Senin, 27 Agustus 2012

Madura, dan Kiasan “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata”



  Madura pulau kecil kecil yang terletak di sudut timur Pulau Jawa, yang terkenal dengan produksi garam, penghasil tembakau, penghasil jagung, dan kebudayaan Kerapan Sapi yang setiap tahun menjadi ajang tontonan masyarakat Madura, wisatawan domestik, ataupun wisatawan Mancanegara. Tidak ada yang begitu spesial dengan pulau kecil itu. Tanah kering, panas, semilir angin laut, dan hembusan angin kering yang membawa rasa haus pada setiap orang yang pertama kali berkunjung. Namun itulah Madura, masyarakat yang lahir, tinggal, dan besar di sana, memahami sebuah karakteristik, dan menjadi orang-orang yang kemudian mencintai tanah kelahirannya, tanpa ada rasa chauvinisme berlebihan. Orang Madura saat ini tidak hanya dikenal sebagai orang-orang yang begitu tekun, ulet, dan mau bekerja keras, namun ada stereotype tersendiri mengenai pencitraan karakteristiknya, yaitu orang yang keras, dan memiliki budaya Carok. Ya, watak itu kini seolah tersematkan, setelah beberapa kali tragedi di Pulau Garam itu, kemudian mencuat pada ranah publik, hingga bahkan Nasional. Masih teringat, Carok Masal di Pulau Madura, yang kemudian menjadi pemberitaan berbagai media pada tahun 2010, baik media lokal maupun media Nasional, yang sempat terjadi di Kabupaten Pamekasan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian masyarakat mengenal Masyarakat Madura, sebagai Masyarakat Carok. Kini, Madura, kembali menjadi sorotan ranah publik nasional, bahkan hingga menjadi perhatian yang datang dari Presiden Republik Indonesia, dikarenakan tragedi kekerasan di Kabupaten Sampang. Tragedi kekerasan yang terjadi karena dipicu dengan salah satu alasan yaitu isu keagamaan mengenai perbedaan penganut Syiah dan Sunni. Ditinjau dari segi keagamaan, Masyarakat Madura, pada umumnya adalah masyakarakat Mayoritas Islam yang sangat kuat, bahkan sampai-sampai muncul pernyataan bahwa Madura merupakan Serambi Madinah. Namun kemudian muncul pertanyaan besar, jika memang Madura sebagai Serambi Madinah, sepatutnyalah menjadi contoh akan rasa menghargai dalam keberagaman, dan perbedaan yang kemudian seharusnya mencegah terjadinya kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sampang. Sebagai pulau kecil yang tergabung dalam Propinsi Jawa Timur, di mana banyak masyarakat menjadikan para alim ulama atau kyai sebagai panutan dan suri tauladan, seharusnyalah ada rasa keterbukaan, dan rasa untuk saling menghargai dalam perbedaan tanpa harus menjadikan suatu perbedaan dalam kaum mayoritas sebagai bagian dari masyarakat yang harus dimusnahkan. Sebagai bagian dari Masyarakat Madura, pribadi penulis merasakan ada yang salah dengan paradigma masyarakat yang seharusnya saat ini masyarakat Madura, dengan segala fasilitas pembangunan menuju Madura yang lebih baik, dapat menjadi masyarakat yang lebih paham dan menjadikan keterbukaan baik dari segi informasi maupun komunikasi sebagai cara dalam menghargai perbedaan keyakinan yang memang pada akhir-akhir ini semakin banyak bermunculan. Islam lahir dengan membawa Rahmatan Lil Alamin, dan seharusnya masyarakat Madura yang dikenal sebagai masyarakat agamis menunjukkan hal tersebut dengan tetap menghargai saudara-saudaranya yang kemudian memiliki perbedaan keyakinan dengan apa yang masyarakat mayoritas yakini. Tragedi yang terjadi di Kabupaten Sampang, bukan hanya terkait mengenai isu SARA melainkan juga terkait mengenai masalah keluarga (Kutipan Wawancara TV One, 25 Agustus 2012). Salah satu kiasan yang begitu terkenal di kalangan masyarakat Madura adalah “Ango’an Pote Tolang Atembang Pote Mata/Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata”. Kiasan ini menjadi sebuah paradigma bagi mereka, untuk memiliki ikatan batin dengan masyarakat Madura, namun kiasan ini pula yang pada akhirnya juga akan memecah persaudaraan yang sudah terjalin begitu kuatnya. Masyarakat Madura di luar pulau Madura, begitu terkenal akan ikatan kekeluargaan, di mana pun ketika mereka berada. Saat berjumpa dengan masyarakat Madura lainnya, tidak akan pernah ada rasa canggung menggunakan bahasa Madura, sebagai dialeka kebahasadaerahan yang dipakai untuk berkomunikasi. Ada suatu rasa bangga ketika adanya perjumpaan dengan masyarakat Madura yang mereka berada dalam perantauan, karena dengan perjumpaan tersebut maka akan tercipta rasa kekeluargaan yang muncul secara otomatis. Kiasan tersebut, mengajarkan untuk menghargai dan menjunjung rasa persaudaraan. Kiasan itu pula yang kerap kali menjadi bencana yang kemudian menjadikan citra masyarakat Madura sebagai masyarakat yang keras dan kasar. Menilik peristiwa carok masal di Kabupaten Pamekasan, juga dipicu oleh adanya rasa kekeluargaan, begitu juga peristiwa baru-baru ini di Kabupaten Sampang, juga menghembuskan adanya aroma kekeluargaan, yang pada akhirnya dikemas dalam isu kekerasan agama.

Seyogyanya, kiasan tersebut memang memiliki dua mata sisi yang begitu berlawanan. Masyarakat Madura perlu mencerna, dan menimbang akan dua mata sisi dari kiasan tersebut. Sebagai masyarakat agamis, yang begitu terkenal dengan banyaknya alim ulama, banyaknya pondok pesantren, dan banyak ustad, sudah seharusnya saling menyadari dan memahami, serta menjadikan kiasan tersebut sebagai landasan yang digunakan dalam hal kebaikan, yakni mengikat persaudaraan, dan bukan menjadikan sebagai pisau tajam yang menjadi landasan dalam melakukan kekerasan ataupun tindakan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Masyarakat Madura, harus mulai untuk membuka paradigm baru terhadapa kehidupan yang kini akan lebih mengarah pada diversitas, akan banyak hal yang akan masuk dalam tanah Madura, setelah akses keterbukaan informasi, komunikasi, dan perhubungan di Madura mulai memasuka era pembaharuan. Masyarakat Madura, harus mulai untuk memulai kerukunan antar suku, baik terhadap suku Madura sendiri ataupun suku lain yang mungkin akan memasuki tanah Madura juga, dan jangan sampai tragedi kekerasan yang berujung pada masalah SARA terulang kembali, dan sekali lagi menyumbangkan negative image terhadap simbol keberagaman yang telah lama disematkan oleh mata International terhadap Indonesia. Terhadap kalangan alim ulama, marilah mulai untuk kembali mengajak pada ummat untuk kembali manjaga kerukukan, bukankah Rasulullah pun mengajarkan kerukuna tersebut ketika beliau memulai membangung Madinah? Dan bukankah Madura kini mendapat julukan sebagai Serambi Madinah? Seharusnyalah, keharmonisan itu terjadi, tidak adal lagi kelompok-kelompok yang kemudian mengecam, bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan terhadapa kelompok lain, apalagi terhadap suku bangsanya sendiri. Dan juga, bukankan Allah melarang untuk saling membunuh sesama ummat muslim? Selama mereka pun menjadikan Allah sebagai Rabbnya, dan menjadikan Al-Quran dan Sunnatullah sebagai panutannya, mereka tetap harus kita hargai, karena hanyalah Allah yang Maha Mengetahui akan kebenaran, dan bukankah kita hanya manusia biasa yang terlalu banyak memiliki prasangka buruk, dengan begitu banyaknya api amarah yang sering tersulut, dan begitu pula paku-paku dengki dan dendam yang acap kali tertanam dalam hati-hati bersih ini, dan juga bumbu-bumbu setan akan iri hati, dan sombong, yang seringkali meracuni pikiran kita, sehingga terkadang lupa dan acap kali selalu tersulut dengan hal-hal kecil yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang dapat membawa kemaslahatan bagi keduanya. Bagi masyarakat cendekiawan, dan intelektual Madura, marilah mulai kembali membenahi mind set yang masih kerap kali begitu terasa keras, kembali menumbuhkan rasa persaudaraan jauh lebih dalam, dan memahamkan masyarakat akan pentingnya keharmonisan, dan kerukunan demi terciptanya Madura yang lebih baik dan bermartabat. Terakhir, semoga tragedi berdarah dan kekerasan tidak lagi terjadi di Pulau Garam itu, tidak menjadikan Madura sebagai pulau yang begitu menyeramkan, dan mampu menghapus stereotipe yang banyak melekat di masyarakat luas, bahwa masyarakat Madura, adalah masyarakat yang keras, dan kasar. Sekali lagi, harapan kami anak-anak Madura, generasi penerus tanah garam, adalah terbentuknya Madura, dan masyarakatnya yang rukun, harmonis, agamis, dan culturalis, serta tidak lagi ada pertumpahan darah antar suku Madura sendiri.

Tersenyumlah Madura,
Tersenyumlah wahai anak-anak Pulau Garam
Masamu telah tiba, dan perjuanganmu telah dimulai
Bangunlah Madura yang lebih baik dan bermartabat…

Penulis :
Abrory Agus Cahya Pramana
Mahasiswa Jurusan Biologi
Universitas Gadjah Mada




0 komentar:

Posting Komentar