Senin, 06 Agustus 2012

Ironi Kedelai di Negeri Pewaris Tempe Dunia

M
enjadi hal yang begitu menggelikan, ketika negeri yang kaya akan sumber daya alamnya, dan subur karena deretan Vulcano Mountain mengalami masalah dengan keberadaan sumber daya alam berupa kedelai, yang kini menjadi main headline di beberapa surat kabar nasional. Kedelai merupakan komoditas tanaman yang terdapat di Indonesia, dan secara asli berasal dari Indonesia, meski pada akhir-akhir ini, banyak negara-negara yang mengembangkan kedelai sebagai komoditas perdagangan dunia. Sebut saja, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lainnya. Terkuanya masalah krisi kedelai yang terjadi di negeri ini, akibat kekeringan yang kemudian melanda negeri Paman Sam, dan menyebabkan turunnya impor kedelai dari negara tersebut[1]. Berdasarkan data yang diperoleh dari Harian Kompas (24/7) ekspor kedelai Amerika Serikat ke Indonesia mencapai 1.730 ribu metric ton dari total impor kedelai Indonesia sebesar 1.897 metric ton. Sungguh sebuah ironis, bahwa negara yang besar, dengan tanah subur yang terhampar dari Sabang hingga Merauke, masih melakukan impor dari negara yang notabenanya masih memiliki tingkat kesuburan lahan pertanian lebih rendah dibandingkan Indonesia. Mengutip istilah yang dikenal sebagai syair lagu, Indonesia “ Negeri Kaya dan Subur, Gemah Ripah Loh Jinawe, Batang pun Jadi Pohon”, kini harus melihat ada sebuah ironi tersendiri dalam mengelola sumber daya hayati dan mengelola kedaulatan pangannya sendiri.
            Dalam penelitian, yang dilakukan oleh seorang Guru Besar di Bidang Pangan asal Inggris, Jonathan Agranoff, menjelaskan bahwa kedelai lokal Indonesia, memiliki gizi yang lebih baik, lebih enak, higienis, dan lebih bagus kualitasnya dibandingkan dengan kedelai impor asal Amerika Serikat[2]. Ketika negara lain peduli untuk melakukan riset mengenai kedelai Indonesia, sudah sepatutnyalah perlu dipertanyakan, mengapa pemerintah kemudian seperti menutup mata, dan membiarkan masalah demi masalah tetap terjadi tanpa adanya penyelesaian yang pasti. Sebenarnya, kasus kedelai di Indonesia, pernah muncul pada kisaran tahun 2009. Permasalahan saat itu adalah sedikitnya lahan untuk pertanian kedelai, kemudian disertai dengan sulitnya dalam melakukan penyimpanan benih kedelai. Kembali menjadi ironi adalah, bentang lahan Indonesia yang sangat luas, kembali menjadi suatu masalah yang kemudian menjadi hambatan bagi pengembangan potensi local di Indonesia. Dalam kabar lainnya, Jonathan mengatakan bahwa Indonesia dapat kehilangan identitas sebagai negara dengan kekayaan kedelai, dan selaku pemegang warisan tempe, sebagai panganan tradisional dunia. “Sayang, tempe ini warisan Indonesia, panganan tradisional, jangan sampai orang di Indonesia sulit cari tempe, ini berbahaya”, ujar Jonathan[3]. Hal ini dikarenakan, di negeri sendiri, masyarakat sudah mulai susah dalam mencari panganan tradisionalnya, dan dilain pihak, negara lain mampu memproduksi kedelai dan menjadikannya sebagai tempe, sehingga klaim kepada panganan tradisional ini pun dapat terjadi sewaktu-waktu ketika negeri ini belum siap dalam menjaga warisan dunianya dalam bidang pangan. Kembali lagi, masalah klasik di negeri ini akan terulang, ketika negara lain mengklaim, maka barulah banyak suara-suara di kalangan atas akan bergejolak, dan memberikan aspirasi dan perdebatan untuk kembali mengklaim sebagai harta kekayaan dunia warisan nenek moyang bangsa ini dalam bidang pangan.




            Selayaknya, wacana mengenai kedaulatan pangan, sudah seharusnya dilaksanakan dan dipenuhi. Mendukung setiap usaha para petani, dalam menjalankan roda perekonomian, dan mengembangan tanaman-tanaman lokal, yang memiliki komoditas perdagangan dunia terbesar. Indonesia selaku tuan rumah, dan pewaris tempe serta kedelai sebagai bahan mentah, sepatutnya kembali mengembangan kedelai lokalnya, di sisi lain, pemerintah mendukung usaha pemuliaan, dan standarisasi kedelai loka, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat petani kedelai meningkat, dan Indonesia mampu mengembangkan sendiri varietas kedelai lokal, tanpa harus melakukan impor-impor dari negara lain, seperti Jepang, Amerika Serikat, Malaysia, dan lainnya. Pencanangan kedaulatan pangan, sudah harus mulai dilakukan secara berkesinambungan, melibatkan banyak stake holder-stake holder strategis, seperti misalnya para intelektual, para entrepreneur, para peneliti, para pejabat pemegang kebijakan, dan tentunya para rakyat petani kedelai. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh, dalam melakukan program pemuliaan tanaman kedelai ini, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan stake holder berkepentingan untuk membantu dalam pemberian modal pengembangan kedelai, dan peningkatan kualitas tempe di negeri sendiri. Terakhir, sebagai penutup, mengutip pesan yang diberikan oleh Jonathan Agranoff yaitu ,"Petani kedelai lokal harus diberdayakan, produsen tempe-tahu lokal diberdayakan, tingkatkan teknologinya, patenkan caranya, produknya, untuk apa? agar tempe yang warisan Indonesia ini diakui dunia dan asal tempe hanya di Indonesia bukan di negara lain. Apalagi saat ini saya jujur sedang merindukan tempe yang digoreng dengan bumbu dan aroma bawang putih dan ketumbar, di mana saat ini khususnya di Jakarta sulit didapatkan karena tempe langka,", ujarnya3.   



Penulis :
Abrory Agus Cahya Pramana
Mahasiswa Jurusan Biologi
Universitas Gadjah Mada

 


[1] Kompas. RI Kena Dampak Kekeringan. Jakarta. Selasa, 24 Juli 2012.
[2] Gatra News. Kedelai Lokal Indonesia Lebih Baik dari Kedelai Impor. Sabtu, 28 Juli 2012. Diakses 31 Juli 2012. http://www.gatra.com/ekonomi/46-ekonomi/15654-kedelai-lokal-indonesia.
[3] DetikFinance. Pakar Tempe Inggris: Hati-Hati Tempe Diklaim Malaysia. Sabtu, 28 Juli 2012. Diakses 1 Agustus 2012. http://finance.detik.com/read/2012/07/28/121158/1977243/4/pakar-tempe-inggris-hati-hati-tempe-diklaim-malaysia?991101mainnews.

0 komentar:

Posting Komentar