Selasa, 19 Februari 2013

Menatap Idealisme dalam Perspektif Mahasiswa Cyber Generation

GLOBALISASI dewasa ini seolah sudah sangat menggejala. Jika dilihat dari perspektif para penggiat twitter, mungkin sudah menjadi trending topic. Implikasinya, modernisasi sebagai dampak dari globalisasi tidak dapat terelakan lagi. Pragmatisme yang terbungkus dalam modernisasi memang menawarkan hal-hal yang berbau instan, praktis, dan berbagai kelebihan yang cukup menjadi fatamorgana yang menggiurkan. Namun ternyata modernisasi tak ubahnya seperti uang logam yang memiliki sisi lain, yakni sisi kekurangan.  Selain menawarkan segala kelebihan itu, modernisasi juga membawa dampak buruk jika kita tidak bijak menyikapinya. Modernisasi sudah meninabobokan mahasiswa pada sebuah zona nyaman. Segala ketersediaan dan kecepatan akses akan fasilitas menjadikan nilai-nilai kebaikan dalam diri kita tereduksi. Sikap kejujuran, konsistensi dan profesionalitas dalam bertindak semakin luntur. Hanya menyisakan laku apatis dan pragmatis pada kondisi lingkungan sosialnya. Sensor-sensor kepekaan sosial itu seolah sudah termatikan oleh facebook, twitter, blog dan media sosial lainnya.
Dari sinilah muncul cyber generation yang justru memiliki paradigma seperti “katak dalam tempurung”. Memang pelbagai informasi dari seluruh penjuru dunia bisa mereka ketahui, namun kondisi lingkungan sekitar tidak tahu sama sekali. Bahkan, ironisnya, kondisi tetangganya saja tidak tahu. Ilustrasi ini juga sedikit banyak menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa yang keseharian hanya sibuk dengan urusannya, di dalam kamar menatap laptop  seharian dengan berbagai gadgetnya tanpa tahu dan tanpa keinginan mencari tahu kondisi lingkungan.  


Potret mahasiswa saat ini

Jika kita ingin menelisik kondisi mahasiswa saat ini, ada beberapa kategori mahasiswa. Di antaranya mahasiswa kupu-kupu, mahasiswa kura-kura, dan mahasiswa kunang-kunang. Mahasiswa kupu-kupu adalah mahasiswa yang orientasinya pada kuliah saja, kuliah pulang-kuliah pulang. Kesehariannya hanya untuk belajar di kampus, selepas itu sudah tidak ada aktivitas lagi sehingga dia langsung pulang usai kuliah. Inilah kelompok mahasiswa yang biasanya memiliki IPK tinggi. Kemudian kategori kedua adalah mahasiswa kura-kura, kelompok mahasiswa yang bisa dikatakan organisatoris berjiwa aktivis, kuliah rapat-kuliah rapat. Rutinitas harian hanya kuliah dan rapat ini dan itu, menjadi panitia ini dan itu. Terkadang mahasiswa semacam ini sisi akademisnya juga mengalami ketimpangan. Kemudian yang ketiga adalah mahasiswa kunang-kunang, kuliah nangkring-kuliah nangkring. Mahasiswa ini cenderung hedonis, kesehariannya hanya untuk nangkring (nongkrong) di mall, nonton film, pacaran dan acara hura-hura lainnya.

Ulasan di atas adalah sekelumit gambaran mengenai kondisi mahasiswa saat ini. Jika kita mencoba menganalisa dari semuannya, ada hal menarik yang bisa kita kaji lagi. Secara umum, ternyata dari kesemua kategori tersebut ada sebuah hal yang menjadi intersect dari ketiganya. Hal tersebut adalah generasi muda saat ini (termasuk mahasiswa) hampir semuanya mengenal dan memang tidak bisa jauh dengan namanya teknologi informasi dan internet. Globalisasi menuntut kita untuk bertindak cepat dan keluar dari dimensi ruang dan waktu. Apalagi saat ini, semakin maraknya penggunaan media social seperti facebook yang telah menggeser nilai-nilai kedekatan kultural dalam bermasyarakat. Mulai dari sinilah sebutan Cyber Generation itu muncul.

Mencari Idealisme dari  Sosok Mahasiswa Cyber Generation

Berbicara tentang cyber generation yang disematkan pada mahasiswa saat ini, rasa-rasanya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Sepertinya memang lumrah kita menyebut mahasiswa saat ini sebagai cyber generation. Bagaimana tidak? Mahasiswa sekarang tak bisa lepas dari media sosial, situs komunitas, ataupun situs yang sebatas hiburan seperti 9gag ataupun 1cak seolah menjadi sebuah virus yang sporadis menyebar pada mahasiswa saat ini. Kondisi semacam inilah yang membuat lunturnya idealisme dan kepedulian mahasiswa terhadap lingkungan sekitarnya. Jika sudah seperti itu bisa ditarik sebuah kesimpulan kalau mahasiswa juga tidak akan peduli lagi dengan kondisi bangsanya. Gejala-gejala pragmatisme mulai menjalar dalam laku hidup mahasiswa. Menuntut segalanya untuk praktis, instan, tanpa harus berjuang keras mendapatkan hasil yang maksimal itulah yang melemahkan sisi idealisme mahasiswa. Kalau sudah seperti ini apakah kita masih optimistis mengatakan bahwa idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa saat ini? Ataukah idealisme hanya berhenti dalam tataran wacana yang hanya menjadi bahan diskusi-diskusi yang kemudian hanya basi dan berbusa untuk diperbincangkan?

Neo-Idealisme Ala Mahasiswa Cyber Generation

Berbeda dengan sudut pandang sebelumnya, yang optimistis masih idealisme itu ada dalam diri mahasiswa. Gelora memperjuangkan suara rakyat kecil, memperjuangkan kebenaran dengan segala kekuatannya. Namun memang secara eksplisit tidak seperti kondisi mahasiswa di masa 1998 dalam memperjuangkan reformasi. Idealisme yang menggelora dalam diri mahasiswa saat ini diyakini masih ada,  hanya memang berbeda dalam pengemasannya. Mahasiswa saat ini yang notabene adalah mahasiswa yang dekat dengan dunia teknologi informasi atau lebih akrab dengan sebutan cyber generation, menggelorakan idealismenya dengan caranya sendiri. Mereka lebih memilih memperjuangkan idealismenya melalui media-media sosial, melalui situs-situs komunitas/forum, dan melalui advokasi melalui gambar-gambar yang dibagi di internet. Ada pula yang giat dengan melakukan gerakan sejuta umat facebook untuk mendukung sosok tertentu dalam suatu kejadian, misal saja gerakan sejuta facebookers mengutuk Ariel Peterpan saat kasus video pornonya dahulu menyeruak. Bahkan kalau kita bicara kekuatan media saat ini sebagai media perjuangan dan menyuarakan kebenaran sangatlah ampuh. Terbukti beberapa pergerakan di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir semuannya bermula dari jejaring sosial yang tersistem secara apik dan sistematis.

Memang tidak bisa dimungkiri lagi, menyuarakan idealisme melalui media jejaring sosial dan internet akan lebih efektif dan efisien. Tidak membutuhkan materi dan energi sebanyak jika kita menyuarakan secara langsung dalam orasi-orasi di pinggir jalan.  Dengan media sosial yang sudah menjamur di internet kita bisa memantik sebuah isu kecil menjadi isu yang besar dan meluas. Selain itu juga kita tidak lagi memikirkan batasan dimensi ruang dan waktu. Dengan media internet kita bisa mengepakkan sayap lebih luas dan bisa unggul juga dalam sisi aktualitas. Dalam konteks ini yang dibutuhkan hanyalah perangkat untuk bisa mengakses internet dan perencanaan pengawalan isu itu secara benar-benar sistematis dan tentunya dengan sinergitas beberapa kelompok orang sehingga masivikasi isu tersebut bisa lebih gencar.

Idealisme itu Masih Ada

Parameter masih ada atau tidaknya idealisme dalam diri mahasiswa akan tidak adil jika kita hanya melihat dari satu sisi. Misalnya mahasiswa sekarang jarang berdemo dan turun di jalan lalu kita dengan mudah menyebut mahasiswa sekarang tidak idealis lagi. Rasa-rasanya pernyataan seperti itu kurang adil dan tidak berimbang. Seharusnya kita menilai hal ini lebih bijak lagi yakni dengan melihat sisi-sisi yang lain. Idealisme adalah sesuatu hal yang tidak seluruhnya nampak dalam laku kehidupan kita. Idealisme itu adalah sebuah pemikiran dan keyakinan yang termanifestasikan dalam kehidupan kita dengan berbagai bentuk. Boleh jadi idealismenya itu terwujud dalam tulisan di media masa, melalui gerakan dukungan dari jejaring sosial, maupun kicauan di twitter. Apalagi jika kita harus menyesuaikan dengan kondisi zaman saat ini yang terus berkembang. Saat ini, bisa dianggap jejaring sosial lebih ramai ketimbang jalanan. Sehingga jika kita bicara efektivitas, mahasiswa yang berdemo di jejaring sosial untuk saat ini mungkin lebih efektif dari pada demonstrasi di jalanan. Jalan memperjuangkan idealisme itu bisa melalui banyak cara.

Akhirnya saat ini kita masih patut untuk optimistis jika idealisme masih terpatri dalam diri mahasiswa. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita bisa menghargai suara mahasiswa itu dengan berbagai cara mereka mengekspresikannya. Mahasiswa sekarang berbeda dengan mahasiswa di masa perjuangan. Mahasiswa sekarang punya cara sendiri untuk mengekspresikannya dan itulah kebebasan. Hal terpenting adalah idealisme itu masih ada dalam diri mahasiswa. Hidup Mahasiswa Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia !!!
 
dimuat di : 
Penulis :
Phisca Aditya Rosyady
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Gadjah Mada
Ketua Bidang Keilmuan PK IMM Al-Khawarizmi UGM

0 komentar:

Posting Komentar