Kamis, 10 Januari 2013

Perempuan Dalam Parlemen


 Emansipasi perempuan atau kesetaraan gender memang telah menjadi sebuah norma dan prinsip yang secara formal diadopsi sebagai bagian dari proyeksi Indonesia modern (Djoharwinarlien, 2012:35). Termasuk dalam hal ini adalah institusi modern pemerintahan Indonesia, tulisan kali ini akan lebih fokus ke dalam institusi legislatif pemerintahan Indonesia, yaitu Parlemen. Bagaimana kondisi parlemen saat ini yang telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada perempuan untuk merepresentasikan dan mengekspresikan hak politiknya melalui jaminan hukum dalam undang-undang, namun dalam realisasinya masih sangat jauh dari harapan. Adanya fenomena ini menunjukkan indikasi kurang idealnya usaha dalam mencapai amanat undang-undang tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan bagaimana amanat undang-undang tersebut tersendat dalam realisasinya. Tidak hanya pihak-pihak terkait yang mencederai jalan menuju realisasi amanat undang-undang, namun obyek dari undang-undang tersebut juga mengambil peran yang kurang signifikan.

Perihal Perempuan dalam Parlemen
Ada beragam isu yang diperjuangkan oleh perempuan, isu ini berkisar di sekitar masalah-masalah hak-hak politik dan hukum bagi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, hak-hak reproduksi dan aborsi, kebebasan dan seksual, kesempatan dan diskriminasi kerja, serta partisipasi politik dan representasi politik perempuan (Basu dalam Dewi, 2001:4). Partisipasi dan representasi politik perempuan menjadi penting di dalamnya terkait dengan posisinya yang notabene sebagai warga negara yang memiliki kedudukan di depan hukum, hak sosial dan hak politik yang sama dengan laki-laki. Dalam usahanya mencapai kesetaraan tersebut telah berhasil mendapatkan tempat dan merupakan sebuah langkah maju bagi representasi politik perempuan di Indonesia dengan disahkannya Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik (Djoharwinarlien, 2012:41). Bagaimana dalam kedua undang-undang tersebut perempuan memiliki kuota 30 persen dalam setiap ruang demokrasi. Amanat inilah yang kemudian populer dan familiar dengan istilah “Kuota Perempuan 30 persen” (Ratnawati, 2004:296).



Dilema Perempuan dalam Parlemen
Namun, adanya rekognisi formal terhadap hak politik perempuan serta upaya afirmasi yang dicanangkan oleh UU tersebut, banyak hal yang menjadi alasan mengapa jumlah 30 persen tidak selalu terpenuhi (Djoharwinarlien, 2012:42). Hal ini relatif disebabkan lebih karena dalam proses perekrutannya, dalam proses bagaimana seorang warga negara mampu menjadi bagian dari proses formal perumusan kebijakan sebuah negara, banyak partai politik sebagai wadah “penggodhogan” warga negara menjadi legislator-legislator wakil rakyat menafikan adanya perempuan. Adanya pandangan pragmatis partai bagaimana menempatkan sebanyak-banyak kadernya di dalam parlemen membuat partai hanya melirik figur-figur secara individu yang telah tercitrakan oleh publik. Figur-figur ini kebanyakan didominasi oleh laki-laki. Pandangan inilah yang kemudian membuat partai menutup mata terhadap perempuan.
Dalam kepengurusan sebuah partai pun, sedikit perempuan yang masuk dalam kepengurusan partai politik. Kalaupun muncul tokoh perempuan dalam sebuah partai, hal itu lebih dikarenakan tokoh tersebut merupakan bagian dari dinasti kepemimpinan sebuah partai. Sehingga dalam proses perekrutan menuju parlemen pun sudah memiliki banyak dilema dimulai dari kepengurusan partai dan perekrutan kader perempuan yang berdampak terhadap posisi dan kuota perempuan di dalam parlemen.
Sementara di dalam parlemen, adanya anggapan bahwa dunia politik di level praksis adalah dunianya Kaum Adam, sistematika aktivitas politik seperti yang berlangsung di partai politik atau parlemen sangat kompleks dan menyita waktu menjadi pertimbangan perempuan dalam keaktifannya menyampaikan pendapat di dalam forum dan rapat parlemen. Dan pertimbangan ini yang kemudian memberatkan dan membuat perempuan urung menyampaikan pendapatnya dikarenakan tidak mau terlibat jauh dalam perdebatannya dengan laki-laki. Dinamika aktivitas politik juga mengharuskan perempuan, seperti politisi lainnya mereka beradu otot untuk mempertahankan argumentasi di dalam forum politik (Djoharwinarlien, 2012:46). Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dilema bagi perempuan dalam parlemen. Mereka dihadapkan oleh kewajiban sebagai wakil rakyat di satu sisi, namun dibenturkan dengan konstruksi masyarakat yang telah terbentuk terhadap penilaian perempuan itu sendiri di sisi lain.
Adanya dilema tersebut membuat perempuan lebih banyak diam karena konstruksi makna terhadap perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat telah mengakar kuat, termasuk konstruksi makna tersebut digunakan untuk menilai perempuan-perempuan legislator di dalam parlemen. Tidak adanya kontekstualisasi pemaknaan terhadap perempuan di sini menjadi akar permasalahan utama yang dihadapi oleh perempuan-perempuan legislator.

Formulasi Solusi bagi Perempuan
Dalam usahanya mencapai impian kesetaraan hak politik dan hak sosialnya, perempuan mengalami banyak dilema baik dari dalam dirinya maupun konstruksi masyarakat yang menghambatnya. Namun, usaha kesetaraan ini dapat dimulai dengan membenahi pemaknaan terhadap perempuan dengan instrumen bahwa wanita adalah warga negara yang notabene memiliki kesempatan yang sama dalam merepresentasi dan mengekspresikan hak-hak politik dan sosialnya.
Usaha ini juga seharusnya didorong dengan peran negara, bagaimana negara ini memberikan dan memastikan ruang dan kondisi yang memungkinkan (enabling) bagi perempuan untuk menunjukkan dan merealisasikan kesetaraan hak politik dan hak sosialnya (Astuti, 2001:18). Karena terlebih sering yang terjadi saat ini adalah bagaimana negara terkesan membisu dan tak acuh terhadap realisasi hak politik perempuan. Sudah seharusnya negara hadir lebih jauh memastikan perempuan mendapatkan akses merealisasikan hak-hak politiknya. Sehingga pada akhirnya kesetaraan hak politik perempuan menjadi agenda bersama, tidak kemudian semata-mata menjadi agenda perempuan yang terdilema dalam “kesendirian” gerakan.
            Dan hal yang paling dekat untuk menjadi agenda bersama dan merealisasikannya adalah bagaimana kuota perempuan 30 persen ini dapat dicapai sebenar-benar adanya. Tidak hanya negara yang terus didorong untuk merealisasikannya, namun juga pihak-pihak terkait yang terpaut kepentingannya seperti partai politik dan masyarakat. Pihak-pihak ini sudah seharusnya memberikan perhatian lebih kepada proses pencapaian kuota 30 persen ini melalui pembukaan akses terhadap perempuan untuk mendapatkan sumber-sumber kekuatan politik. Sehingga ketika pencapaian ini benar-benar tercapai, akan menciptakan sebuah masyarakat baru yang menempatkan perempuan dan laki-laki setara di berbagai tingkat keberadaannya. Ketika keseimbangan itu terjadi, peluang untuk saling menindas akan menjadi lebih kecil. Begitu pula ketika jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen ataupun dalam pemerintahan secara umum dalam posisi yang equal, maka kepentingan perempuan tidak akan banyak dipinggirkan, demikian pula dengan laki-laki.\ (Ratnawati, 2004:297). Dengan demikian, bukan tidak mungkin dengan posisi seperti itu dapat mendorong perempuan secara mandiri mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi hak-hak sosial dan politiknya yang mempengaruhi pihak-pihak lain untuk menaruh perhatian lebih kepadanya.

Oleh :
Satria Triputra Wisnumurti
Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada 2011



REFERENSI
            Djoharwinarlien, Sri. 2012. Dilema Kesetaraan Gender : Refleksi dan Respons Praksis. Yogyakarta : Center for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM.
Ratnawati. 2004. Potret Kuota Perempuan di Parlemen, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 7, No. 3. Hal. 295-314.
Dewi, Machya Astuti. 2001. Dimensi Politik Gerakan Perempuan : Suatu Survey Kepustakaan, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIPOL UGM, Vol. 5, No. 1. Hal. 1-21.

0 komentar:

Posting Komentar