Sugeng Rawuh...

Official Site PPSDMS Nurul Fikri Angkatan 6 Regional III Yogyakarta

Laskar Nakula dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Bersama Angkatan 5 dalam NLC 2012...

Dalam rangkaian kegiatan National Leadership Camp (NLC) 2012 di Gedung P4TK Bahasa dan Gedung Wisma Makara Universitas Indonesia 12-16 Juli 2012

Jumat, 21 September 2012

Menata Karier Pasca Studi



Yogyakarta, 19 September 2012 - Adalah hal yang wajar kita ingin mempunyai masa depan yang cerah, salah satunya adalah dalam berkarier. Ekspektasi inilah yang secara tidak langsung memberikan ghiroh kita dalam berjuang sebelum pasca kampus. Belajar dengan giat untuk mempersiapkan kesuksesan di masa yang akan datang. Hal ini menjadi penting karena hasil yang luar biasa tidak akan tercapai dengan upaya yang biasa-biasa saja. Perlu adanya pengorbanan keras untuk berproses, menata karier pasca studi dengan sebaik-baiknya. Hal inilah yang dikupas dalam program bulanan Diskusi Pasca Kampus PPSDMS Regional III Yogyakarta. Bertempat di asrama putra regional Yogyakarta, Diskusi Pasca Kampus kali ini menghadirkan Ir. M. Wazis Wildan, M.Sc., Ph.D atau yang akrab disapa Pak Wazis.

Mengawali Diskusi Pasca Kampus kali ini, Pak Wazis menyampaikan kondisi pendidikan semakin berkembang jika dilihat dari perspektif pendidikan dari pengajar yang ada. Kalau dulu guru cukup berpendidikan SPG (sederajat dengan tingkat SMA). Berbeda dengan saat ini, dimana untuk menjadi guru idealnya adalah sudah bergelar sarjana. Belum lagi jika kita bicara untuk menjadi praktisi pendidik di perguruan tinggi yang mewajibkan minimal harus telah menempuh S-2. Inilah sebuah contoh bahwasannya peningkatan kualitas dan mutu sebuah profesi itu selalu berjalan. Implikasinya akan memunculkan iklim kompetitif yang cukup tinggi untuk bisa tetap ambil bagian. Inilah tantangan untuk generasi muda saat ini, siapa yang benar-benar mempersiapkan diri mulai dari saat ini. Merekalah yang akan sukses dalam berkarier di masa mendatang.

Belum lagi jika kita bicara era globalisasi, tentu persaingan dalam berkarier akan menjadi lebih ketat lagi. Hal ini karena kita harus berhadapan dengan “kompetitor-kompetitor” kita dari berbagai negara yang tentunya mungkin jauh lebih berkualitas dibandingkan kita. Agar kita tidak kalah kita harus mempersiapkan sematang mungkin sebelum kita memasuki dunia pasca kampus, yakni dengan menjadi mahasiswa yang utuh. Konsepsi mahasiswa yang utuh tergambarkan dalam bagan dibawah ini :







Berikut adalah rumusan untuk bisa menjadi mahasiswa yang bisa dibilang utuh. Menjadi mahasiswa yang bisa mengelola, berkontribusi, dan peduli. Mengelola pribadi untuk membentuk karakter yang utuh. Berkontribusi dan peduli terhadap lingkupnya, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga peduli terhadap nasib bangsa. Dalam pencapaian itu perlu adanya kemauan dan niatan yang kuat, kemampuan atau kompetensi, dan yang tidak kalah penting adalah semua itu dilandasi dengan niatan yang ikhlas. Dengan begitu mahasiswa akan memasuki dunia pasca kampusnya sebagai solusi bagi bangsa ini, bukan justru sebagai beban bagi bangsa ini. Kalau bicara dalam hal karier, mahasiswa setelah lulus bukan lagi sebagai jobseeker namun sebagai jobmaker. [Phisca AR]


Menyelami Jurnalistik Bersama Bang Wisnu, Peraih Pena Emas 2010

Kamis, 20 September 2012 – PPSDMS Nurul Fikri Regional Yogyakarta Putra kembali menggelar program bulanan Sharing Alumni. Adalah Wisnu Prasetya Utomo atau yang lebih akrab dengan sebutan bang Wisnu, alumni PPSDMS angkatan 4 yang berkenan hadir untuk bisa saling berkisah dengan peserta PPSDMS Regional Yogyakarta Putra angakatan IV. Sosok yang dekat dengan dunia jurnalistik ini tahun 2010 lalu berhasil mempersembahkan Pena Emas PPSDMS 2010 untuk regional Yogyakarta. Mahasiswa Komunikasi UGM ini pernah menjadi orang nomor satu di BPPM Balairung UGM tahun 2010 silam.


Bang Wisnu membuka sharing kali ini dengan bercerita mengenai awal masuknya di PPSDMS. Kondisi yang ada ternyata geliat menulis di kalangan warga asrama masih dirasa minim.  Hal yang menarik adalah beliau sering meminjam laptop teman-teman asrama untuk bisa menulis, karena waktu itu beliau belum memiliki laptop. Meskipun Bang Wisnu baru bisa pinjam laptop teman-temannya disaat mereka tidur, beliau tetap semangat menulis, menulis, dan menulis. Hal ini karena Bang Wisnu menganggap bahwa menulis itu adalah aktivitas pengabdian ide-ide dan pemikiran yang kita miliki.

Kekhawatiran yang dicurahkan Bang Wisnu saat ini adalah disaat budaya menulis itu belum greget dikalangan kita. Kondisi ini diperparah dengan yang meluas saat ini justru tulisan-tulisan yang berbau kegalauan, cinta, dan hal-hal yang terkesan “dangkal”. Sehingga hal ini menjadikan sebuah kekhawatiran bagi generasi kita berikutnya yang hanya memiliki referensi  tulisan-tulisan yang terkesan dangkal tersebut. Berangkat dari sini Bang Wisnu mengajak peserta PPSDMS untuk lebih giat menulis dan mencurahkan ide dan gagasannya di berbagai media. Varian media saat ini yang cukup beragam akan sangat eman-eman jika kita tidak bisa memanfaatkannya sebagai media publikasi tulisan-tulisan kita.

Antusiasme teman-teman dalam sharing alumni kali ini cukup tinggi dengan banyaknya pertanyaan-pertannyaan yang dilayangkan hingga tidak terasa waktu telah menunjukkan jam 22.00 lebih.“ Semoga diskusi kali ini bisa memantik teman-teman untuk bisa lebih giat menulis, menulis apapun itu “ Pungkas Bang Wisnu. [Phisca AR]

Minggu, 16 September 2012

Pahami Epistemologi Islam, PPSDMS Jogja Gelar Diskusi

Jumat, 14 September 2012 – PPSDMS Regional Yogyakarta Putra menggelar Diskusi Epistemologi Islam. Diskusi kali ini menghadirkan Ketua Jamaah Shalahuddin UGM periode 1425 H, Bang Miftahul Huda. Bertempat di ruang utama asrama putra, hampir semua peserta PPSDMS hadir dan turut berpartisipasi. Dengan dimoderatori oleh supervisor asrama, mas Aqil diskusi dimulai sekitar pukul 20.15 tepat.
Mengawali pembicaraan, Bang Miftah membuka sebuah pengantar tentang kondisi masyarakat saat ini yang seolah terkesan tanpa kelas, adanya tawaran-tawaran ideologi yang belum tentu kesemuannya itu baik. Dalam kondisi inilah perlunya memahami lebih mendalam epistemologi Islam adalah sebuah hal yang urgensi. Hal ini tak lain adalah untuk kita menjaga ideologi dan karakter Islam yang melekat dalam diri kita. Beliau menyampaikan bahwa ideologi adalah sebuah rumusan menyeluruh tentang apa yang akan dicapai, termasuk apa yang haris dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Secara esensi, ideologi adalah suatu hal yang menawarkan pada pengikutnya menuju keselamatan.
Bang Miftah juga menyampaikan bahwa belajar epistemologi adalah belajar mengkritisi kearifan teoritis ke arah akar-akarnya. Epistemologi melahirkan sebuah paradigma yang nantinya paradigma akan menghasilkan sebuah ideologi. Jika dirunut secara bahasa, epistemologi berasal dari 2 kata. Espisteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran dan ilmu. Sehingga dapat diambil sebuah definisi epistemologi adalah ilmu yang mempelajari teori tentang ilmu. Epistemologi sebagai tangga untuk mencari kebenaran mempunyai ruang lingkup diantarannya : apa yang bisa diketahui? Alat yang bisa digunakan untuk mencari, dan apa metode yang digunakan?
Diakhir diskusi Bang Miftah menyampaikan cara mengetahui kebenaran menurut Ibnu Taimiyah. Ada beberapa cara diantarannya adalah dengan melihat sendiri, dengan melihat yang mirip, dan dengan mengetahui dari kabar orang yang kita percayai. Diskusi epistemologi Islam insya Allah menjadi kegiatan rutin bulanan bagi peserta PPSDMS Regional III Putra Yogyakarta. [Phisca AR]

Kamis, 13 September 2012

Nasionalisme dan Islam


Perayaan hari jadi Republik Indonesia tahun ini terasa begitu istimewa bagi kaum muslimin. Betapa tidak selain terjadi di bulan suci ramadhan, peringatan momen bersejarah ini juga tepat jatuh pada hari Jumat (17/08/2012), hari yang paling mulia bagi ummat Islam, lebih spesial lagi proklamasi yang dibacakan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta juga dilakukan pada hari jumat (17/08/1945). Momen ini menjadi sangat bermakna bagi ummat Islam Indonesia, bukan saja pada aspek seremonial kesejarahannya saja, namun lebih penting menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan kembali relasi agama (Islam) dan rasa kebangsaan (nasionalisme) kita, yang hari hari ini terasa begitu pelik di tengah bangkitnya gelombang fundamentalisme dan sekulerisme agama di negeri ini.





Konstruksi relasi Islam dan nasionalisme seringkali ditentukan oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa. Pada zaman Orde Lama, misalnya kekuatan sosial-politik ummat Islam diidentikkan dengan label ‘gerakan separatis’, peristiwa PRRI-Permesta di Sumatera Barat dan pendirian DI-TII di sejumlah daerah dijadikan legitimasi historis guna mendukung label itu. Akibatnya Islam dipandang sebagai ancaman bagi republik yang baru berdiri. Rezim Orde Lama tumbang rezim Orde Baru berkembang, namun label Islam sebagai ‘ancaman politik’ tidak juga sirna. Beragam kebijakan pemerintahan Soeharto menjadi bukti bahwa rezim yang di nahkodai Soeharto menjadikan Islam sebagai salah satu musuh terbesarnya, digagalkannya rehabilitasi Masyumi, fusi ‘paksa’ parpol parpol Islam, pelarangan jilbab di instansi publik, pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila bagi seluruh ormas dan orpol, hingga puncaknya digulirkannya rancangan UU Perkawinan yang membolehkan nikah beda agama menjadi catatan kelam negara untuk meminggirkan Islam dari pentas kebangsaan. Meskipun Soeharto akhirnya banyak mengakomodasi tuntutan tuntutan ummat Islam di tahun 1990an, namun kebijakan ini lebih bernuansa ‘politik akomodatif’ rezim guna melanggengkan kekuasaannya, bukan murni untuk meletakkan Islam dalam bingkai kenegaraan. 



Catatan sejarah di atas akhirnya ‘berhasil’ menghapus Islam dari memori kolektif perjuangan kebangsaan. Justru kemudian citra Islam identik dengan anti-Pancasila, gerakan separatis, sektarian, fundamentalis-radikal, singkatnya Islam dipandang tidak compatible dengan nasionalisme. Tesis ini begitu lemah secara substansi dan alpa dalam melihat rekam jejak perjuangan ummat Islam di republik ini. Padahal Islam menurut penulis adalah kekuatan revolusioner yang sangat nasionalis, berikut bukti bukti nya. Pertama, dalam doktrin Islam yang ditegaskan di banyak ayat Al Quran terdapat ajaran Jihad Fii Sabilillah. Jihad bermakna sebagai upaya pembelaan (defensif) terhadap musuh yang telah menyerang terlebih dulu, Jihad wajib dilakukan oleh kaum muslimin jika musuh mengusir (menindas) penduduk negeri kaum muslimin. Jihad bukanlah serangan ekspansif yang penuh kekerasan untuk menyebarkan agama sebagaimana ditudukan para orientalis. Seperti termaktub dalam kitab suci Al Quran, sumber primer ummat Islam "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah (Al Baqarah 217). Disini kita melihat bahwa Islam memandang praktik kolonialisme sebagai sebuah kemunkaran terhadap Tuhan, oleh karenanya harus dilawan dengan kekuatan yang sepadna. Dalam konteks ajaran inilah umat Islam Indonesia menjadi garda terdepan dalam perjuangan membela republik di masa masa revolusi. Peristiwa 10 November adalah salah satu buktinya, saat itu arek arek Surabaya bertempur habis habisan melawan tentara sekutu Inggris setelah ‘dibakar’ semangatnya dengan lafadz Takbir oleh Bung Tomo, bahkan PBNU atas inisiatif Kiai Hasyim Asyari dan ulama ulama NU lainnya mengeluarkan fatwa ‘jihad fii sabilillah’ melawan tentara Inggris bagi warga Surabaya dan sekitarnya, heroisme ini menjadi monumen sejarah api Islam yang pernah menyala nyala dalam membela republik.
Kedua, Islam sebagai agama par exelent (paripurna) telah membawa pesan pesan universal dalam setiap aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam ranah hubungan sesama manusia (hablumminannas), baik itu ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Salah satu ajaran Islam tentang ranah politik kebangsaan adalah ajaran untuk membela tanah air (bangsa/negara) kaum muslimin. Hikmah Islam Hubbul Wathan Minal Iman (Cinta tanah air bagian dari iman) merefleksikan betapa besar komitmen Islam terhadap perjuangan kebangsaan, dalam Islam negara adalah alat perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan ummat.
Ketiga, Islam adalah agama perdamaian dan persaudaraan. Menurut cendekiawan muslim kenamaan, Nurcholish Madjid, salah satu doktrin Islam yang paling pokok adalah prinsip persaudaraan (brotherhood) dan persamaan (egliterianisme). Islam sangat menekankan pentingnya persaudaraan dan solidaritas sosial, konsepsi Islam itu diterjemahkan dengan ajaran Ukhuwwah (persaudaraan). Para ulama kemudian membagi ukhuwwah menjadi tiga ragam, yakni ukhuwwah Islamiyah (Persaudaraan Islam), Ukhuwwah Wathaniyah (Persaudaraan Kebangsaan) dan Ukhuwah Insaniyyah (Persaudaraan kemanusiaan). Konsepsi Ukhuwah Wathaniyah mengajarkan umat Islam agar memiliki semangat kebangsaan yang kuat nan kokoh, nasionalisme Islam dibangun atas spirit persaudaraan dan persatuan dengan meletakkan cita transedensi kepada Allah SWT di altar tertinggi.
Tiga argumentasi di atas menunjukan bahwa sejatinya di dalam ajaran Islam terdapat semangat nasionalisme yang berapi api. Kandungan ajaran Islam ini telah terbukti mampu menjadi energi luar biasa bagi perjuangan kebangsaan Indonesia, Islam adalah agama sekaligus spirit kebangsaan Indonesia. Menatap ke depan relasi Islam dan nasionalisme semestinya mengembangkan suatu pola hubungan yang lebih mutualistik, sehingga semakin kontributif bagi agenda agenda kebangsaan yang strategis, bukan lagi dilihat sebagai ‘ancaman’ maupun ‘gincu politik’ belaka.
Oleh
Kader Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Tengah

Reforma Agraria, Strategi Meraih Mimpi Kedaulatan Pangan di Indonesia*

Setelah setengah abad lebih Indonesia merdeka, permasalahan kedaulatan pangan tak kunjung menemui kepastian arah realisasinya. Sebagai negara agraris dengan tingginya tingkat kesuburan tanah, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah sebuah utopia belaka. Namun demikian, apapun solusi yang ditawarkan akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi upaya mengurai akar masalah kedaulatan pangan di Indonesia. Kalaulah para ahli pertanian dan para pengambil kebijakan di negeri ini menawarkan kebijakan yang solutif maka perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks persoalan yang ada. Hal ini menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan tidak asal ‘comot’ dari pengalaman negara lain tanpa kejelasan konteks permasalahan.



Merunut akar persoalan kedaulatan pangan
“Siapa menguasai tanah, maka ia menguasai makanan” (Tauchid, 1952). Kalimat singkat tersebut semakin menemui relevansinya dalam konteks upaya merealisasikan mimpi kedaulatan pangan di Indonesia. Dengan demikian, akar persoalan kedaulatan pangan sangat lekat kaitannya dengan dinamika keagrariaan. Paling tidak ada dua aspek utama dalam memahami dinamika politik agraria. Pertama, aspek kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia yang timpang. Kondisi riil tata guna dan kepemilikan tanah yang timpang menjadi persoalan yang mesti diselesaikan dengan kejelasan visi dan komitmen melaksanakan amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria). Sulit kiranya meraih kedaulatan pangan di tengah kondisi kepemilikan dan penguasaan lahan yang timpang. Data Sensus Pertanian tahun 2003 meyakinkan kita akan asumsi tersebut. Jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar) di Indonesia adalah 13.663.000 petani, sementara petani pengguna lahan sebanyak 24.176.000 petani (Berita Resmi BPS, 2004). Ditambah lagi fakta bahwa selama kurun waktu 1993-2003, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat sebanyak 3.663.000 jiwa. Petani gurem dan guremisasi petani masih menjadi momok yang mengharuskan kita berpikir ulang: seberapa jauh kita konsisten dengan agenda ketahanan dan kedaulatan pangan.
Aspek kedua dalam memahami persoalan keagrariaan dan kedaulatan pangan di Indonesia adalah tingginya laju konversi (alih fungsi) lahan pertanian. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan dalam kurun waktu 2004-2009, alih fungsi lahan pertanian di Indonesia mencapai 15.999,60 ha atau rata-rata seluas 3.199,92 ha per tahun, luasan 6000 ha di antaranya dikonversi untuk industri dan perumahan (Gatra, 2012). Realitas tersebut mengharuskan kita untuk meyakini bahwa petani juga dihadapkan pada permasalahan penggunaan dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan prinsip reforma agraria.
Tawaran strategi meraih mimpi kedaulatan pangan
Kedaulatan pangan bukan semata-mata soal kemandirian produktivitas pangan, namun juga keadilan akses masyarakat atas pangan dan sumber daya pangan produktif. Berkaca dari realitas akar persoalan sulitnya merealisasikan agenda kedaulatan pangan di atas, langkah strategis yang dapat diajukan tidak lain adalah melaksanakan agenda reforma agraria yang sempat terhenti pasca 1965. Kandasnya program reforma agraria di masa lalu semestinya tidak menjadi dalih untuk menjustifikasi irrelevansi kebijakan ini dalam konteks kekinian. Namun demikian, pembacaan atas kesalahan-kesalahan historis menjadi perlu dilakukan agar kita tidak terjerembab pada kegagalan reforma agraria pada dekade 1960-an. Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria, ada dua langkah strategis yang mesti dilaksanakan secara beriringan satu sama lain. Langkah pertama adalah redistribusi lahan dibarengi keadilan akses sumber daya produktif (pupuk, benih, teknologi tepat guna). Sementara itu, langkah kedua yang harus ditindaklanjuti adalah menekan laju konversi lahan melalui kebijakan lahan abadi pertanian.
Redistribusi lahan plus keadilan akses sumber daya produktif
Titik tekan dalam agenda reforma agraria pada dasarnya adalah redistribusi penguasaan dan kepemilikan lahan untuk menata ulang struktur agraria. Dalam proses ini, negara menempati sentralitas dan signifikansi perannya untuk memastikan proses redistribusi berjalan sebagaimana mestinya. Di sinilah perlunya komitmen dan keseriusan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUPA yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam konteks Indonesia saat ini, struktur penguasaan lahan pangan didominasi oleh korporasi-korporasi raksasa. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan perlawanan petani yang mengusung agenda land reform.
Ancaman nyata neoliberalisme di bidang pangan tidak hanya termanifestasi dalam relasi perdagangan internasional, namun juga nampak dari campur tangan pasar yang terlalu jauh dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Dengan demikian, kita tidak perlu terperangah manakala lembaga donor internasional semacam IMF berbicara soal reforma agraria yang berbeda sama sekali dengan ekspektasi gerakan petani. Market led-agrarian reform muncul sebagai alternatif kebijakan yang ditawarkan lembaga donor untuk memastikan pasar tanah terhindar dari distorsi yang ujung-ujungnya memperluas penetrasi pasar dalam proses produksi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, langkah konkrit yang dapat kita lakukan adalah mendorong pelaksanaan redistribusi tanah oleh negara untuk menata ulang struktur kepemilikan dan penguasaan lahan. Gerakan petani yang efektif dan mampu memperluas basis di akar rumput serta akses terhadap pemangku kebijakan tentunya akan mampu merealisasikan hal tersebut.
Namun demikian, upaya redistribusi lahan juga mesti dibarengi dengan upaya memperluas akses petani atas sumber daya produktif, seperti pupuk, benih, dan teknologi tepat guna. Perluasan akses tersebut bukan semata-mata penyediaan pupuk bersubsidi dan bantuan benih, namun juga menyangkut upaya mengembalikan kearifan lokal yang sempat tergerus oleh program Revolusi Hijau di era Orde Baru. Sebelum program Revolusi Hijau dicanangkan, petani kita terbiasa menggunakan bibit unggul terbaik yang dikembangkan sendiri dan pupuk organik yang ramah lingkungan. Dalam konteks yang hampir sama, tentu saja kita dapat meniru gerakan kedaulatan pangan di Andhra Pradesh India yang mampu mengembangkan sistem agroekologi berbasis kearifan lokal yang mampu menopang kedaulatan pangan lokal. Membebaskan akses petani atas pupuk dan benih dapat dijalankan dengan upaya menghidupkan kembali kearifan lokal sekaligus memutus ketergantungan terhadap pupuk dan benih produk korporasi.
Menekan laju konversi lahan
Mimpi meraih kedaulatan pangan juga harus dilakukan dengan jalan menekan laju konversi lahan yang semakin masif. Selain struktur agraria yang timpang, petani juga dihadapkan pada kian masifnya alih fungsi lahan pertanian yang semakin menambah kompleksitas persoalan kedaulatan pangan. Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan terobosan kebijakan lahan abadi pertanian melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLPPB). Melalui regulasi tersebut, pemerintah menetapkan luasan tanah yang tidak diperbolehkan untuk dialihfungsikan dengan memberikan mekanisme insentif bagi para petani. Bantuan pupuk dan benih serta pembebasan pajak diberikan kepada para petani pengolah lahan abadi selama jangka waktu kontrak tertentu.
Namun demikian, optimalisasi kebijakan ini masih perlu dilakukan seiring dengan derasnya laju konversi lahan untuk industri dan perumahan. Pemerintah juga mesti memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakat rumah tangga petani. Dalam konteks petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, sistem waris menjadi salah satu kendala yang mendorong laju konversi lahan. Sejak dahulu, sistem waris dipercaya menjadi mekanisme yang semakin mempersempit penguasaan lahan oleh petani. Selain itu, desakan modernisasi memaksa petani menyesuaikan kondisi hidupnya dengan realitas semu yang dianggap modern. Tak ayal, banyak petani kita yang menjual lahannya untuk membeli kebutuhan konsumsi demi memastikan dirinya menjadi bagian dari modernitas tersebut.
Namun demikian, ancaman yang paling serius datang dari ekspansi kapital melalui perusahaan perkebunan dan industri. Tanpa perlu bersusah payah, kita dapat melihat realitas dominasi modal asing dari sektor perkebunan kelapa sawit yang jumlahnya saat ini melampaui 75% (9,2 juta hektar) dengan hanya 3,6 juta hektar yang tersisa dan dikelola oleh 2,5 juta petani sawit dalam negeri (Sawit Watch, 2011). Oleh karena itu, upaya menekan laju konversi lahan tidak hanya semata-mata dilakukan dengan penyediaan bantuan produksi, namun juga harus memastikan sisi peluang alih fungsi lahan seminimal mungkin dengan melihat aspek sosio-kultural dan dominasi korporasi. \
Simpul wacana
Kedaulatan pangan bukan semata-mata persoalan ketersediaan dan kemandirian produktivitas pangan. Realisasi mimpi kedaulatan pangan juga mensyaratmutlakkan keadilan akses masyarakat terhadap produksi pangan nasional. Menjauhkan petani dari lahannya sama saja semakin menjauhkan harapan kedaulatan pangan menjadi kenyataan. Dengan demikian, upaya merealisasikan kedaulatan pangan di Indonesia mesti dilakukan dengan misi reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria dan akses petani atas tanahnya. Implikasi lanjutannya, kedaulatan pangan tercapai dengan kemandirian produksi pangan nasional dan keadilan akses masyarakat terhadap kebutuhan pangan. Redistribusi lahan yang disertai akses petani terhadap sumber daya produktif dan upaya menekan laju konversi lahan dengan sendirinya akan mampu merealisasikan mimpi besar kedaulatan pangan di Indonesia.

*Juara 1 Lomba Esai SSSG 2012
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada

Rabu, 05 September 2012

Sebuah Puisi

ketika kita harus melihat langsung kota jogja
dibawah temeram lampu jingga bersinar
ketika angin malam telah sirna
dinaungi langit biru dengan cahaya bulan
menyatukan hati kami dalam nuansa kekeluargaan


ketika daun-daun mulai tak bergerak
ketika batang tak lagi melambai
ketika hati tak sempat berkata lagi
seketika jiwa-jiwa terenggut dalam sunyi

siraman rohani mengisi hati
berharap didengar samping-samping kami
menjadikan insan-insan malam lebih berarti
atas kesadaran diri mereka sendiri

senandung syair menyelubungi relung-relung hati kami
mengikat kami dalam kesatuan islami
dalam senyap renungan hati

sesekali, terdengar suara kereta menyisip dalam sunyi
sesekali, sorotan cahaya lampu menyilaukan mata kami
tetapi itu bukan tanda untuk berhenti

silih berganti musisi jalanan menghampiri
menyanyikan lagu-lagu permintaan kami
menambah nikmatnya malam ini
menggugah hati merenungi alam ini

kami bukanlah pahlawan
kami bukan orang yang selalu benar
kami tidaklah lepas dari kesalahan
indahnya maaf dibenak kalian dengan penuh kelapangan :D

(minal aidzin wal faidzin
mohon maaf lahir dan batin)

#KIP malam ini benar2 mengandung banyak pelajaran..
melihat langsung jogja yang sebenarnya
kopi joss stasiun tugu 27 agust 2012
 
Mahasiswa Jurusan Peternakan 
Universitas Gadjah Mada 

Indonesia Itu (Bukan Hanya) Jawa

            Dalam film “Di Ujung Timur Matahari” ada salah satu adegan yang memiliki nilai lebih jika kita perhatikan. Adegan itu lebih mengarah ke dalam dialog yang ia bawa, kurang lebih seperti ini, “dasar kamu yang sudah makan nasi Jawa”. Adegan itu memperlihatkan adanya salah satu anggota keluarga yang berasal dari Papua merantau ke Jawa lalu kemudian kembali ke Papua ketika ibunya meninggal. Perantau itu menyesalkan mengapa ibu mereka tidak dibawa berobat ke Jawa untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik.
            Inilah yang terjadi saat ini, bagaimana Indonesia hanya dipandang sebagai Jawa, atau lebih sering kita sebut sebagai Jawasentris. Parahnya, hal ini kemudian dilihat lebih jauh secara negatif oleh orang-orang yang berada di luar Jawa dengan adanya skeptis terhadap Jawa. Bukan tidak mungkin hal inilah yang akan mengancam Bangsa Indonesia, kekuatan negara ini adalah terletak pada “kemauan” dari begitu banyak suku untuk mengaku menjadi bangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Arrochman Murdiansyah, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di dalam jurnal “Negara Bangsa dan Konflik Etnis : Nasionalisme vs Etno-nasionalisme” mengutip Harold R. Isaacs dalam bukunya Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, “kata “Bangsa” berasal dari bahasa latin “nascl”, yang artinya “dilahirkan”. Para ahli tidak pernah berhasil menyepakati definisi “bangsa”. Pernyataan yang paling sederhana menurut Emerson, bangsa adalah “satu badan yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang merasa mereka itu merupakan suatu bangsa”. Oleh karenanya, diskursus mengenai bangsa lebih sering diarahkan kepada proses terbentuknya suatu bangsa; mempertanyakan mengapa kelompok orang bergabung menjadi bangsa.” Dari definisi ini jelas Bangsa Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar dalam hal merasa menjadi bangsa yang satu.



            Jika ditelisik lebih jauh mengapa negara ini menjadi negara yang Jawasentris-ataupun bisa disebut Jakartasentris, karena provinsi-provinsi yang ada di Jawa pun juga sangat merasakan betapa superiornya Jakarta dan sekitarnya-, akan ada kurang lebih dua faktor besar yang masih terasa pengaruhnya hingga saat ini. Pertama, adanya faktor kemenangan sejarah yang dimiliki oleh Jawa. Bagaimana para penjajahan kolonialisme memusatkan pusat penjajahannya di Pulau Jawa. Hal ini berdampak pada segala wujud pembangunan pusat kekuasaan politis yang disertai dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur menjadi hal yang niscaya dilakukan di Jawa. Sehingga dengan sejarah seperti ini, Jawa memiliki titik pijak pembangunan peradabannya lebih awal dibandingkan dengan pulau-pulau lain di negara ini. Yang kedua adalah adanya faktor politik pencitraan Soeharto yang dilakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. Ketika ditanyakan kepada seorang Indonesia, apakah warna kulit orang Indonesia dan apakah makanan pokok orang Indonesia. Maka secara spontan orang akan menjawab bahwa kulit orang Indonesia adalah sawo matang dan makanan pokok orang Indonesia adalah nasi. Pertanyaannya, apakah benar demikian? Warna kulit orang minang mayoritas berwarna putih kekuningan, sementara Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, mayoritas memiliki kulit gelap. Makanan pokok Indonesia Timur adalah sagu, bukannya nasi-walaupun sebagian Jawa pun masih ada yang makanan pokoknya tiwul. Inilah yang dilakukan Soeharto, mencitrakan bahwa Indonesia itu adalah Jawa-walaupun kita ketahui bahwa ini merupakan salah satu strategi Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya menjadi Presiden. Namun dampak ini begitu masif, bagaimana masalah ini menyebabkan paradigma yang begitu besar bagi orang-orang bangsa ini bahwa kulit orang Indonesia itu sawo matang dan makanan pokoknya adalah nasi, padahal sudah sangat jelas kulit sawo matang dan nasi itu sangat identik dengan jawa.
            Dua faktor inilah yang kiranya sampai saat ini masih menyebabkan pengaruh yang luar biasa bagaimana Indonesia itu hanya dilihat sebagai jawa. Sensitivitas terhadap jawa bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain di negara ini, namun di sisi lain jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Dengan pandangan inilah kita akan mencoba mengurai permasalahan ini.

Indonesia Masa Depan
            Pandangan pertama, jawa dilihat dengan penuh rasa sinis karena segala pembangunan berpusat di jawa dan menyebabkan marjinalisasi pulau-pulau lain. Kita jangan terlalu berfokus kepada rasa sinis dan marjinalisasi pulau, namun kita mencoba melihat dan fokus terhadap apa yang terkandung dari pembangunan terpusat. Pembangunan adalah segala proses, cara, perbuatan membangun yang dalam konteks ini adalah pembangunan fisik infrastruktur yang terpusat dilakukan di jawa. Segala pembangunan yang ada tentu membutuhkan ruang potensial yang memiliki banyak kebermanfaatan.
Pandangan kedua, jawa dilihat sebagai ladang perantauan yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Memang secara ekonomi saat ini jawa sangat menjanjikan, namun kita jangan terlalu berfokus terhadap “ladang” dan kehidupan yang lebih baik, akan tetapi seharusnya kita harus lebih berfokus terhadap apa yang seharusnya dan semestinya dilakukan selama perantauan tersebut.
Jika kemudian kita telah mampu mengubah fokus kita terhadap masalah ini, kiranya kita dapat menghasilkan sebuah pandangan baru pula terhadap masalah ini. Pada pandangan pertama seharusnya kita sudah mampu memprediksikan bagaimana nantinya kejumudan pembangunan niscaya akan terjadi di Pulau Jawa karena terbatasnya ruang yang ada di Pulau Jawa. Sayangnya hal ini hanya disadari oleh pengusaha-pengusaha yang mulai berinvestasi di luar jawa. Kejumudan inilah yang seharusnya kita pahami sekarang ini, dan sudah tidak sepantasnya lagi sinisme itu terus dipelihara. Namun yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah bagaimana menyiapkan pulau-pulau di luar jawa sebagai masa depan Indonesia. Demi eksistensi negara dan bangsa ini.
Kemudian pada pandangan kedua, sebagai orang yang merantau sudah seharusnya tidak hanya menerima sebanyak-banyaknya, namun juga memahami berbagai pengetahuan pembangunan yang terjadi di jawa. Sehingga nanti ketika perantau tersebut pulang ke kampung halaman di pulau yang termarjinalkan, ia dapat membangun daerahnya untuk terus berkembang dalam hal infrastruktur maupun ekonomi. Hal inilah yang seharusnya dilakukan, tidak hanya diam menikmati kemapanan yang terjadi di jawa. Karena seperti pada pandangan pertama, kejumudan niscaya akan terjadi di jawa. Sehingga dapat kita katakan saat ini adalah, masa lalu dan masa kini Indonesia adalah Jawa, namun masa depan Indonesia adalah bukan Jawa, melainkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau bahkan Papua.

Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada