Minggu, 29 Juli 2012

Quo Vadis Kaum Intelegensia Indonesia..??

Dalam alam pikiran jawa cendekiawan memiliki posisi tersendiri dalam sebuah relasi kekuasaan Cendekiawan dalam mitologi jawa menurut Arif Budiman dapatlah ditafsirkan dengan seorang resi dalam posisi relaisonalnya dengan penguasa dan rakyat. Resi menurut kosmologi Jawa adalah orang orang yang memiliki pengetahuan lebih dibanding rakyat kebanyakan, hidupnya dipenuhi penyucian diri, tidak memiliki afiliasi politik dan menjaga independensi pemikiran dan perbuatannya. Sang resi dipercaya mampu membaca ‘tanda-tanda’ zaman, sehingga mempunyai posisi istemewa di mata para penguasa. Suara, tindakan maupun wejangan sang resi akan selalu menjadi masukan para penguasa dalam mengurus negeri dan rakyatanya. Uniknya sang resi hanya akan menyampaikan wejangan (kritik) pada penguasa jika kondisi negerinya dianggap dalam keadaan genting dan berbahaya, sang resi hanya akan ‘turun gunung’ jika situasi negerinya dianggap sudah abnormal sehingga perlu segera diselamatkan. 


Sementara itu menurut Ali Syariati, arsitek revolusi Islam Iran, cendekiawan ditandai dengan sikapnya yang selalu menunjukan keberpihakan kepada kaum yang lemah. Ali Syariati dengan sangat baik menjelaskan peranan kaum cendekiawan di abad 21. Cendekiawan menurutnya berbeda dengan ilmuwan. Ilmuwan merujuk pada para ahli ahli ilmu pengetahuan yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip prinspip netralitas, objektivitas dan rasionalitasnya. Ilmuwan dimanapun dia berada akan selalu berusaha menjaga argumentasi ilmiahnya, seorang Sir Isaac Newton akan selalu kukuh mempertahankan teorisasinya tentang hukum gravitasi di bumi. Ilmuwan hadir untuk menjelaskan pada manusia mengenai sebuah gejala atau fenomena baik yang bersifat fisik maupun sosial. Sedangkan cendekiawan menurut Syariati adalah orang orang yang secara sadar membela kepentingan kaum tertindas, kaum terpinggirkan, kaum mustadafien dan lahir dari rahim rakyat jelata. Seorang cendekiawan akan ‘berbicara’ dengan bahasa kaumnya, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti kaumnya sehingga membakar semangat perjuangan mereka. Cendekiawan tidak berhenti pada menjelaskan sebuah fenomena, namun lebih jauh berani mengambil ‘sikap’ terhadap sebuah persoalan. Dalam kaidah keilmuan, seorang ilmuwan akan berhenti pada tahap Judgemeent de Fact (menilai fakta) sedangkan cendekiawan akan sampai pada tahap Judgemeent de Vaeluree (menentukan nilai). Dalam bahasa lain, Antonio Gramsci, seorang Neo Marxist asal Italia mengatakannya sebagai ‘intelektual organik’, intelektual yang mau menyatu dan membersamai rakyat, dan tentu saja membela kepentingan kepentingan mereka, bukan intelektual yang ‘sok universal’ dan bebas nilai (free value). Inilah perbedaan terbesar yang berakibat pada tugas kesejarahan yang berbeda, seperti kata Karl Marx kaum ilmuwan hanya akan menafsirkan dunia, sedangkan kaum cendekiawanlah yang akan mengubah dunia.
Sejarah kemanusisaan adalah sejarah kaum cendekiawan. Dari zaman nabi Adam hingga zaman postmodernisme sejarah kemanusiaan selalau diukir oleh pena pena perjuangan kaum cendekiawan yang tercerahkan (raushan fikr). Para raushan fikr selalu membawa obor obor kemausiaan yang menerangi kegelapan zamannya, mendobrak kebusukan stuktur, menentang tiranik penguasa dan memproklamirkan api api kemanusiaan sepanjang zaman. Sejarah para nabi menjadi role model terbaik untuk membuktikannya. Nabi Ibrahim telah membunuh ‘Tuhan-Tuhan’ kaum pagan ribuan tahun sebelum Nietzche membunuh ‘Tuhannya” orang eropa, nabi Musa menantang hegemoni kerajaan tiranik Firaun, nabi Isa membawa misi pembebasan kemanusiaaan dan cinta kasih kaum nasrani dan Muhammad SAW memproklamirkan Tauhid sebagai pembebasan terbesar yang pernah ada dalam kesejarahan umat manusia.
Jika dalam kebudayaan Jawa kuno resi memainkan peran strategisnya dalam ‘mengawal’ para penguasa, lantas pertanyaannya dimanakah peranan kaum cendekiawan kita saat ini..?.atau dalam konsepsi Syariati cendikiawan mesti berani ‘mengambil sikap’ dan keberpihakan, bagaimana dengan kaum intelegensia masa kini, beranikah mereka secara tegas membelas kepentingan kaum tertindas atau mereka justru menghamba pada kekuasaan..?, atau jangan jangan sang resi kini telah kehilangan modal terbesarnya, integritas dan independensi. Sudah seharusnya kaum intelegensia bangun dari tidur panjangnya dan bersegera mengambil sikap dan keberpihakannya dalam perjuangan perjuangan kebangsaan.
Kaum intelegensia indonesia sudah seharusnya mengambil tugas kesejarahan para nabi, para cendekiawan dan para raushan fikr di setiap zamannya. Bangsa ini terlalu kecil jika hanya dihuni para ilmuwan bermental kerdil, ilmuwan yang hampa ideologi, ilmuwan yang mengagung-agungkan objektivitas dan netralitas semata, ilmuwan yang melihat objek dari menara gading, bangsa ini membutuhkan pejuang pejuang intelektual yang mampu membebaskan rakyat dari segala ketertindasan, baik ketertindasan struktural ekonomi politik maupun ketertindasan sosial budaya. Sejarah bangsa kita dipenuhi dengan tinta emas idealisme perjuangan perjuangan kaum intelegensia bangsa, mereka yang selalu selalu menempatkan kepentingan kaum lemah, kaum tertindas dan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, sejarah republik menjadi ensiklopedi terbaik peranan kaum intelegensia berintegritas tinggi Di masa pra kemerdekaan para punggawa intelegensia kita telah menunaikan tugas sejarahnya dengan perjuangan revolusioner ‘mendepak’segala anasir anasir kolonialisme belanda, baik melalui revolusi fisik maupun diplomasi diplomasi politik yang melelahkan. Sementara itu kaum cendikiawan generasi 1966 telah melunasi janji mengisi kemerdekaannya dengan ‘mendobrak’ kemapanan struktur politik Soekarno saat itu yang gagal dalam memperbaiki perekonomian bangsa dan merebaknya korupsi. Sedangkan generasi tahun 1990an telah berani mengambil sikap untuk mengatakan ‘tidak’ pada tirani rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Apa kabar dengan generasi paska reformasi, kemana peranan kaum cendikiawanan. Di saat gelombang demokratisasi menjalar ke seluruh tubuh bangsa, di saat kran kebebasan dibuka dimana mana, di saat masyarakat sipil mulai menunjukan kebangkitannya, sudah seharusnya kaum cendikiawan sekali lagi mengambil ‘sikap’ dan keberpihakannya pada kaum tertindas, tidak hanya untuk melunasi tugas kesejaharahannya, melainkan juga sebagai pertanggungjawaban mereka sebagai kaum pelopor yang telah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi garda terdepan perubahan zaman..Billahi Fii Sabilil Haq..Walllahu alam.

Penulis :
Mahasiswa Fisipol UGM
11 Juli 2012, 18.40 WIB

0 komentar:

Posting Komentar