Rabu, 13 Februari 2013

Mahasiswa Mengajar, Bangun Indonesia

BAGIAN ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi agaknya sering terlupakan oleh mahasiswa masa kini. Pengabdian masyarakat yang menjadi output paling konkret dari pendidikan malah menjadi bagian yang terkesan paling dikesampingkan dari perjalanan berkuliah seorang mahasiswa. Padahal tanpa pengabdian masyarakat, pendidikan akan menjadi layaknya singa ompong. Pendidikan akan menjadi teori belaka yang kosong perwujudan.

Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.

Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.

Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.

Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.

Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.

Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.

Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.

Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.

Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM - Jojoran Kulon - Bantul

0 komentar:

Posting Komentar