Kamis, 13 September 2012

Nasionalisme dan Islam


Perayaan hari jadi Republik Indonesia tahun ini terasa begitu istimewa bagi kaum muslimin. Betapa tidak selain terjadi di bulan suci ramadhan, peringatan momen bersejarah ini juga tepat jatuh pada hari Jumat (17/08/2012), hari yang paling mulia bagi ummat Islam, lebih spesial lagi proklamasi yang dibacakan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta juga dilakukan pada hari jumat (17/08/1945). Momen ini menjadi sangat bermakna bagi ummat Islam Indonesia, bukan saja pada aspek seremonial kesejarahannya saja, namun lebih penting menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan kembali relasi agama (Islam) dan rasa kebangsaan (nasionalisme) kita, yang hari hari ini terasa begitu pelik di tengah bangkitnya gelombang fundamentalisme dan sekulerisme agama di negeri ini.





Konstruksi relasi Islam dan nasionalisme seringkali ditentukan oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa. Pada zaman Orde Lama, misalnya kekuatan sosial-politik ummat Islam diidentikkan dengan label ‘gerakan separatis’, peristiwa PRRI-Permesta di Sumatera Barat dan pendirian DI-TII di sejumlah daerah dijadikan legitimasi historis guna mendukung label itu. Akibatnya Islam dipandang sebagai ancaman bagi republik yang baru berdiri. Rezim Orde Lama tumbang rezim Orde Baru berkembang, namun label Islam sebagai ‘ancaman politik’ tidak juga sirna. Beragam kebijakan pemerintahan Soeharto menjadi bukti bahwa rezim yang di nahkodai Soeharto menjadikan Islam sebagai salah satu musuh terbesarnya, digagalkannya rehabilitasi Masyumi, fusi ‘paksa’ parpol parpol Islam, pelarangan jilbab di instansi publik, pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila bagi seluruh ormas dan orpol, hingga puncaknya digulirkannya rancangan UU Perkawinan yang membolehkan nikah beda agama menjadi catatan kelam negara untuk meminggirkan Islam dari pentas kebangsaan. Meskipun Soeharto akhirnya banyak mengakomodasi tuntutan tuntutan ummat Islam di tahun 1990an, namun kebijakan ini lebih bernuansa ‘politik akomodatif’ rezim guna melanggengkan kekuasaannya, bukan murni untuk meletakkan Islam dalam bingkai kenegaraan. 



Catatan sejarah di atas akhirnya ‘berhasil’ menghapus Islam dari memori kolektif perjuangan kebangsaan. Justru kemudian citra Islam identik dengan anti-Pancasila, gerakan separatis, sektarian, fundamentalis-radikal, singkatnya Islam dipandang tidak compatible dengan nasionalisme. Tesis ini begitu lemah secara substansi dan alpa dalam melihat rekam jejak perjuangan ummat Islam di republik ini. Padahal Islam menurut penulis adalah kekuatan revolusioner yang sangat nasionalis, berikut bukti bukti nya. Pertama, dalam doktrin Islam yang ditegaskan di banyak ayat Al Quran terdapat ajaran Jihad Fii Sabilillah. Jihad bermakna sebagai upaya pembelaan (defensif) terhadap musuh yang telah menyerang terlebih dulu, Jihad wajib dilakukan oleh kaum muslimin jika musuh mengusir (menindas) penduduk negeri kaum muslimin. Jihad bukanlah serangan ekspansif yang penuh kekerasan untuk menyebarkan agama sebagaimana ditudukan para orientalis. Seperti termaktub dalam kitab suci Al Quran, sumber primer ummat Islam "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah (Al Baqarah 217). Disini kita melihat bahwa Islam memandang praktik kolonialisme sebagai sebuah kemunkaran terhadap Tuhan, oleh karenanya harus dilawan dengan kekuatan yang sepadna. Dalam konteks ajaran inilah umat Islam Indonesia menjadi garda terdepan dalam perjuangan membela republik di masa masa revolusi. Peristiwa 10 November adalah salah satu buktinya, saat itu arek arek Surabaya bertempur habis habisan melawan tentara sekutu Inggris setelah ‘dibakar’ semangatnya dengan lafadz Takbir oleh Bung Tomo, bahkan PBNU atas inisiatif Kiai Hasyim Asyari dan ulama ulama NU lainnya mengeluarkan fatwa ‘jihad fii sabilillah’ melawan tentara Inggris bagi warga Surabaya dan sekitarnya, heroisme ini menjadi monumen sejarah api Islam yang pernah menyala nyala dalam membela republik.
Kedua, Islam sebagai agama par exelent (paripurna) telah membawa pesan pesan universal dalam setiap aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam ranah hubungan sesama manusia (hablumminannas), baik itu ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Salah satu ajaran Islam tentang ranah politik kebangsaan adalah ajaran untuk membela tanah air (bangsa/negara) kaum muslimin. Hikmah Islam Hubbul Wathan Minal Iman (Cinta tanah air bagian dari iman) merefleksikan betapa besar komitmen Islam terhadap perjuangan kebangsaan, dalam Islam negara adalah alat perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan ummat.
Ketiga, Islam adalah agama perdamaian dan persaudaraan. Menurut cendekiawan muslim kenamaan, Nurcholish Madjid, salah satu doktrin Islam yang paling pokok adalah prinsip persaudaraan (brotherhood) dan persamaan (egliterianisme). Islam sangat menekankan pentingnya persaudaraan dan solidaritas sosial, konsepsi Islam itu diterjemahkan dengan ajaran Ukhuwwah (persaudaraan). Para ulama kemudian membagi ukhuwwah menjadi tiga ragam, yakni ukhuwwah Islamiyah (Persaudaraan Islam), Ukhuwwah Wathaniyah (Persaudaraan Kebangsaan) dan Ukhuwah Insaniyyah (Persaudaraan kemanusiaan). Konsepsi Ukhuwah Wathaniyah mengajarkan umat Islam agar memiliki semangat kebangsaan yang kuat nan kokoh, nasionalisme Islam dibangun atas spirit persaudaraan dan persatuan dengan meletakkan cita transedensi kepada Allah SWT di altar tertinggi.
Tiga argumentasi di atas menunjukan bahwa sejatinya di dalam ajaran Islam terdapat semangat nasionalisme yang berapi api. Kandungan ajaran Islam ini telah terbukti mampu menjadi energi luar biasa bagi perjuangan kebangsaan Indonesia, Islam adalah agama sekaligus spirit kebangsaan Indonesia. Menatap ke depan relasi Islam dan nasionalisme semestinya mengembangkan suatu pola hubungan yang lebih mutualistik, sehingga semakin kontributif bagi agenda agenda kebangsaan yang strategis, bukan lagi dilihat sebagai ‘ancaman’ maupun ‘gincu politik’ belaka.
Oleh
Kader Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Tengah

0 komentar:

Posting Komentar