya akan ada tarik-menarik antar orang dalam berdakwah. Fiqih memang produk manusia. And it is right. In Rasulullah era, practice of Fiqih had been done. Pada masa thabiin, ada kodifikasi hukum Fiqih, dan pada masa Syafi’I barulah ada buku Ar-Risalah Fiqih. Dalam buku ini dibahas mengenai Kepokokan dari Fiqih itu sendiri. Imam Syafi’I adalah seorang usia, yang usia 20 tahun telah belajar Islam, dan 10 tahun telah menjadi seorang hafizh Al-Quran. Fiqih dapat berubah karena sesuatu hal.
Mengapa Allah meminta manusia untuk Tawadduk, dan tunduk kepada Allah? Allah melalui Rasulullah mengajarkan pada manusia, untuk selalu berlindung kepada Allah dari sikap sombong. Ilmu tidak akan banyak memiliki manfaat, jika dalam diri ini memiliki sifat Takabbur, sehingga menyebabkan diri ini lebih melihat segalanya, dan melupakan Allah sebagai Dzat yang Maha Besar… Allahu Akbar…L. Pemimpin terkadang tidak memiliki jabatan struktural, namun keberadaannya dianggap sebagai pemimpin. Ada karakter pemimpin, yang jika orang disuruh apapun mau, yaitu karena kepemimpinan karena Spiritualitasnya, yaitu Rasulullah SAW. Masalah kepemimpinan adalah masalah Keteladanan. Menjadi pemimpin, maka haru memiliki ilmu, manajemen, teamwork, dan skill, serta leader. Nabi Isa berkata bahwa bergaulah kamu bersama orang yang dengat melihatnya kamu ingat pada Allah, dengan kata-katanya amal kamu bertambah dan dengan amalnya kamu termotivasi untuk akhirat. Dalam Al Quran, dijelaskan bahwa pribadi Rasulullah adalah orang dengan spiritualitas tinggi, dan dapat menjadi contoh bagi diri kita semua (uswatun khasanah). Seorang pemimpin harus memadukan antara spiritualitas, dan kekuatan-kekuatan yang ada. Allah mengecam orang-orang yang hanya berkata dan tanpa melakukannya.
Pokok-pokok keteladanan, yaitu:
1.    Keshalihan, pangkal keshalihan adalah keimanan. Keimanan, adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah akan memberikan kemenangan bagi hambaNya yang mukmin, melalui cara Allah. Buah dari keimanan, akan membuat seseorang menjadi kuat. Lalu, selanjutnya, keimanan yang kuat menjadikan ibadah yang kuat. Dan yang selanjutnya adalah keihklasan. Keikhlasan adalah syarat adanya pertolongan dari Allah. Haththrah adalah bisikan yang kadang muncul saat kita sedang berbicara, dan haththrah ini harus ditinggalkan atau dengan membaca Istighfar. Tidak boleh menyingkirkan sesuatu dengan mudharat yang lebih besar. Dalam mengambil setiap keputusan, harus dilihat baik, dan buruknya.
Oleh : Abrory Agus Cahya Pramana

Minggu, 13 Januari 2013

Teori Politik Islam dan Perjalanan Kekhalifahan

“…Dan jika setiap manusia berjalan dalam keseragamannya, masih ada yang ingin mendahului dan menjadi yang paling awal. Padahal setiap kelemahan akan terlihat ketika barisan terpecah, dan egoisme masing-masing tak dapat ditahan…”


Seperti pada malam-malam biasanya, malam ini akan dilaksanakan kajian mengenai Diskusi Epistemologi Islam. Dalam kajian kali ini, materi akan disampaikan oleh Abang Miftahul Huda. Pembawa acara pada mala mini langsung dipimpin oleh Muhammad Lutfi Firdaus, dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, yakni Surat Al-Fathir, ayat 1-7. Dalam kesempatan kali ini, Mas Miftah menyampaikan permohonan maaf karena belum bisa menyampaikan dengan menggunakan slide. Dalam hal ini, beliau menyampaikan bahwa beliau sedikit malas dalam menyampaikan dengan slide, dan beliau sedikit membawa canda bahwa ada anugerah saat beliau menulis dengan slide. Dalam kesempatan kali ini, akan pertama kali dibahas mengenai teori-teori politik Islam.
Dalam pembahasan sebelumnya dibahas mengenai wajibnya ada keimamahan, dan kita adalah orang yang pertama kali harus mengawali adanya keimamahan. Dalil wajibnya keimamahan, selain memang kewajiban, adalah untuk mencegah kemudharatan, dan menunaikan kewajiban-kewajiban ummat Islam. Secara tidak langsung, dapat dikatakan, bahwa masyarakat suatu negara akan diatur oleh Al-Quran, dan As-Shunnah. Selain itu, dalil keempat, yaitu terwujudnya keadilan yang sempurna. Keadilan ini adalah dengan menentukan hukum berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Pada akhir dari pertemuan ini, adalah praktek-praktek keimamahan yang dapat dipelajari dalam sejarah Islam. Para Shahabat Nabi adalah orang-orang yang sangat kuat keinginannya untuk masuk Syurga.
Rasulullah dan para shahabat secara tidak langsung memang tidak merinci bagaimana bentuk keimamahan tersebut. Dalam hal pengertian mengenai kekurangan dan kelebihan kekhalifahan, maka perlu dirujuk bagaimana pertama kali kekhalifahan itu terbentuk pasca Rasulullah. Dalam kesempatan ini, Mas Miftah, akan sedikit melakukan review terhadap kekhalifahan Khullafatur Rasyidin.
-          Pengangkatan Abu Bakar
Hal ini dilakukan saat wafatnya Rasulullah, dan beberapa orang dari kaum Anshar berkumpul di Bani Syaqifah dan membahas mengenai pengganti Rasulullah. Kepemimpinan dilakukan dengan menjamin berlangsungnya kebutuhan agama dapat berjalan dengan baik, dan secara politik. Hikmahnya adalah betapa pentingnya kepemimpinan dalam ummat Islam, sehingga sampai dikatakan ummat ini tidak akan tenang walau sedetikpun tidak ada pemimpin, sehingga jenazah Rasulullah sempat terlantar, padahal Rasulullah pernah menyampaikan, bahwa ada beberapa yang harus disegerakan, yaitu datang waktu shalat, datang jenazah, dan datang kecocokan saat ingin menikah dengan janda. Hal ini menunjukkan bahwa keimamahan merupakan hal yang sangat penting, dan dalam kewajiban agama, yaitu mendirikan kepemimpinan ummat Islam merupakan hal fundamental. Hal yang terpenting, atau prinsip dasar, yaitu adanya wujud sempurna kekhalifahan, maka harus dipilih orang, dengan kriteria tertentu. Prinsip penting dalam pengangkatan khalifah menjadi hal fundamental. Dalam pemilihan ini, kekhalifahan ideal, ketika khalifah dipilih oleh ummat atau wakil-wakil atau tokoh-tokoh ummat. Hal ini dikenal sebagai syura (musyawarah). Prinsip kedua, adalah pemimpin ditaati hanya jika perintahnya tidak melanggar Al-Quran dan As-Sunnah. Khalifah hanya ditunjuk untuk mengkoordinasikan. Para ulama selalu menulis tentang mengapa Abu Bakar? Hal ini pernah dijelaskan bahwa yang pertama kali mencetuskan adalah orang-orang syiah, dan Ali adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti, dan dikalangan Syiah, Abu Bakar, Umar, dan Ustman, dianggap sebagai perampas hak Ali. Abu Bakar dipilih karena hampir tokoh-tokoh masuk Islam karena dakwah Abu Bakar. Abu Bakar adalah orang yang paling banyak menemani Rasulullah, dan beliau pernah bersabda, bahwa Abu Bakar adalah kekasih Rasul jika Allah mengijinkan untuk memiliki kekasih manusia. Penunjukan Abu Bakar sebagai imam shalat dijadikan hujjah oleh ulama sebagai suatu cara Rasulullah untuk menggantikan beliau. Isu lainnya adalah Ali tidak mau berbaiat kepada Abu Bakar. Hal ini harus diperhatikan, dan harus berhati-hati. Ali pada akhirnya tetap berbaiat kepada Abu Bakar.  
-          Pengangkatan Umar bin Khattab
Umar diklaim ditunjuk oleh Abu Bakar tanpa mekanisme Syura. Ada kekhwatiran, bahwa persatuan ummat Islam akan pecah di saat yang genting. Para shahabat sudah memiliki naluri bahwa suatu saat ummat akan pecah. Hal ini menjadi perhatian penting, bahwa ummat harus tetap dalam persatuan, dan tidak boleh membesarkan perbedaan-perbedaan kecil. Abu Bakar dengan melihat kepentingan ummat dan persatuan ummat, maka secara langsung menunjuk Umar, setelah bermusyawarah dengan para shahabat yang memiliki kualifikasi untuk bermusyawarah. Hal ini disebut dalam konsep “ahlul hali wal akdi”. Abu Bakar memanggil Abdurrahman bin Auf, dan menanyakan tentang bagaimana mengenai Umar? Beliau menjawab bahwa Umar adalah laki-laki terbaik yang terlihat. Lalu, memanggil Usman dan menanyakan hal yang sama. Dan beliau menjawab, bahwa Demi Allah sisi dalamnya lebih baik daripada sisi luarnya. Lalu memanggil sahabat yang lain, dan setelah melihat bahwa para sahabat sepakat, maka Abu Bakar mendikte Usman bin Affan, tentang surat wasiat tentang pengangkatan Umar bin Khattab. Jadi pada kepemimpinan Abu Bakar ke Umar bin Khattab, tetap ideal, dan kehidupan yang dilalui keduanya adalah keajaiban-keajaiban. Dan intinya prinsip musyawarah tetap dipakai.
-          Pengangkatan Usman bin Affan
Umar menunjuk 6 sahabat besar, yaitu Abdurrahman, Ali, Usman, Thalhah, Saad, dan … yang dikenal sebagai ahlul hali wal ahdi. Kemudian dilakukan penyelidikan, dan dilakukan muswarah selama 3 hari, dan di Masjid Madinah berakhir dengan pengangkatan Usman bin Affan. Lalu, disampaikan bahwa persatuan kaum muslimin masih bertahan. Seorang sahabat yaitu Usman yang dijamin masuk Syurga, ada fitnah di dalam pemerintahan beliau. Usman masih mengikuti manhaj dua khalifah, dan kesejahteraan terus tersebar di mana-mana, dan akhir pemerintahan ada fitnah, setelah timbulnya fanatisme terhadap kekabilahan. Usman bin Affan terbunuh secara lalim, sebelum menunjuk pengganti beliau. Hikmah yang dapat diambil bahwa Allah ingin menunjukkan adanya cara lain untuk memilih khalifah. Masalah ini nantinya yang akan mempengaruhi pada permasalahan kepemimpinan Ali, dan Muawiyah. Kepemimpina ideal adalah pembaitan yang ikhlas.
-          Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Terpilihnya Ali ketika kaum Muslimin sudah sangat besar, dan tersebar bukan hanya di Jazirah Arab. Saat era di kebijakan Usman, Usman sering mengangkat kerabat keluarga dalam bagian pemerintahan yang lain. Hal ini menyebabkan ketika Ali diangkat, maka ini menjadi alasan penolakan Muawiyah, karena masalah kaum muslimin yang sudah luas, dan hanya kaum madinah yang berbaiat kepada Ali. Pembaiatan Ali hanya dilakukan oleh Irak, Hijaz, kaum pemberontak dan Muawiyah menolak. Kewajiban bagi Ali untuk menyatukan negara. Pada akhirnya ada peperangan antara Ali, dan Muawiyah, dan para Shahabat. Sehingga, ada penganggapan, peristiwa politik “perebutan kekuasaan” sebagai pemicu dalam perpecahan ummat, dan menyebabkan mereka bersikap apolitis. Perpecahan ummat bukan karena keinginan untuk menjadi pemimpin, namun perpecahan ummat setelah Khulafatur Rasyidin, tidak lagi dalam keadaan ideal. Perpecahan yang terjadi bukan karena politik, namun karena kondisi ummat muslim yang tidak lagi ideal untuk menyatukan ummat. Kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah, menyatakan bahwa kepemimpinan Ali merupakan kepemimpinan yang sah, karena telah dibaiat, selain itu Ali merupakan shahabat terbaik yang ada pada kala itu. Ali pada akhirnya terbunuh, dan terjadi saat beliau shalat oleh orang Khawarij. Hal ini dapat ditarik satu garis, kekhalifahan berlangsung secara musyawarah, dibaiat, dan tidak ada nasab keluarga yang menjadi pewaris kekhalifahan.
Inilah periode Khulafatur Rasyidin, yang merupakan kekhalifahan yang sah, dan sesuai dengan Syariat Islam.
-          Pengangkatan Muawiyah
Muawiyah dibaiat oleh penduduk Syam, dan baru dibaiat oleh ummat setelah tahun persatuan. Hasan menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, namun pada akhirnya Hasan meninggal karena diracun oleh istrinya. Hakikat pembaiatan Muawiyah karena adanya keterpaksaan. Pemberian kekuasaan Hasan adalah untuk mempersatukan ummat. Pada detik ini terjadi perpecahan antara idealisme dan realita. Dan pada akhirnya ada penyimpangan menuju arah Monarki atau kerajaan. Sekali lagi Muawiyah adalah sahabat Nabi.
-          Pewarisan Khalifah pada Yazid
Pemahaman ini adalah pewarisan ini disebabkan realitas masyarakat muslim tidak seideal Madinah. Ada kekhawatiran dalam diri Muawiyah, ummat akan berperang lagi. Ahlul Hali wal Akdi, seluruhnya adalah kerabat Muawiyah, dan mau tidak mau, khalifah harus berasal dari Bani Muawiyah. Ide ini tidak berasal dari Muawiyah. Khalifah Al Mughirah, datang pada Khalifah Muawiyah, dan meminta Yazid untuk menjadi khalifah. Muawiyah masih melakukan musywarah untuk melakukan kebijakannya dengan Ziad.    

Penulis : Abrory Agus Cahya Pramana

Kamis, 10 Januari 2013

Perempuan Dalam Parlemen


 Emansipasi perempuan atau kesetaraan gender memang telah menjadi sebuah norma dan prinsip yang secara formal diadopsi sebagai bagian dari proyeksi Indonesia modern (Djoharwinarlien, 2012:35). Termasuk dalam hal ini adalah institusi modern pemerintahan Indonesia, tulisan kali ini akan lebih fokus ke dalam institusi legislatif pemerintahan Indonesia, yaitu Parlemen. Bagaimana kondisi parlemen saat ini yang telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada perempuan untuk merepresentasikan dan mengekspresikan hak politiknya melalui jaminan hukum dalam undang-undang, namun dalam realisasinya masih sangat jauh dari harapan. Adanya fenomena ini menunjukkan indikasi kurang idealnya usaha dalam mencapai amanat undang-undang tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan bagaimana amanat undang-undang tersebut tersendat dalam realisasinya. Tidak hanya pihak-pihak terkait yang mencederai jalan menuju realisasi amanat undang-undang, namun obyek dari undang-undang tersebut juga mengambil peran yang kurang signifikan.

Perihal Perempuan dalam Parlemen
Ada beragam isu yang diperjuangkan oleh perempuan, isu ini berkisar di sekitar masalah-masalah hak-hak politik dan hukum bagi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak reproduksi dan aborsi, kebebasan dan seksual, kesempatan dan diskriminasi kerja, serta partisipasi politik dan representasi politik perempuan (Basu dalam Dewi, 2001:4). Partisipasi dan representasi politik perempuan menjadi penting di dalamnya terkait dengan posisinya yang notabene sebagai warga negara yang memiliki kedudukan di depan hukum, hak sosial dan hak politik yang sama dengan laki-laki. Dalam usahanya mencapai kesetaraan tersebut telah berhasil mendapatkan tempat dan merupakan sebuah langkah maju bagi representasi politik perempuan di Indonesia dengan disahkannya Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik (Djoharwinarlien, 2012:41). Bagaimana dalam kedua undang-undang tersebut perempuan memiliki kuota 30 persen dalam setiap ruang demokrasi. Amanat inilah yang kemudian populer dan familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen” (Ratnawati, 2004:296).



Dilema Perempuan dalam Parlemen
Namun, adanya rekognisi formal terhadap hak politik perempuan serta upaya afirmasi yang dicanangkan oleh UU tersebut, banyak hal yang menjadi alasan mengapa jumlah 30 persen tidak selalu terpenuhi (Djoharwinarlien, 2012:42). Hal ini relatif disebabkan lebih karena dalam proses perekrutannya, dalam proses bagaimana seorang warga negara mampu menjadi bagian dari proses formal perumusan kebijakan sebuah negara, banyak partai politik sebagai wadah “penggodhogan” warga negara menjadi legislator-legislator wakil rakyat menafikan adanya perempuan. Adanya pandangan pragmatis partai bagaimana menempatkan sebanyak-banyak kadernya di dalam parlemen membuat partai hanya melirik figur-figur secara individu yang telah tercitrakan oleh publik. Figur-figur ini kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Pandangan inilah yang kemudian membuat partai menutup mata terhadap perempuan.
Dalam kepengurusan sebuah partai pun, sedikit perempuan yang masuk dalam kepengurusan partai politik. Kalaupun muncul tokoh perempuan dalam sebuah partai, hal itu lebih dikarenakan tokoh tersebut merupakan bagian dari dinasti kepemimpinan sebuah partai. Sehingga dalam proses perekrutan menuju parlemen pun sudah memiliki banyak dilema dimulai dari kepengurusan partai dan perekrutan kader perempuan yang berdampak terhadap posisi dan kuota perempuan di dalam parlemen.
Sementara di dalam parlemen, adanya anggapan bahwa dunia politik di level praksis adalah dunianya Kaum Adam, sistematika aktivitas politik seperti yang berlangsung di partai politik atau parlemen sangat kompleks dan menyita waktu menjadi pertimbangan perempuan dalam keaktifannya menyampaikan pendapat di dalam forum dan rapat parlemen. Dan pertimbangan ini yang kemudian memberatkan dan membuat perempuan urung menyampaikan pendapatnya dikarenakan tidak mau terlibat jauh dalam perdebatannya dengan laki-laki. Dinamika aktivitas politik juga mengharuskan perempuan, seperti politisi lainnya mereka beradu otot untuk mempertahankan argumentasi di dalam forum politik (Djoharwinarlien, 2012:46). Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dilema bagi perempuan dalam parlemen. Mereka dihadapkan oleh kewajiban sebagai wakil rakyat di satu sisi, namun dibenturkan dengan konstruksi masyarakat yang telah terbentuk terhadap penilaian perempuan itu sendiri di sisi lain.
Adanya dilema tersebut membuat perempuan lebih banyak diam karena konstruksi makna terhadap perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat telah mengakar kuat, termasuk konstruksi makna tersebut digunakan untuk menilai perempuan-perempuan legislator di dalam parlemen. Tidak adanya kontekstualisasi pemaknaan terhadap perempuan di sini menjadi akar permasalahan utama yang dihadapi oleh perempuan-perempuan legislator.

Formulasi Solusi bagi Perempuan
Dalam usahanya mencapai impian kesetaraan hak politik dan hak sosialnya, perempuan mengalami banyak dilema baik dari dalam dirinya maupun konstruksi masyarakat yang menghambatnya. Namun, usaha kesetaraan ini dapat dimulai dengan membenahi pemaknaan terhadap perempuan dengan instrumen bahwa wanita adalah warga negara yang notabene memiliki kesempatan yang sama dalam merepresentasi dan mengekspresikan hak-hak politik dan sosialnya.
Usaha ini juga seharusnya didorong dengan peran negara, bagaimana negara ini memberikan dan memastikan ruang dan kondisi yang memungkinkan (enabling) bagi perempuan untuk menunjukkan dan merealisasikan kesetaraan hak politik dan hak sosialnya (Astuti, 2001:18). Karena terlebih sering yang terjadi saat ini adalah bagaimana negara terkesan membisu dan tak acuh terhadap realisasi hak politik perempuan. Sudah seharusnya negara hadir lebih jauh memastikan perempuan mendapatkan akses merealisasikan hak-hak politiknya. Sehingga pada akhirnya kesetaraan hak politik perempuan menjadi agenda bersama, tidak kemudian semata-mata menjadi agenda perempuan yang terdilema dalam “kesendirian” gerakan.
            Dan hal yang paling dekat untuk menjadi agenda bersama dan merealisasikannya adalah bagaimana kuota perempuan 30 persen ini dapat dicapai sebenar-benar adanya. Tidak hanya negara yang terus didorong untuk merealisasikannya, namun juga pihak-pihak terkait yang terpaut kepentingannya seperti partai politik dan masyarakat. Pihak-pihak ini sudah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada proses pencapaian kuota 30 persen ini melalui pembukaan akses terhadap perempuan untuk mendapatkan sumber-sumber kekuatan politik. Sehingga ketika pencapaian ini benar-benar tercapai, akan menciptakan sebuah masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara di berbagai tingkat keberadaannya. Ketika keseimbangan itu terjadi, peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil. Begitu pula ketika jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam pemerintahan secara umum dalam posisi yang equal, maka kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan, demikian pula dengan laki-laki.\ (Ratnawati, 2004:297). Dengan demikian, bukan tidak mungkin dengan posisi seperti itu dapat mendorong perempuan secara mandiri mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi hak-hak sosial dan politiknya yang mempengaruhi pihak-pihak lain untuk menaruh perhatian lebih kepadanya.

Oleh :
Satria Triputra Wisnumurti
Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada 2011



REFERENSI
            Djoharwinarlien, Sri. 2012. Dilema Kesetaraan Gender : Refleksi dan Respons Praksis. Yogyakarta : Center for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM.
Ratnawati. 2004. Potret Kuota Perempuan di Parlemen, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 7, No. 3. Hal. 295-314.
Dewi, Machya Astuti. 2001. Dimensi Politik Gerakan Perempuan : Suatu Survey Kepustakaan, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 5, No. 1. Hal. 1-21.