Rabu, 05 September 2012

Indonesia Itu (Bukan Hanya) Jawa

            Dalam film “Di Ujung Timur Matahari” ada salah satu adegan yang memiliki nilai lebih jika kita perhatikan. Adegan itu lebih mengarah ke dalam dialog yang ia bawa, kurang lebih seperti ini, “dasar kamu yang sudah makan nasi Jawa”. Adegan itu memperlihatkan adanya salah satu anggota keluarga yang berasal dari Papua merantau ke Jawa lalu kemudian kembali ke Papua ketika ibunya meninggal. Perantau itu menyesalkan mengapa ibu mereka tidak dibawa berobat ke Jawa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
            Inilah yang terjadi saat ini, bagaimana Indonesia hanya dipandang sebagai Jawa, atau lebih sering kita sebut sebagai Jawasentris. Parahnya, hal ini kemudian dilihat lebih jauh secara negatif oleh orang-orang yang berada di luar Jawa dengan adanya skeptis terhadap Jawa. Bukan tidak mungkin hal inilah yang akan mengancam Bangsa Indonesia, kekuatan negara ini adalah terletak pada “kemauan” dari begitu banyak suku untuk mengaku menjadi bangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Arrochman Murdiansyah, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di dalam jurnal “Negara Bangsa dan Konflik Etnis : Nasionalisme vs Etno-nasionalisme” mengutip Harold R. Isaacs dalam bukunya Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, “kata “Bangsa” berasal dari bahasa latin “nascl”, yang artinya “dilahirkan”. Para ahli tidak pernah berhasil menyepakati definisi “bangsa”. Pernyataan yang paling sederhana menurut Emerson, bangsa adalah “satu badan yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang merasa mereka itu merupakan suatu bangsa”. Oleh karenanya, diskursus mengenai bangsa lebih sering diarahkan kepada proses terbentuknya suatu bangsa; mempertanyakan mengapa kelompok orang bergabung menjadi bangsa.” Dari definisi ini jelas Bangsa Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam hal merasa menjadi bangsa yang satu.



            Jika ditelisik lebih jauh mengapa negara ini menjadi negara yang Jawasentris-ataupun bisa disebut Jakartasentris, karena provinsi-provinsi yang ada di Jawa pun juga sangat merasakan betapa superiornya Jakarta dan sekitarnya-, akan ada kurang lebih dua faktor besar yang masih terasa pengaruhnya hingga saat ini. Pertama, adanya faktor kemenangan sejarah yang dimiliki oleh Jawa. Bagaimana para penjajahan kolonialisme memusatkan pusat penjajahannya di Pulau Jawa. Hal ini berdampak pada segala wujud pembangunan pusat kekuasaan politis yang disertai dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur menjadi hal yang niscaya dilakukan di Jawa. Sehingga dengan sejarah seperti ini, Jawa memiliki titik pijak pembangunan peradabannya lebih awal dibandingkan dengan pulau-pulau lain di negara ini. Yang kedua adalah adanya faktor politik pencitraan Soeharto yang dilakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. Ketika ditanyakan kepada seorang Indonesia, apakah warna kulit orang Indonesia dan apakah makanan pokok orang Indonesia. Maka secara spontan orang akan menjawab bahwa kulit orang Indonesia adalah sawo matang dan makanan pokok orang Indonesia adalah nasi. Pertanyaannya, apakah benar demikian? Warna kulit orang minang mayoritas berwarna putih kekuningan, sementara Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, mayoritas memiliki kulit gelap. Makanan pokok Indonesia Timur adalah sagu, bukannya nasi-walaupun sebagian Jawa pun masih ada yang makanan pokoknya tiwul. Inilah yang dilakukan Soeharto, mencitrakan bahwa Indonesia itu adalah Jawa-walaupun kita ketahui bahwa ini merupakan salah satu strategi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya menjadi Presiden. Namun dampak ini begitu masif, bagaimana masalah ini menyebabkan paradigma yang begitu besar bagi orang-orang bangsa ini bahwa kulit orang Indonesia itu sawo matang dan makanan pokoknya adalah nasi, padahal sudah sangat jelas kulit sawo matang dan nasi itu sangat identik dengan jawa.
            Dua faktor inilah yang kiranya sampai saat ini masih menyebabkan pengaruh yang luar biasa bagaimana Indonesia itu hanya dilihat sebagai jawa. Sensitivitas terhadap jawa bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain di negara ini, namun di sisi lain jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Dengan pandangan inilah kita akan mencoba mengurai permasalahan ini.

Indonesia Masa Depan
            Pandangan pertama, jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain. Kita jangan terlalu berfokus kepada rasa sinis dan marjinalisasi pulau, namun kita mencoba melihat dan fokus terhadap apa yang terkandung dari pembangunan terpusat. Pembangunan adalah segala proses, cara, perbuatan membangun yang dalam konteks ini adalah pembangunan fisik infrastruktur yang terpusat dilakukan di jawa. Segala pembangunan yang ada tentu membutuhkan ruang potensial yang memiliki banyak kebermanfaatan.
Pandangan kedua, jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Memang secara ekonomi saat ini jawa sangat menjanjikan, namun kita jangan terlalu berfokus terhadap “ladang” dan kehidupan yang lebih baik, akan tetapi seharusnya kita harus lebih berfokus terhadap apa yang seharusnya dan semestinya dilakukan selama perantauan tersebut.
Jika kemudian kita telah mampu mengubah fokus kita terhadap masalah ini, kiranya kita dapat menghasilkan sebuah pandangan baru pula terhadap masalah ini. Pada pandangan pertama seharusnya kita sudah mampu memprediksikan bagaimana nantinya kejumudan pembangunan niscaya akan terjadi di Pulau Jawa karena terbatasnya ruang yang ada di Pulau Jawa. Sayangnya hal ini hanya disadari oleh pengusaha-pengusaha yang mulai berinvestasi di luar jawa. Kejumudan inilah yang seharusnya kita pahami sekarang ini, dan sudah tidak sepantasnya lagi sinisme itu terus dipelihara. Namun yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah bagaimana menyiapkan pulau-pulau di luar jawa sebagai masa depan Indonesia. Demi eksistensi negara dan bangsa ini.
Kemudian pada pandangan kedua, sebagai orang yang merantau sudah seharusnya tidak hanya menerima sebanyak-banyaknya, namun juga memahami berbagai pengetahuan pembangunan yang terjadi di jawa. Sehingga nanti ketika perantau tersebut pulang ke kampung halaman di pulau yang termarjinalkan, ia dapat membangun daerahnya untuk terus berkembang dalam hal infrastruktur maupun ekonomi. Hal inilah yang seharusnya dilakukan, tidak hanya diam menikmati kemapanan yang terjadi di jawa. Karena seperti pada pandangan pertama, kejumudan niscaya akan terjadi di jawa. Sehingga dapat kita katakan saat ini adalah, masa lalu dan masa kini Indonesia adalah Jawa, namun masa depan Indonesia adalah bukan Jawa, melainkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau bahkan Papua.

Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

0 komentar:

Posting Komentar